close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.
Bisnis
Sabtu, 31 Juli 2021 07:07

Saat karya seni digital dibungkus dengan NFT

Indonesia memasuki era baru jual beli karya seni menggunakan mata uang kripto.
swipe

Sebuah kapal selam nampak terombang-ambing di tengah garis-garis bergelombang warna biru, putih dan perpaduan keduanya. Di atasnya, tersembul matahari bersirat kuning yang menyinari sebagian sisi kapal selam. Tertulis angka 402 di badan kapal dan bendera merah putih di atasnya. 

Gambar itu diunggah akun Instagram @Artmomentsjakarta pada 21 Mei lalu bersama enam gambar lainnya. Meski sekilas seperti lukisan, nyatanya gambar tersebut merupakan karya seni digital yang dibuat oleh seniman digital Ruanth Chrisley Thyssen dan istrinya Cindy Thyssen.

Karya seni berjudul ‘53 Never Forgotten’ ini sengaja dibuat untuk menghormati para awak kapal KRI Nanggala 402 milik TNI Angkatan Laut yang tenggelam di Selat Bali. 

“(Angka) ’53’ adalah penghormatan kepada 53 anggota kru yang meninggal dan saat ini telah berada dalam patroli abadi mereka, 53 keluarga yang hidupnya akan terus berlanjut. 53 Tidak akan pernah dilupakan,” kata seniman penerima nominasi Oscar dan BAFTA (British Academy Film Awards) itu, kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.

Ruanth bercerita, jika dilihat langsung di ruang pameran Art Moments Jakarta (AMJ) Online 2021 di Art Space: 1, ‘53 Never Forgotten’ bukan lah sekadar gambar digital biasa. Karya ini rupanya adalah gambar bergerak atau animasi dengan durasi 53 detik. Melalui karya itu dia menyajikan gagasan tentang gambar, ritme dan gerak. 

“Dari sana terdengar suara gemuruh air laut,” imbuhnya yang kini tinggal di Bali.

 

 

Hal menarik lainnya dari seni digital itu adalah sang seniman mengemas karya seninya ke dalam token khusus (NFT/Non-Fungible Token). Dengan NFT, sebuah karya seni digital dapat bertambah nilainya karena pada dasarnya masing-masing NFT memiliki ciri khas tersendiri. 

Dus, karya tidak dapat disebarluaskan atau ditukar semaunya. Atau mengacu istilah Ruanth, NFT layaknya selembar sertifikat tanah.

Mengutip BBC, NFT sendiri adalah jenis sertifikat digital yang memverifikasi siapa yang memiliki aset tertentu --di dunia cryptoart. Masing-masing sertifikat mewakili kepemilikan karya seni otentik. Token itu masuk dalam blockchain, teknologi yang sama yang mencakup uang kripto seperti Bitcoin. Siapa yang membuat karya seni, kapan karya itu dijual, dan kepada siapa terekam dalam rantai blok itu. 

Artinya, semua orang dapat melihat salinan gambar secara online, namun hanya orang yang membeli NFT yang dapat mengatakan bahwa mereka adalah pemiliknya. Di sisi lain, ketika seseorang membeli NFT dari karya seni digital, dia akan mendapatkan riwayat transaksi yang dicatat dalam ekosistem blockchain. Token ini dapat dijual kembali dan hak kepemilikan dapat dialihkan kepada orang lain.

Sementara itu, artis memiliki hak cipta intelektual atas gambar yang terkait dengan NFT dan dapat memperoleh royalti setiap kali token dijual kembali. “Maka tidak heran jika harga seni digital dalam NFT akan lebih mahal dibandingkan karya seni biasa. Karena artist akan membuat satu token untuk masing-masing karya mereka,” ujar dia.

Alat pembayaran

Sebagai alat pembayaran dalam transaksi karya seninya, Ruanth memilih untuk menggunakan Tezos. Mata uang kripto yang cukup banyak digunakan sebagai alat pembayaran NFT oleh para seniman digital, selain Ethereum. Namun, meskipun berfluktuasi, harga Tezos jika dikonversikan dalam rupiah jauh lebih terjangkau dibandingkan dengan Ethereum.

Mengutip laman Investing.com, harga Tezos adalah sekitar Rp40.801. Sedangkan harga Ethereum sekitar Rp33.708.888. “Dari ‘53’ saya menyediakan 5.300 edisi dengan masing-masing NFT,” ungkap Ruanth.

Ilustrasi mata uang kripto. Pixabay.com.

Di Indonesia sendiri, Perwakilan dari Rachel Gallery (Rach.galx) Pamuji Slamet menyebut seni kripto biasa dibandrol dengan harga sekitar Rp4 juta hingga Rp5 juta untuk satu edisi NFT.

"Katakanlah kami cuma merilis 20 edisi. Jadi, gambar yang sama ini cuma ada 20 dan enggak bisa diubah. Bisa diambil oleh 20 orang pemilik dikali Rp5 juta," urainya kepada Alinea.id, Kamis (29/7).

Maka tak heran jika karya milik Rimbawan Gerilya x Gabber Modus di AMJ 2021 Online yang berjudul Garment Smugler’s Boat mampu terjual senilai 0,3 Ethereum atau sekitar US$887. Atau lukisan milik peneliti dan penulis Denny J.A. yang bertajuk 'A Potrait of Denny JA - 40 Years in the World of Ideas' mampu menghasilkan Ethereum senilai Rp1 miliar.

Pamuji melanjutkan, bagi pemilik token yang dibeli dengan mata uang kripto tertentu pun tak perlu khawatir, saat ingin menghapus atau membakar (burning) token tersebut. Sebab, saat token yang dimiliki itu dihapus, maka akan berubah menjadi token lain.

“Token baru itu nanti bisa ditukarkan dengan karya lain,” katanya yang karib disapa Pam.

Di sisi lain, kemunculan seni kripto di Tanah Air juga dirasa memudahkan seniman dan kolektor untuk bertemu lintas negara. Sebabnya, transaksi dilakukan secara online, melalui marketplace khusus. 

Dari catatan Komunitas Crypto Art Artist 105Collective yang berbasis di Inggris, ada dua macam platform untuk menjual dan membeli karya seni kripto. Pertama, melalui marketplace yang telah dikurasi, seperti OpenSea, Rarible, Mintbase dan lainnya. Kedua, lewat marketplace yang belum dikurasi, meliputi Knownorigin, Supperrare, Mybae, dan lain sebagainya.

Sementara itu, keuntungan bagi sang seniman didapatkan dari hak cipta yang diperoleh dalam setiap transaksi NFT. “Untuk bisnis, tentu ini bisa jadi sangat cepat dan efisien,” tutur Anggota Komunitas Crypto Art Indonesia E. Putra kepada Alinea.id, belum lama ini.

Naik pamor

Meski baru muncul di Indonesia akhir tahun lalu, keberadaan seni kripto secara cepat menjadi primadona di dunia seni nasional. Putra pun yakin jika kelak penjualan seni digital ini bisa menjadi peluang usaha yang potensial. Apalagi Indonesia memiliki banyak seniman mumpuni dengan karya dan karakteristik beragam. 

Namun demikian, sama seperti kemunculan blockchain pertama kali di Indonesia, yang perlu dipelajari ialah mekanisme kerja dan keamanannya. Pun begitu dengan seni kripto yang tentunya membutuhkan waktu untuk dipahami. Termasuk pengkategorian Crypto Art sebagai karya seni kontemporer modern.

“Harapannya, ke depannya para seniman digital bisa memanfaatkan platform-platform seperti OpenSea, KnowingOrigin, SuperRare, dan lainnya sehingga bisa menghasilkan uang untuk mereka,” ujar Putra.

Selain potensi pasar yang masih terbuka lebar, nyatanya seni kripto di Indonesia masih memiliki beberapa tantangan. Perwakilan Rachel Galery (Rach.galx) Pam mengungkapkan, karena pandemi Covid-19, kehadiran seni NFT di Indonesia bisa dikatakan terlambat. Padahal, seharusnya seni kripto sudah bisa hadir di Tanah Air setahun sebelumnya. 

Selain itu, edukasi para seniman juga membutuhkan waktu lebih lama karena banyak yang gagap teknologi. Padahal, edukasi adalah langkah terpenting bagi seniman yang ingin memasuki dunia seni kripto. Tujuannya tak lain agar seniman bisa mengintegrasikan karyanya ke dalam blockchain dan melakukan transaksi melalui platform. 

Selanjutnya, hal yang paling menantang dari seni kripto, menurutnya adalah menentukan pasar potensial yang tertarik membeli karya seni lewat sistem ini. Bersamaan dengan itu, seniman, galeri, maupun kurator juga harus mengedukasi pasar, yang dalam hal ini adalah kolektor.

