Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara, mengatakan kondisi perekonomian Indonesia saat ini masih terbilang kokoh meski mata uang Rupiah terus mengalami pelemahan. Seperti diketahui, nilai tukar Rupiah berada di level Rp 15.133 per dollar AS.
"Jangan lihat dari levelnya. Masih aman, yang penting supply dan demand (valas) masih jalan. Sektor perbankan juga kuat. Capital Adequacy Ratio (rasio kecukupan modal) masih di atas 20%. Jadi, strong," kata Mirza di Jakarta, Kamis, (4/10).
Mirza menjelaskan, level rasio kecukupan modal bisa dikatakan berbahaya jika berada pada angka 8,5% sampai 14%. Untuk likuiditas dollar, kata Mirza, Bank Indonesia masih akan terus memantaunya. Adapun terkait suku bunga acuan yang baru saja naik ke level 150 basis point sehingga menjadi 5,5%, pihaknya menilai hal itu masih terkendali.
Bank Indonesia pun, kata dia, akan selalu siap dengan fasilitas penyediaan likuiditas valas dengan term repo. Terlebih, kata dia, Bank Indonesia juga selalu melakukan interfensi pasar.
"Kami buka di bulan Mei dan Juni. Jadi, Bank Indonesia pasti akan masuk ke pasar untuk tambah likuiditas, jika likuiditas rupiah mengetat. Tapi, saat ini likuditas masih cukup. BI pasti memperhatikan itu," ujar Mirza.
Menurut Mirza, tren pelemahan ini sebaiknya memperhatikan volatilitasnya dengan memfokuskan pada suply dan demand. Indonesia pun, kata Mirza, pernah menemui titik keseimbangan baru. Pelemahan mata uang kali ini bukan hanya dirasakan oleh Indonesia saja. Tetapi juga negara emerging market lainnya bahkan juga negara maju.
"Kita sudah mengalami volatilitas ini sejak tahun 2013. Dari Rp10.000 ke Rp11.000, lalu jadi Rp12.000, jadi Rp13.000. Tapi, bukan cuma Indonesia, India juga mengalami seperti itu, Filipina, Meksiko, Brasil, dan Afrika Selatan. Bahkan negara-negara maju yang suku bunganya lebih rendah dari AS juga mengalami pelemahan kurs," tuturnya.
"Jadi, terpenting supply dan demand valas berjalan dengan baik dan inflasi juga terjaga. Jangan hanya terpaku pada level."