Pemerintah optimistis tekanan terhadap rupiah hanya sementara meski anjlok hingga menembus Rp14.000 per dollar Amerika Serikat.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, Indonesia bukan sebagai satu-satunya negara yang mengalami depresiasi mata uang terhadap dollar AS. Angka ini diyakini hanya sementara, dan bukan merupakan sesuatu yang perlu dicemaskan.
"Memang hari ini rupiah tembus Rp14.000 per dollar AS, tapi mestinya tidak berarti akan bertahan pada angka itu. Bank Indonesia juga akan melakukan langkah-langkah, walaupun BI akan menunggu rapat dewan gubernur bulanan untuk mencapai langkah," ujar Darmin di kantornya, Senin malam (7/5).
Bank Indonesia sebagai bank sentral memang memegang kendali terhadap alur moneter di Indonesia. Namun, pada satu sisi, BI juga harus menjaga momentum pertumbuhan di dalam negeri. Pada situasi seperti ini, Darmin menegaskan BI harus mengorbankan salah satu diantaranya.
Artinya, kata Darmin, pilih untuk menjaga momentum pertumbuhan atau menaikkan suku bunga acuan sebagai upaya stabilitas rupiah. Akan tetapi, strategi itu kemungkinan besar akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Pada situasi saat ini, kata Darmin, BI tidak bisa memilih keduanya. Kecuali, BI dapat menjalankan kedua opsi tersebut jika dalam siatuasi yang tenang.
"Jadi, ya tidak bisa dua-duanya. Dan sebenarnya kan pertumbuhan ekonomi kita tidak terlalu bagus dibandingkan dengan target APBN (sebesar 5,4%), tapi jangan lupa kuartal I memang selalu cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kuartal-kuartal sesudahnya," tegas Darmin.
Selain itu, kata Darmin, pertumbuhan ekonomi yang menurun juga disebabkan oleh panen raya yang bergeser ke bulan April. Menurutnya, jika dilihat lebih rinci, sektor pangan cenderung negatif pada kuartal I-2018.
Jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2018 sebesar 5,06%, sambungnya, untuk mencapai target perekonomian 5,4% pemerintah butuh berjuang untuk mencapai angka tersebut.