Ada 48 menteri dan 56 wakil menteri yang membantu Presiden Prabowo Subianto dalam menjalankan roda pemerintahan. Secara total, terdapat 136 pembantu Prabowo, mulai dari menteri hingga utusan khusus presiden. Banyaknya anggota kabinet berisiko menimbulkan tumpang tindih kebijakan.
Direktur Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri melihat, postur kabinet gemuk ini akan mengakibatkan tidak efektifnya koordinasi dan memperlambat eksekusi kebijakan pemerintah. Maka tidak heran bila persoalan mendasar yang akan dihadapi pemerintahan Presiden Prabowo yaitu sulitnya koordinasi antarkementerian.
Meski ada sejumlah kementerian yang dipecah kemudian menjadi lebih spesifik, namun berisiko menimbulkan persoalan. Sebab, masih ada potensi tumpang tindih perihal kebijakan yang diambil. Misalnya Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang sudah dipisah, akan berdampak pada kebijakan. Keduanya masih saling berhubungan karena mayoritas UKM adalah bagian dari kebijakan perkoperasian itu sendiri.
Ia pun menilai, Prabowo akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk konsolidasi agar stabil. Pasalnya, masih ada regulasi teknis yang bakal bertambah karena setiap instansi dan lembaga memiliki aturannya sendiri-sendiri.
"Ada keinginan dari Prabowo dan Gibran untuk fokus pada beberapa hal tertentu, contohnya ada kementerian yang fokusnya hilirisasi. Hal-hal seperti itu menunjukan ada fokus-fokus perhatian tertentu di dalam pemerintahan ini,” kata Yose saat diskusi daring, Jumat, (25/10).
"Sehingga bertambahnya jumlah kementerian hampir dapat dipastikan juga akan menambah peraturan-peraturan teknis, dan berpotensi terhadap tidak sejalannya dengan aturan yang sudah ada sebelumnya," lanjut Yose.
Peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Adinova Fauri menilai, tumpang tindih itu akan berhubungan dengan sistem subordinate antarkementerian. Selain itu, perubahan maupun penambahan nomenklatur setiap dinas yang berada di daerah juga akan menimbulkan tumpang tindih.
“Siapa yang akan menjadi subordinate dari satu kementerian dengan kementerian lain dan bagaimana hubungannya nanti,” kata Adinova dalam kesempatan serupa.
“Tidak hanya restrukturisasi akan dilakukan atau perubahan-perubahan ini akan berubah di pusat, tapi juga akan berubah di daerah dan ini ada implikasi-implikasi terkait dengan keizinan, regulasi, dan lain sebagainya,” lanjutnya.
Adinova mengingatkan, perlunya titik ordinat sebagai pusat komunikasi kebijakan antarinstansi. Lantaran, kementerian yang terbentuk pada pemerintahan sebelumnya telah punya fokusnya sendiri.
Beberapa kementerian atau instansi juga terlihat tidak memiliki hubungan. Contohnya, Kementerian Koordinator bidang Pangan yang membawahi Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup. Ia mengaku masih belum menemukan benang merah di antara keduanya.
“Padahal Kementerian Lingkungan Hidup memiliki tujuan-tujuan tersendiri yang sangat krusial juga ke depannya, seperti penurunan emisi di tahun 2030, penurunan gas rumah kaca, dan lain sebagainya,” jelas Adinova.