close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pajak. Foto Pixabay.
icon caption
Ilustrasi pajak. Foto Pixabay.
Bisnis - Makro Ekonomi
Selasa, 10 Desember 2024 18:33

Risiko penerapan PPN 12% untuk barang mewah

Rencana penerapan PPN sebesar 12% pada barang mewah mulai Januari 2025 mendapat tanggapan serius dari berbagai pihak.
swipe

Rencana penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada barang mewah mulai Januari 2025 mendapat tanggapan serius dari berbagai pihak.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai kebijakan ini menimbulkan kebingungan bagi pelaku usaha dan konsumen, terutama terkait perbedaan tarif dengan PPN umum yang tetap di angka 11%.

Menurut Bhima, penerapan PPN 12% untuk barang mewah yang berbeda dari PPN umum merupakan yang pertama dalam sejarah Indonesia. 

“Ini akan mempersulit pelaku usaha, terutama di sektor ritel yang menjual barang kena PPN dan PPNBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah). Faktur pajaknya menjadi lebih kompleks, dan biaya tambahan ini kemungkinan besar akan dibebankan ke konsumen,” ujar Bhima kepada Alinea.id, Selasa (10/12).

Ia juga mengingatkan risiko inflasi pre-emptive, di mana pengusaha menaikkan harga barang lebih awal untuk mengantisipasi kebijakan ini. 

“Apalagi mendekati momen Natal dan Tahun Baru (Nataru), di mana harga barang dan jasa secara musiman sudah cenderung meningkat,” tambahnya.

Aturan harus jelas

Bhima menekankan pentingnya definisi yang jelas tentang barang apa saja yang dikategorikan sebagai barang mewah dan dikenai PPN 12%. Hal ini harus dituangkan secara rinci dalam aturan teknis Kementerian Keuangan (PMK). Namun, ia menilai perbedaan tarif ini masih memerlukan revisi pada sejumlah pasal dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), termasuk Pasal 7 yang mengatur tarif PPN.

“Tanpa revisi yang memadai, kebijakan ini berpotensi menjadi ambigu dan membingungkan di tingkat implementasi,” ujarnya. 

Bhima bahkan menyarankan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk menghapus Pasal 7 dalam UU HPP guna menjaga daya beli masyarakat.

Peneliti Celios, Galau D. Muhammad, menambahkan kenaikan PPN, meski terbatas pada barang mewah, tetap memiliki dampak luas terhadap daya beli masyarakat. Ia mencatat, disposable income atau pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh masyarakat terus menurun, yang mengindikasikan rumah tangga semakin kekurangan uang untuk belanja.

“Gen Z, khususnya mereka yang belum bekerja atau bergantung pada pengiriman uang dari orang tua, akan merasakan pukulan berat. Hal ini juga berlaku bagi mereka yang bekerja di sektor informal dengan tingkat pendapatan yang tidak stabil,” jelas Galau kepada Alinea.id, Selasa (10/12).

Ia menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terkait potensi penerimaan negara dari PPN 12% ini, termasuk transparansi dalam penggunaannya untuk membantu masyarakat rentan. 

Meski bertujuan meningkatkan penerimaan negara, kebijakan PPN 12% untuk barang mewah menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap daya beli masyarakat, terutama di kalangan menengah dan bawah. Pemerintah diharapkan segera memberikan kejelasan mengenai pelaksanaan kebijakan ini, termasuk langkah mitigasi terhadap risiko inflasi dan penurunan konsumsi masyarakat.

“Jika kriteria barang mewah tidak jelas dan kebijakan tidak transparan, masyarakat cenderung akan menahan pengeluaran, yang justru dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi,” tutupnya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan