Depresiasi rupiah 12,01% sejak awal tahun menjadi Rp15.183 per dollar Amerika Serikat, membuat cadangan devisa terkuras Rp259 triliun.
Bank Indonesia mengumumkan cadangan devisa per akhir September 2018 turun menjadi US$114,8 miliar dari US$117,9 miliar pada bulan sebelumnya. Selama sebulan, Cadev terkuras US$3,1 miliar setara Rp46,8 triliun.
Pengucuran cadangan devisa ini menjadi penggunanan instrumen moneter paling banyak sejak awal tahun. Tercatat, Cadev telah terkuras US$17,18 miliar setara Rp259,42 triliun sejak awal tahun.
Direktur BI Junanto Herdiawan menjelaskan, penurunan Cadev sebesar US$3,1 miliar tersebut dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah, di tengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Menurutnya, posisi candangan devisa pada bulan ini setara dengan pembiayaan 6,5 bulan impor atau 6,3 bulam impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Cadev ini terbilang masih berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
"BI menilai Cadev tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal, serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," jelas Junanto dalam keterangan resmi, Jumat (5/10).
Ke depan, BI memandang Cadev tetap memadai didukung keyakinan terhadap stabilitas dan prospek perekonomian domestik yang tetap baik, serta kinerja ekspor yang tetap positif.
Pemerintah, sambungnya, masih terus mendorong penerimaan devisa melalui pengembangan pariwisata. Terutama, melalui 10 Bali Baru dan penerimaan devisa hasil ekspor (DHE) dari para pengusaha eksportir, serta kebijakan penggunaan Biodisel 20% (B20)
Dari sektor pariwisata, pemerintah menargetkan bisa menghasilkan devisa sebesar US$17 miliar pada tahun ini dan US$20 miliar pada tahun depan. Sementara DHE, pemerintah berharap para eksportir bisa menukarkan 100% hasil ekspornya di dalam negeri.
Kemudian untuk penerapan B20, pemerintah berharap bisa menghemat hingga US$2,3 miliar.
Rupiah kian lunglai
Sementara itu, nilai tukar rupiah di pasar spot dikutip dari Bloomberg, pada perdagangan akhir pekan, Jumat (5/10) ditutup terkoreksi 0,03% sebesar 4 poin ke level Rp15.183 per dollar AS.
Kurs rupiah sempat menyentuh level tertinggi dalam 20 tahun terakhir sejak krisis ekonomi 1998. Rentang rupiah sepanjang hari berada pada Rp15.165-Rp15.193 per dollar AS.
Sejak awal tahun, kurs rupiah telah terdepresiasi 12,01% dan menjadi salah satu kinerja terburuk di antara mata uang di kawasan Asia.
Pergerakan nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Jumat sore, melanjutkan pelemahan sebesar 33 poin menjadi Rp15.183 dibandingkan posisi sebelumnya Rp15.150 per dollar AS.
Kepala Riset Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan, dollar AS masih berada dalam area positif terhadap mayoritas mata uang dunia menjelang perilisan data gaji nonpertanian AS untuk periode September.
"Data itu akan memberikan indikasi baru terhadap pertumbuhan upah dan kekuatan di pasar kerja, sekaligus akan memberikan petunjuk pada seberapa besar The Fed menaikkan suku bunga," katanya.
Pelaku pasar uang, lanjut dia, juga sedang menantikan sinyal dari data inflasi di AS di tengah kenaikan upah minimum perusahaan-perusahaan.
Analis senior CSA Research Institute, Reza Priyambada mengatakan akumulasi sentimen eksternal itu memicu aliran dana keluar sehingga rupiah mengalami tekanan dalam beberapa hari terakhir ini.
"Harga minyak dunia yang cenderung meningkat menambah beban bagi rupiah karena dapat mempengaruhi neraca perdagangan," katanya.
Sementara itu, kurs tengah BI pada hari ini (5/10), tercatat mata uang rupiah melemah menjadi Rp15.182 dibanding sebelumnya (4/10) di posisi Rp15.133 per dollar AS. (Ant).