Saat dampak PMK mengancam perputaran roda bisnis
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan ternak masih tersebar di 16 provinsi di Indonesia. Tercatat, ternak sakit dari 126 kabupaten/kota yang masih terjangkit hingga Sabtu (17/12) dini ada sebanyak 585.779 ekor.
Secara rinci, dari data crisis center PMK Kementerian Pertanian, ternak yang terdampak foot and mouth disease ini antara lain, sapi potong sebanyak 478.978 ekor, sapi perah 73.198 ekor, dan kerbau 26.446 ekor. Sementara ternak kambing sakit ada 4.546 ekor, domba 2.523 ekor, dan babi 88 ekor.
Penyebaran wabah PMK ini telah meliputi Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bengkulu, Sulawesi Selatan, Riau, Jambi, Banten, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan PMK Wiku Adisasmito bilang, kondisi ini jelas jauh lebih baik ketimbang saat puncak kasus yang terjadi pada sekitar 26 Juni lalu. Di mana pada saat itu terdapat 13.559 penambahan kasus baru dalam satu hari. Sedangkan pada Rabu (14/12) kemarin tercatat hanya ada 25 kasus baru.
“Sehingga dari total 27 provinsi yang sebelumnya terdampak, sekarang sudah ada 11 provinsi yang sudah mencatatkan zero reported case (melaporkan nol kasus). Artinya, sudah tidak ada penularan lagi dalam 14 hari terakhir,” jelas Wiku, kepada Alinea.id, Selasa (13/12).
Di sisi lain, jumlah ternak sembuh per Kamis (15/12) mencapai 531.044 ekor. Lebih banyak dari jumlah ternak yang masih belum sembuh, yakni 30.406 ekor.
Meski sudah terkendali dan jumlah laporan signifikan berkurang, nyatanya wabah PMK masih jauh dari kata usai. Karena itu, pihaknya masih akan terus menerapkan lima strategi utama penanganan PMK yang meliputi ketahanan hayati alias biosecurity, vaksinasi, testing, pengobatan dan potong bersyarat.
“Yang kita harapkan pertama adalah agar kasusnya terkendali dulu. Makanya sekarang kita usahakan agar tidak ada ternak yang tertular kembali. Virus boleh ada, tapi kalau program vaksinasi berjalan baik, harusnya penularan akan semakin rendah dan Indonesia bisa bebas PMK lagi,” ujar Koordinator Tim Pakar Satgas PMK itu.
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian Nasrullah mengatakan bahwa terkendalinya kasus PMK saat ini ialah karena masifnya vaksinasi di seluruh Indonesia. Hal itu diungkapkannya dalam Rapat Koordinasi Nasional Penyakit Mulut dan Kuku (Rakor PMK) dan Rapat Koordinasi Teknis Nasional (Rakorteknis) II Direktorat Jenderal PKH Kementerian Pertanian Tahun 2022 yang dihelat pada Selasa (13/11) lalu. Hingga saat ini saja, vaksinasi sudah mencapai 8.722.787 dosis. Jumlah ini meningkat dibanding dua hari sebelumnya yakni sebanyak 8.469.951 dosis.
“Kementerian Pertanian juga telah melakukan berbagai upaya dalam pencegahan PMK, antara lain dengan menyusun 28 regulasi dan langkah strategi, pembentukan Satuan Gugus Tugas (Satgas), pengaturan lalu lintas ternak,” kata dia.
Update kasus PMK
Jumlah kasus positif | Zero Reported Case |
Provinsi: 16 | Provinsi: 11 |
Kabupaten/Kota: 126 | Kabupaten/Kota: 184 |
Kecamatan: 855 | Kecamatan: 1.932 |
Desa: 2.768 | Desa: 11.503 |
Kemudian, pemerintah juga telah memberikan bantuan obat-obatan, vaksin, serta pakan, memberikan pelatihan sumber daya manusia (SDM) dan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) kepada peternak dan tenaga kesehatan hewan. Selanjutnya, pemerintah juga telah memberikan penggantian ternak dan ganti rugi kepada peternak. Hal ini diberikan pada pemilik ternak, terutama sapi yang mati atau disembelih paksa (stamping out) akibat PMK.
“Untuk menetapkan strategi pengendalian PMK, kami juga telah menyusun road map penanganan PMK,” lanjutnya.
Dampak lanjutan
Di balik itu, dampak PMK mulai dirasakan baik oleh peternak kecil maupun industri di dalam negeri, utamanya perusahaan produsen makanan atau minuman berbahan dasar daging maupun susu sapi. Bagaimana tidak, pada sapi perah misalnya, wabah PMK memberikan dampak traumatik kepada peternak atau pembudidaya sapi yang biasa digunakan untuk konsumsi sehari-hari itu.
“Pada saat puncak penularan, karena ini penularan virusnya luar biasa cepat, kita tidak siap. Apalagi banyak keterbatasan di petani, infrastruktur, sarana transportasi, sampai kecepatan untuk memindahkan ternak yang sudah sakit ke rumah pemotong,” jelas Ketua Umum Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) Didiek Purwanto, saat dihubungi Alinea.id belum lama ini.
Segala keterbatasan itulah yang kemudian membuat banyak sapi potong yang mati sia-sia. Di sisi lain, sapi yang telah terkena PMK namun kemudian sembuh, menurutnya akan mengalami keterlambatan untuk mencapai usia dewasa, dengan persentase 10-20%. Tidak hanya itu, sapi potong pun juga berisiko mengalami kemandulan (infertilitas), perlambatan kebuntingan, hingga kematian anak.
Sementara itu, selain dilanda banyaknya kematian ternak, para peternak sapi potong juga masih dihadapkan pada mahalnya sapi bakalan asal Australia. Membeli sapi bakalan, kata Didiek, menjadi satu-satunya jalan bagi peternak untuk menghidupkan kembali usaha peternakan mereka di tengah minimnya bantuan pemerintah.
“Kalau tidak segera ditangani, akan sulit bagi kita untuk memutar roda usaha lagi. Karena ganti rugi dari pemerintah juga tidak bisa sepenuhnya menutupi kerugian kita,” keluh dia.
Dari sisi sapi perah, foot and mouth disease virus (FMDV) membuat susu yang dihasilkan sapi menurun drastis. Di Lembang, Bandung Barat misalnya, masih belum bisa mengembalikan produksi susu seperti sedia kala. Padahal, salah satu daerah penghasil susu terbesar di Indonesia ini sudah tercatat sebagai daerah zero reported case.
Ketua Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Dedi Setiadi menjelaskan, saat kondisi normal sebelum PMK menyerang, rata-rata per ekor sapi perah bisa menghasilkan hingga 20 liter susu. Namun, sampai saat ini sapi-sapi di daerahnya hanya mampu menghasilkan 5-10 liter susu per ekor sapi.
Perlu diketahui, populasi sapi perah yang terdata di KPSBU Lembang mencapai 18.353 ekor, dengan 5 ribu ekor diantaranya telah tertular PMK. “Turunnya produksi susu ini jelas sangat merugikan peternak. Apalagi kita juga harus menyuplai susu ke berbagai pabrik pengolahan susu. Dengan setoran yang semakin sedikit ini, otomatis penghasilan peternak juga turun,” bebernya, kepada Alinea.id, Kamis (1/12).
Meski begitu, tidak banyak yang bisa dilakukan Dedi dan kawan-kawan peternak sapi perah lainnya. Satu upaya yang bisa mereka lakukan hanya menjaga kesehatan ternak dengan maksimal, agar sapi perah tersebut bisa terus menghasilkan susu meski tak banyak.
“Selain juga berharap bantuan dari pemerintah atau swasta agar kita bisa membeli sapi perah yang baru,” imbuh Ketua Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) itu.
Selain Lembang, GKSI juga melaporkan bahwa dari 161.943 ekor sapi peternak GKSI di Jawa Timur, sebanyak 65.157 ekor terpapar wabah PMK. Hal ini pun mengakibatkan pula penurunan produksi susu sebesar 30% menjadi 918 ton per hari.
Padahal, tanpa adanya wabah PMK, produksi susu dalam negeri masih belum mampu memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia. Di mana diketahui rakyat Indonesia membutuhkan pasokan susu sebesar hampir 4,4 juta ton per tahun, sedangkan jumlah susu segar dalam negeri (SSDN) hanya sebanyak 997,35 ribu ton per tahun.
