Kinerja mata uang garuda bakal terus bertenaga pada pekan ini. Analis menilai sejumlah sentimen positif dari dalam negeri dapat menguatkan nilai tukar rupiah.
Analis Senior CSA Research Institue Reza Priyambada memprediksi rupiah akan bergerak di kisaran 14.965-14.935. Meski begitu, peluang rupiah terus menguat ama besar walau kata Reza juga perlu diwaspadai menguatnya dollar AS seiring dengan telah dirilisnya data ketenagakerjaan AS.
"Dengan adanya kenaikan tersebut dimungkinkan juga akan menghambat peluang kenaikan rupiah," ujar Reza dalam risetnya, Senin (5/11).
Sementara itu, Direktur Avrist Asset Management Hanif Mantiq memprediksi rupiah akan relatif stabil per US$1 berada di level Rp15200-Rp 15.250. Pencapaian tersebut paling tidak hingga Desember 2018 sebelum The Fed kembali menaikan tingkat suku bunganya kembali.
"Dengan neraca perdagangan Indonesia yang sudah mulai surplus serta semakin melebarnya selisih antara yield treasury AS dan yield SUN kami melihat rupiah kemungkinan relatif stabil," ujar Hanif kepada Alinea.id.
Sekadar informasi, menutup perdagangan akhir pekan lalu rupiah dapat menguat terhadap dollar AS pada Jumat (4/11). Rupiah menjadi mata uang dengan penguatan tertinggi di Asia Tenggara.
Pada Jumat, US$1 di pasar spot ditutup pada level Rp 14.950. Rupiah menguat signifikan 1,16% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Setelah sebelumnya adanya rilis inflasi yang dianggap stabil memberikan sentimen positif pada rupiah, kali ini rupiah juga mendapat sentimen positif dari dalam negeri dimana Bank Indonesia (BI) menyampaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih solid dan telah menyiapkan sejumlah antisipasi untuk menghadapi gejolak ekonomi global.
"BI meresponnya dengan memperkuat aturan kebijakan moneter, makro prudensial, dan sistem pembayaran," ujar Reza.
Kenaikan Rupiah ini terjadi di tengah merosotnya harga minyak setelah AS dinilai mencabut sanksi minyak Iran. Imbas lainnya, membuat nilai tukar dollar AS menguat. Selain itu, penguatan dollar AS juga didukung meningkatnya data ketenagakerjaan AS.
Sementara itu, Hanif meyebutkan faktor stabilitas rupiah merupakan hal yang sangat krusial mengingat porsi investor asing cukup besar di pasar modal Indonesia (kurang lebih 50%), hal itu tentunya secara langsung dapat mempengaruhi keinginan asing untuk masuk ke pasar modal Indonesia.
Stabilitas rupiah tak lepas dari peranan pemerintah dan stakeholder dalam mengelola ekonomi baik secara fiskal maupun moneter. Terlebih dalam kondisi pengetatan moneter dimana bank sentral dari berbagai negara mulai melakukan penyesuaian suku bunga setelah era suku bunga rendah di Amerika Serikat berakhir.
"Kunci dari stabilitas rupiah antara lain menekan impor dan menaikkan ekspor, untuk menguatkan nilai tukar. Berbagai kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia sepertinya sudah mulai terasa pada aktivitas konsumsi maupun impor," jelas Hanif.
Kenaikan tingkat suku bunga BI sebesar 150 bps hingga bulan Oktober 2018 sepertinya mulai berdampak terhadap penurunan aktivitas konsumsi maupun impor yang menyebabkan perbaikan defisit neraca perdagangan Indonesia.
Perlambatan aktivitas konsumsi di dalam negeri diharapkan dapat membantu stabilnya rupiah dan mengurangi risiko depresiasi rupiah yang lebih dalam akibat defisit neraca perdagangan yang tak terkendali.
"Defisit neraca perdagangan diperkirakan akan semakin mengecil hingga akhir tahun seiring semakin efektifnya dampak kenaikan tarif impor barang konsumsi yang ditetapkan pemerintah," pungkasnya.