Jebloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) berimbas terhadap tertekannya pasar obligasi. Yield obligasi negara merangkak naik. Apabila kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin beban bunga obligasi yang harus dibayar pemerintah ikut terkerek.
Pemerintah mengaku terus memonitoring pergerakan ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan akan berkoordinasi dengan anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) lainnya.
"BI (Bank Indonesia) akan melaporkan, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) melaporkan, LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), dan Kemenkeu juga melakukannya. Kami akan melihat dinamika sekarang, apa respons yang perlu kita lakukan secara bersama-sama dan masing-masing," jelas Sri Mulyani, Kamis (26/4) di Jakarta.
Kendati demikian, pemerintah optimistis masih bisa membiayai Surat Berharga Negara (SBN) jatuh tempo dengan tenor 5,10, 15 serta 20 tahun. Pemerintah sendiri meyakini outlook defisit Indonesia masih tetap di 2,19% atau bahkan lebih kecil di tahun ini,
Sri Mulyani mengatakan akan menghitung potensi kenaikan biaya dari bunga utang agar tak berimbas terhadap bengkaknya defisit negara. Di sisi lain, pemerintah juga sudah memperhatikan belanja negara pada semester II ini.
Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) mencatat yield SBN kompak naik. Obligasi negara tenor 10 tahun dengan seri FR0064 berada di level 7,09% naik dibandingkan posisi hari sebelumnya yaitu 6,91%. Adapun yield tenor 5 tahun dengan seri FR0063 berada di level 6,47% naik dibandingkan posisi hari sebelumnya yaitu 6,32%.
Yield SBN tenor 15 tahun dengan seri FR0065 berada di level 7,30% naik dibandingkan posisi hari sebelumnya yaitu 7,18%. Demikian juga dengan yield SBN tenor 20 tahun dengan seri FR0075 berada di level 7,49% naik dibandingkan posisi hari sebelumnya yaitu 7,47%.
Sementara perusahaan manajer investasi, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menilai, ada beberapa faktor pendukung pasar finansial Indonesia, termasuk saham yakni bank sentral di kawasan Asia secara umum tetap akan menjaga suku bunga rendah di tengah kenaikan suku bunga The Fed.
"Kebijakan suku bunga rendah tetap bisa dilakukan karena adanya stabilitas inflasi, sinkronisasi pertumbuhan global, dan prioritas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," katanya seperti dilansir Antara.