Bank Indonesia siap menaikkan BI Rate menyusul nilai tukar rupiah yang terus terpuruk menembus Rp14.000 per dollar Amerika Serikat.
Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo menegaskan pihaknya sedang menyiapkan kebijakan moneter yang tegas, termasuk penyesuaian suku bunga kebijakan 7-day Reverse Repo Rate di tengah semakin anjloknya nilai tukar rupiah.
Dalam pernyataan resminya di Jakarta, seperti dilansir Antara, Rabu malam (9/5), Agus mengatakan BI sedang menyusun kebijakan moneter secara tegas dan konsisten, termasuk melalui penyesuaian suku bunga acuan. Dia juga menegaskan kini penyesuaian suku bunga acuan akan diprioritaskan untuk stabilisasi.
"Bank Indonesia juga tengah mempersiapkan langkah kebijakan moneter yang tegas dan akan dilakukan secara konsisten, termasuk melalui penyesuaian suku bunga kebijakan 7-day Reverse Repo Rate dengan lebih memprioritaskan pada stabilisasi," ujar Agus.
Suku bunga acuan BI saat ini sebesar 4,25%. Sudah dalam sembilan kali Rapat Dewan Gubernur bulanan, BI mempertahankan suku bunga acuan tersebut dengan arah kebijakan moneter yang bersifat "netral" dan "akomodatif".
RDG BI untuk menentukan suku bunga acuan akan digelar pada 16-17 Mei 2018 pekan depan, sekaligus menjadi rapat bulanan terakhir bagi Agus Martowardojo yang akan digantikan Mantan Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo pada 24 Mei 2018.
Dalam beberapa hari terakhir, rupiah menunjukkan tren depresiatif bahkan telah melewati level psikologis Rp14.000 per dollar AS. Kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (Jisdor) yang diumumkan BI pada Rabu ini, menunjukkan kurs rupiah mencapai Rp14.074 per dollar AS.
Sejak Januari hingga 8 Mei 2018, nilai tukar rupiah melemah 3,44% (year-to-date/ytd). Namun, angka itu lebih baik dibandingkan peso Filipina yang melemah 3,72%, rupee India 4,76%, real Brasil 6,83%, rubel Rusia 8,93%, dan Lira Turki 11,51%.
Agus mengatakan pelemahan rupiah karena menguatnya dollar AS secara luas terhadap seluruh mata uang, sehubungan dengan semakin solidnya ekonomi AS di tengah lambatnya pemulihan ekonomi di berbagai kawasan.
"Tekanan pada nilai tukar mata uang negara-negara maju lainnya juga besar. Indonesia telah mengalami beberapa tekanan yang cukup besar seperti saat ini dalam lima tahun terakhir sejak bank sentral AS melakukan program tapering off di tahun 2013," ujar dia.
Agus juga menegaskan BI sedang giat-giatnya menerapkan stabilisasi di pasar, termasuk dual intervensi di pasar valuta asing dan di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Selain itu, BI juga mengoptimalkan berbagai instrumen operasi moneter valas dan Rupiah, seperti lelang Forex Swap untuk menjaga ketersediaan likuiditas rupiah dan menstabilkan suku bunga di pasar uang.
Bank Sentral meyakini bahwa Indonesia juga akan berhasil melewati tekanan saat ini dengan baik, dengan perekonomian yang tetap tumbuh berkesinambungan dan stabil.