Rumor merger Gojek-Grab dan potensi monopoli industri ride hailing
Laporan Bloomberg pada Jumat (9/2) mengungkap potensi penggabungan atau merger dua perusahaan layanan transportasi (ride hailing) raksasa di Asia Tenggara Grab Holdings Ltd dan GoTo Group. Menurut sumber Bloomberg, proses merger telah memasuki babak diskusi awal tentang berbagai risiko.
Salah satu opsi potensial dari penggabungan ini adalah Grab yang berbasis di Singapura bakal mengakuisisi Gojek, lini usaha berbasis layanan transportasi dari GoTo Group menggunakan uang tunai, saham, atau kombinasi keduanya.
“Perusahaan Indonesia lebih terbuka terhadap kesepakatan setelah Patrick Walujo mengambil alih jabatan CEO tahun lalu,” tulis laporan tersebut, dikutip Selasa (13/2).
Namun, meski kabar merger telah didukung oleh pemegang saham utama kedua perusahaan, pembicaraan mungkin tidak akan mengarah pada penggabungan penuh. Sebaliknya, opsi pembagian pasar telah masuk ke dalam pembahasan. Yakni, Grab bakal mendapatkan kontrol atas basis pasar di Singapura dan beberapa wilayah lainnya, sedangkan Gojek tetap mempertahankan basis pasar di Indonesia.
“Penilaian tetap menjadi hambatan utama untuk setiap kesepakatan, karena saham GoTo telah turun sekitar 30% dalam 12 bulan terakhir. Kekhawatiran lain termasuk struktur kesepakatan dan tata kelola,” tambah laporan tersebut.
Kabar penggabungan Gojek-Grab ini disambut positif oleh pasar. Hal ini terlihat dari pergerakan harga saham GoTo Group. Saham yang dicatatkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan ticker GOTO itu bergerak naik pada perdagangan Senin (12/2) dan ditutup di level Rp86 per saham, naik dari penutupan perdagangan Rabu (7/2) yang sebesar Rp84 per saham. Adapun pada perdagangan Selasa (13/2), harga saham GOTO bergerak di level Rp84 per saham hingga Rp87 per saham.
Kenaikan harga saham pun sempat dicatatkan GRAB di bursa saham Amerika Serikat Nasdaq. Di mana pada perdagangan Jumat (9/2), saham GRAB ditutup di harga US$3,43 per saham, naik 3,31% dari perdagangan di hari sebelumnya yang senilai US$3,32 per saham. Sementara pada perdagangan Senin (12/2), harga saham perusahaan yang berbasis di Singapura ini tercatat turun ke level US$3,34 per lembar.
Kapitalisasi pasar makin jumbo
Pengamat Pasar Modal Desmond Wira menilai, merger Gojek dan Grab bisa berimplikasi positif bagi kedua perusahaan. Nantinya, perusahaan tidak perlu lagi mengandalkan strategi bakar uang, seiring dengan meningkatnya kapitalisasi pasar perusahaan.
Mengutip Investing, kapitalisasi pasar Grab di bursa Nasdaq pada perdagangan Senin (12/2) adalah sebesar US$13,07 miliar atau sekitar Rp213,72 triliun (kurs Rp15.600 per dolar AS). Sementara kapitalisasi pasar GoTo Group di pasar BEI senilai Rp93,16 triliun. Dus, jika kedua perusahaan ini bergabung, kapitalisasi pasar perusahaan dapat terdongkrak menjadi Rp306,88 triliun.
“Dengan kapitalisasi pasar ini, Grab-Gojek akan menguasai pangsa pasar lebih dari 80% di Indonesia. Jika tidak ada lagi bakar uang, dari sisi cost (pembiayaan) akan terjadi efisiensi. Lower cost ini lah yang nantinya berpotensi membuat profit perusahaan meningkat,” kata Desmond, saat dihubungi Alinea.id, Selasa (13/2).
