Jenama-jenama rokok murah, seperti Juara, Aroma Mile, Chief, dan lain sebagainya, mulai menjadi incaran pasca-melonjaknya harga rokok imbas kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Fenomena downtrading ini pun dikhawatirkan pemerintah lantaran mengancam tercapainya penerimaan CHT Rp321 triliun pada 2024.
"Ada beberapa tantangan yang sifatnya operasional, yaitu terjadinya downtrading konsumsi ke hasil tembakau golongan II dan III. Kemudian, juga shifting konsumsi rokok konvensional ke rokok elektronik, masih adanya barang kena cukai ilegal, dan tantangan larangan ekspor mineral," urai Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu), M. Alfah Farobi, Selasa (27/9).
Ia menyampaikan, dampak downtrading ke rokok murah sudah terlihat dalam penerimaan CHT per Agustus 2023, yang turun 5,8% (year on year/yoy) menjadi Rp126,8 triliun. Padahal, pada periode sama tahun sebelumnya, penerimaan CHT sebesar Rp134,65 triliun.
"Kalau saya lihat datanya, [penerimaan CHT] untuk yang SKM (sigaret kretek mesin) dari golongan I turun 14%, untuk golongan II naik 8,4%, dan golongan III naik sekitar 32,6%," bebernya.
Menurut Alfah, wajar terjadi fenomena downtrading seiring naiknya harga rokok. Sebab, pemerintah memang membuat jarak antara tarif dan harga jual eceran (HJE) produk hasil tembakau (HT) golongan II dan III dengan golongan III cukup tinggi. Ini dilakukan untuk melindungi tenaga kerja yang banyak dipekerjakan industri rokok sigaret kretek tangan (SKT).
Di sisi lain, penurunan penerimaan CHT juga tidak bisa sepenuhnya dipandang buruk. Dalihnya, turunnya penerimaan CHT menunjukkan konsumsi rokok nasional terkendali.
"Tugas Bea Cukai bukan penerimaan saja, bukan revenue saja, tapi kita melakukan [pungutan] cukai ada 4 pilar lain yang harus kami jaga. Salah satu yang harus benar-benar kami jaga adalah bagaimana pengendalian konsumsi. Untuk pengendalian konsumsi ini tentunya untuk menjaga kesehatan," tandas Aflah.