Nestapa produsen
Sementara itu, nestapa akibat wabah yang telah terjadi sejak awal April lalu ini juga dirasakan oleh perusahaan produsen makanan dan minuman dari olahan daging atau susu sapi. Saat menyambut Kunjungan Kerja Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika, Direktur Utama PT Greenfields Indonesia Darmanto Setyawan mengungkapkan, PMK telah membuat volume pembuatan susu Greenfields berkurang 30-40% dari kondisi normal.
Karena itu, pihaknya lantas memutar otak untuk dapat tetap mencukupi kebutuhan susu nasional, sekaligus juga dapat meningkatkan kesejahteraan peternak lokal yang terdampak.
“Hingga kini, peternakan sapi perah PT Greenfields Indonesia memiliki populasi sapi lebih dari 10.000 ekor yang menghasilkan lebih dari 43,5 juta liter susu segar setiap tahunnya dengan memasok pasar domestik dan luar negeri,” ungkapnya, Jumat (3/12) lalu.
Meski mengalami penurunan, namun produsen susu kemasan yang berpusat di Malang, Jawa Timur ini berkomitmen untuk menjaga kualitas produk susu yang dihasilkan tetap dalam kondisi baik. Hal ini penting, lantaran sampai saat ini Jawa Timur belum terbebas dari kasus PMK.
“Untuk itu, Greenfields membuat fasilitas penampungan susu atau milk collection center (MCC) yang ketiga di daerah Pijiombo, Blitar, Jawa Timur. Fasilitas ini merupakan bagian dari program Kemitraan Sapi Perah Greenfields (KSG) yang digagas Greenfields dan melibatkan para peternak setempat,” imbuhnya.
Terdampak lebih dalam dari Greenfields, emiten peternakan PT Widodo Makmur Perkasa Tbk. mencatatkan penjualan bersih Rp3,34 triliun per 30 September 2022. Angka ini lebih rendah dari periode yang sama di tahun sebelumnya yang dapat mencapai Rp4,54 triliun.
Chief Executive Officer Widodo Makmur Perkasa Tumiyana mengungkapkan, anjloknya penjualan perseroan terutama diakibatkan oleh penjualan sapi yang turun hingga 61,44% menjadi Rp514,41 miliar. Kemudian penjualan daging dan daging olahan juga turun menjadi Rp452,6 miliar.
Dengan demikian, lini bisnis dari peternakan sapi potong itu pun hanya mampu menyumbang pendapatan kepada perusahaan sebesar 16%, saat lini bisnis unggas berkontribusi hingga 61%. Namun demikian, kontribusi tersebut masih lebih besar ketimbang pendapatan dari makanan olahan yang hanya menyumbang 15%, komoditas pertanian 4%, dan energi serta konstruksi sebesar 5%.
“Secara keseluruhan, perusahaan membukukan pendapatan sebesar Rp3,3 triliun pada kuartal-III 2022,” kata Tumiyana dalam keterangannya kepada Alinea.id, Jumat (2/12).
Sementara itu, beban pokok penjualan perusahaan tercatat turun menjadi Rp2,91 triliun dari Rp3,93 triliun. Kondisi ini membuat laba kotor perusahaan dengan kode emiten WMPP ini tetap berkurang menjadi Rp426,19 miliar dari Rp600 miliar.
Di sisi lain, perusahaan justru mengalami kenaikan beban umum dan administrasi menjadi senilai Rp202,14 miliar, sehingga laba usaha tergerus menjadi Rp221,74 miliar. Kemudian WMPP juga mencatatkan beban lain-lain bersih senilai Rp177,03 miliar, yang membuat laba sebelum pajak penghasilan turun signifikan menjadi Rp44,7 miliar dari sebelumnya Rp271,21.
Dus, perseroan mencatatkan rugi bersih periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp10,34 miliar. Kondisi ini berbanding terbalik dari periode di tahun sebelumnya yang masih membukukan laba sebesar Rp Rp175,1 miliar.
Sementara itu, agar wabah PMK tidak semakin memperburuk kinerja perusahaan, Tumiyana telah melakukan berbagai strategi penanganan wabah yang diterapkan di peternakan milik perusahaan. Beberapa langkah tersebut antara lain dengan menerapkan biosecurity di operasional perusahaan.
“Biosecurity adalah langkah pengamanan pertama yang dilakukan saat terjadinya wabah, sehingga wabah tidak menyebar luas. Perusahaan juga mengontrol secara ketat akses keluar masuk area operasional untuk mencegah virus dari luar terbawa masuk ke dalam area perusahaan,” jelas dia.