Tahun 2025 dibuka dengan kabar mengejutkan dari salah satu unicorn di Indonesia, Bukalapak yang mengumumkan akan menghentikan penjualan produk fisik di platformnya dan beralih fokus ke produk virtual. Perusahaan yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan ticker BUKA itu memilih berjualan produk seperti pulsa prabayar, token listrik, paket data, hingga BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan).
Pendiri Literos.org sekaligus pengamat budaya serta komunikasi digital, Firman Kurniawan menilai langkah ini sebagai strategi bisnis downsizing yang wajar dilakukan ketika perusahaan menghadapi kesulitan bersaing di segmen produk fisik.
“Penjualan produk virtual di Bukalapak sebenarnya sudah ada sejak lama, jadi ini bukan hal baru. Ini adalah cara Bukalapak mengefisienkan bisnisnya karena kontribusi dari penjualan fisik hanya sekitar 3% dari total pendapatan,” kata Firman kepada Alinea.id, Kamis (9/1).
Sekadar catatan, downsizing merupakan strategi yang diambil perusahaan untuk meningkatkan efisiensi dan mengerek daya saing. Alasan melakukan downsizing beragam, mulai dari kondisi keuangan yang memburuk, perubahan teknologi, perubahan kondisi pasar, hingga merger dan akuisisi.
Dalam keterbukaan informasinya, Bukalapak mengatakan kontribusi penjualan produk fisik terhadap total pendapatan perusahaan kurang dari 3%. Oleh karena itu, penghentian layanan ini disebut dapat meningkatkan efisiensi operasional dan membantu perusahaan mencapai jumlah pendapatan tanpa pengurangan biaya tertentu alias EBITDA positif.
Adapun proses penghentian layanan produk fisik Bukalapak dilakukan secara bertahap dan dimulai pada Februari 2025.
Perusahaan mengaku telah melakukan berbagai upaya yang terbaik, namun lini bisnis produk fisik terus menunjukkan penurunan kontribusi pendapatan dan pertumbuhan selama tiga tahun terakhir yang diakibatkan oleh perubahan dinamika pasar dan tantangan industri. Di lain sisi, biaya operasional untuk lini bisnis produk fisik juga terus menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Setelah menutup layanan fisik, aplikasi dan situs web Bukalapak, maupun aplikasi dan situs web marketplace lainnya serta mitra Bukalapak akan tetap beroperasi dan dapat diakses oleh para pengguna dan konsumen untuk layanan lainnya yang telah ada sebelumnya, seperti produk virtual, gaming, dan investasi.
Meski strategi baru ini diharapkan dapat menjaga keberlanjutan bisnis, Firman mengatakan Bukalapak harus segera menemukan aliran pendapatan baru agar sanggup bertahan. Jika tidak, risiko kebangkrutan tetap ada.
“Untuk bertahan sebagai marketplace, tidak cukup hanya menawarkan produk virtual. Ada banyak aspek yang perlu diperhatikan, seperti harga, sistem pembayaran, hingga layanan ekspedisi. Shopee dan Tokopedia unggul karena mereka berhasil menawarkan semua itu dengan harga kompetitif dan layanan yang baik,” tambah Firman.
Ia juga mengingatkan Bukalapak tidak boleh terlalu lama bergantung pada produk virtual, karena pasar tersebut sudah dikuasai oleh pemain besar lain seperti Shopee, Tokopedia, dan bahkan ritel fisik seperti Indomaret.
Tak mampu rebut pasar
Runtuhnya layanan fisik Bukalapak merupakan dampak ketatnya persaingan di industri lokapasar. Apalagi, bisnis ini diramaikan oleh pemain besar seperti Shopee dan Tokopedia-TikTok yang saat ini bersaing dalam dua hal utama, yakni inovasi dan strategi “bakar uang”. Keduanya mengembangkan fitur Live Shopping untuk menarik konsumen. Sedangkan Bukalapak tak mampu merebut pasar.
Menurut peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, e-commerce di Indonesia terbagi menjadi tiga lapisan besar. Lapisan pertama diisi oleh dua pemain dominan, yaitu Shopee dan Tokopedia-TikTok. Persaingan antara keduanya semakin ketat sejak merger Tokopedia dengan TikTok, memperkuat ekosistem mereka dalam menarik konsumen, terutama melalui fitur Live Shopping yang sedang berkembang pesat.
Shopee sudah mengembangkan Live Shopping secara masif, sementara Tokopedia sangat diuntungkan dengan integrasi ekosistem TikTok sebagai media sosial.
"Bahkan, Shopee telah memperluas pemasaran melalui kolaborasi dengan platform YouTube, yang memungkinkan promosi produk lewat video dan live streaming,” ungkap Nailul kepada Alinea.id, Kamis (9/1).
Lapisan kedua terdiri dari platform menengah seperti Lazada, Blibli, dan Bukalapak. Sebelum merger, TikTok Shop sempat berada di lapisan ini. Kini, dengan ditutupnya layanan e-commerce fisik Bukalapak, platform menengah hanya tersisa Lazada dan Blibli. Sementara, lapisan ketiga dihuni oleh e-commerce lokal kecil yang mengisi pasar-pasar khusus.