Restrukturisasi kredit menjadi solusi di tengah kondisi melemahnya ekonomi tanah air karena pandemi Covid-19. Cara ini bahkan telah dipilih bank untuk menyelamatkan bisnisnya, per Mei OJK mencatat sebanyak 90 bank telah melakukan restrukturisasi dengan nilai outstanding mencapai Rp391,18 triliun.
Seperti diketahui, restrukturisasi kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang berpotensi mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Ada enam kebijakan restrukturisasi yang biasanya dilakukan bank.
Rinciannya sebagai berikut: penurunan suku bunga kredit, perpanjangan jangka waktu kredit, pengurangan tunggakan bunga kredit, pengurangan tunggakan pokok kredit, penambahan fasilitas kredit dan atau konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.
Lewat keringanan tersebut, nasabah dengan cashflow mepet sangat terbantu. Sebab mereka tidak pusing harus membayar bunga. Meski menolong nasabah, namun risiko melakukan restrukturisasi kredit untuk perbankan terbilang besar.
Bila tidak hati-hati dan menghitung risiko, bank justru bakal mengalami masalah dengan melakukan restrukturisasi kredit kepada nasabahnya. Salah satunya soal likuiditas perbankan yang bakal terganggu, terutama bila yang banyak direstrukturisasi adalah kredit yang berasal dari sektor kosumen atau rill.
Kalau berkaca pada kinerja sektor rill sejak Covid-19 dalam kondisi terpuruk. Misalnya, angka penjualan mobil pada bulan April anjlok hingga 92% dari 77.000 di Maret 2020, menjadi sekitar 7.000 di April 2020.
Penjualan mobil yang jatuh berdampak pada penyaluran kredit multifinance dan bank. Artinya, lembaga keuangan tidak bisa menyalurkan kredit. Begitu juga dengan mengutip bunga untuk kredit kendaraan yang diajukan nasabah baru.
Dirut Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Mirza Adityaswara mengatakan, imbasnya pun sangat luas. Ia menyebut pabrik mobil, dealer mobil, perusahaan pembiayaan dan bank terdampak akan situasi ini.
Situasi serupa terjadi hampir di seluruh sektor. Mirza memprediksi, pertumbuhan industri masih akan melambat pada kuartal kedua ini bahkan pertumbuhannya bisa negatif.
Hal yang sama juga terlihat di sektor perdagangan, yang kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 14% pada kuartal pertama hanya mampu tumbuh 1,6% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 5,21%. Begitu juga untuk sektor konstruksi hanya tumbuh 2,9% pada kuartal pertama.
"Jadi pembangunan renovasi rumah terhenti sehingga kuartal dua kita lihat akan rendah dan negatif," kata Mirza pada Selasa (19/5).
Mirza memaparkan, hal tersebut terlihat dari penjualan semen yang pertumbuhannya turun 11% pada April di Pulau Jawa. Padahal Pulau Jawa berkontribusi sebesar 55% dari total permintaan semen di Indonesia.
Lesunya pertumbuhan konstruksi tersebut terlihat dari turunnya trafik pengguna jalan tol yang dikelola oleh Jasa Marga dengan rata-rata penurunan 50% per hari. Bahkan, pada akhir pekan penurunannya mencapai 70%.
Dengan penurunan trafik tersebut, lanjutnya, pembangunan konstruksi baru akan terhenti karena pendapatan menurun. Efek berantainya penurunan pendapatan juga akan berdampak kepada aliran pinjaman ke bank yang mandeg.
"Kalau enggak ada yang masuk jalan tol gimana mau ada revenue. Sedangkan waktu Jasa Marga bangun jalan tol itu tentu kan banyak melakukan pinjaman dari bank," ucapnya.
Sekali lagi mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia mengingatkan, bank harus berhati-hati dalam melakukan restrukturisasi kredit ke debitur karena mempengaruhi cash flow perbankan.
Apalagi jika likuiditas terganggu akses Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) dari Bank Indonesia (BI). Seperti diketahui, PLJP hanya diakses oleh bank dengan likuiditas yang sehat.
"PLJP itu hanya bisa diakses bank sehat. Intinya jika PLJP tidak bisa diakses oleh perbankan maka bank harus berhati-hati sekali melakukan restrukturisasi karena restrukturisasi mempengaruhi cash flow. Bank juga perlu jaga likuiditasnya," ucap Mirza.