Terpisah Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengungkapkan, jika merger antara Gojek dan Grab terlaksana, selain modal dan pangsa pasar yang lebih besar, merchant dan mitra kedua perusahaan itu pun dapat digabungkan. Pada gilirannya, hal ini akan membuat merchant dan mitra yang mayoritas adalah UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) akan lebih bervariasi.
“Ini juga akan meningkatkan pendapatan perusahaan dari sisi komisi merchant dan mitra,” katanya, kepada Alinea.id, Selasa (13/2).
Potensi monopoli
Meski begitu, di balik untung perusahaan, ada mitra pengemudi atau driver dan konsumen yang buntung. Ini timbul seiring dengan potensi monopoli pasar yang menyertai proses penggabungan perusahaan.
Saat ini saja, walaupun ada beberapa ride hailing yang tersedia di Indonesia, sebut saja Gojek, Grab, Maxim, dan InDrive, namun perusahaan layanan transportasi yang menjadi raja di jalan raya hanya Gojek dan Grab. Meski kinerja keuangan Grab dan Gojek ‘sakit-sakitan’, strategi bakar uang dengan mengucurkan promo terus-terusan membuat dominasi keduanya di pasar lebih kuat dari dua pesaing lainnya.
Dengan dominasi kedua perusahaan ini, pasar pun telah mengalami duopoli. “Dengan pangsa pasar yang besar, lebih dari 80% dikuasai oleh Gojek-Grab di Indonesia, maka merger ini bisa menghasilkan pemain tunggal dominan,” ujar Director of Digital Economy Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda, kepada Alinea.id, Selasa (13/2).
Dengan kondisi ini, menurutnya, merger antara Gojek dan Grab tidak diperbolehkan. Sebab, pada jangka waktu tertentu bakal merugikan konsumen. Saat praktik monopoli terjadi, perusahaan akan memiliki kemampuan untuk menentukan harga sesuai kehendaknya dan menjadi price setter.
Saat ini terjadi, konsumen pun tidak mempunyai kekuatan lagi, meski harga layanan transportasi dipatok tinggi. “Saya rasa dengan struktur yang 80% dikuasi oleh satu perusahaan saja, mengarah ke monopoli, sulit menghindari praktik price setter dan dominasi pasar,” imbuh Huda.
Untuk menghindari praktik monopoli, peran pemerintah dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun menjadi penting. Pemerintah dan KPPU disebut harus mempu menimbang untung dan rugi apabila merger antara Gojek dan Grab benar terjadi.
“Kalau KPPU sudah beri lampau hijau ya berarti pemerintah bisa mempersilakan untuk merger. Tapi saya harap harus hati-hati melihat dampaknya,” ujar Huda.
Sementara itu, Kepala Biro Humas dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur mengungkapkan, sampai saat ini belum ada diskusi di pihaknya terkait kabar merger Gojek dan Grab. Meski begitu, dia membenarkan adanya potensi monopoli apabila kedua raksasa ride hailing itu bergabung.
“Pasal 28 Undang-Undang Persaingan Usaha melarang merger dan akuisisi yang berpotensi menciptakan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Tapi untuk melihat apakah benar ada potensi itu (monopoli) atau tidak, harus dibuktikan melalui proses penilaian KPPU,” katanya, saat dihubungi Alinea.id, Senin.
Di sisi lain, Gojek enggan mengomentari kabar merger yang telah ramai jadi bahasan ini sejak akhir pekan lalu. Bahkan, menurut Head of Corporat Communication GoTo Sinta Setyaningsih, alih-alih merger, kini perusahaan justru sedang berpikir untuk mengembangkan bisnis dengan mengoptimalkan ekosistem yang sudah ada.
“Fokus kami ke depan adalah bertumbuh secara sehat dan meraih profitabilitas dengan mendorong pengembangan bisnis dan inovasi produk ODS (on demand service) dan fintech,” kata Sinta, dalam keterangannya kepada Alinea.id, Selasa (13/2).