"Soalnya, kalau semua seniman masukin karyanya ke situ, bikin crypto art, tapi enggak ada pasarnya sama juga bohong ya," ungkapnya.

Sementara itu, perupa R.E. Hartanto mengungkapkan, bagi seniman fisik atau seniman tradisional, proses kuratorial atau mengkurasi karya adalah hal lain yang banyak dipertanyakan. Sebagai informasi, di dunia seni rupa, setelah seniman membuat karya, biasanya karya tersebut akan langsung dikurasi oleh kurator.

Sedangkan di dunia NFT, suatu karya seni digital tidak perlu lagi dikurasi jika marketplace tempat seniman menjual karyanya telah terkurasi. Namun, untuk masuk ke dalam marketplace, seniman harus lulus kurasi terlebih dahulu. 

Setidaknya, ada form dari marketplace yang harus dipenuhi. Kemudian jika membutuhkan portofolio, maka seniman dapat melampirkan alamat situs karya-karyanya.

“Itu seleksi di awal," katanya kepada Alinea.id, Sabtu (24/7).

Sebelumnya, dalam webinar bertajuk NFTs: Explained, seniman visual Bonni Rambatan menilai, meski NFT terbuat dari token khusus, namun tidak menutup kemungkinan bahwa karya seni digital yang diperjual belikan itu adalah karya milik orang lain. Apalagi dalam ekosistem NFT tidak ada yang memeriksa keaslian dari suatu karya digital. 

“Misal ada individu yang mencuri karya orang lain, kemudian hanya menempelkan NFT pada karya itu. Itu terjadi dan sangat banyak bahkan,” ungkap dia, akhir Mei lalu.

Ironisnya, kasus-kasus seperti ini tak terlacak oleh NFT. Ditambah lagi, karya seni digital yang sudah dibungkus dengan NFT sangat sulit untuk dikoreksi atau dilepas.

Dihubungi terpisah, Staf Ahli Menteri Bidang Inovasi dan Kreativitas Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Josua Puji Mulia Simanjuntak, mengakui sampai saat ini memang belum ada regulasi khusus yang mengatur tentang transaksi seni kripto. 

Baik aturan tentang harga minimal dari sebuah seni NFT atau hal lainnya. Meski begitu, untuk harga setiap karya seni digital NFT biasanya mengikuti fluktuasi dari mata uang kripto yang digunakan oleh seniman.

Adapun peran pemerintah sejauh ini terkait seni digital yang sedang ramai diperbincangkan ini adalah adalah mempersiapkan definisi terkait apa yang terjadi di dunia seni kripto sebagai langkah pertama.

Tidak bisa dipungkiri, dengan naiknya pamor seni kripto di Indonesia, muncul pula istilah-istilah baru di dunia seni digital.

“Misal ‘gas fee’ atau biaya yang harus dibayar pada saat ingin melakukan transaksi di satu jaringan mata uang kripto misalnya Ethereum. Ada juga ‘minting’ atau proses mengubah karya digital menjadi aset kripto atau NFT,” urainya kepada Alinea.id, melalui sambungan telepon, Rabu (28/7). 

Josua bilang, istilah-istilah itu sangat penting dipahami oleh pemerintah jika ingin membuat kebijakan yang bagus. Agar nantinya tidak menjadi temuan saat dilakukan audit kebijakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Selain itu, saat ini pemerintah juga tengah memetakan ekosistem seni kripto. Hal ini dilakukan agar nantinya, para seniman yang terjun ke dunia seni digital NFT dapat melenggang di pasar nasional maupun internasional. 

“Lalu untuk ke depannya, mungkin pemerintah akan berikan dukungan lainnya, kayak meng-cover gas fee,” beber dia.

Di sisi lain, Direktur Pemasaran Kemenparekraf Yuana Rochma Astuti mengatakan, dengan adanya pagebluk Covid-19, saat ini para seniman diharuskan untuk melakukan inovasi, yakni dengan menjajal karya seni digital NFT. Sebab, selain karena terbatasnya mobilitas masyarakat, sekarang ini sudah banyak masyarakat yang bertransaksi atau berinvestasi menggunakan mata uang kripto. 

“Apalagi di luar negeri pasarnya besar sekali. Ini harus dimanfaatkan, khususnya untuk seniman-seniman muda,” ujarnya melalui pesan singkat, Rabu (28/7). 

Sementara itu, mengutip laman Cryptoart.io, hingga 1 Juli 2021 nilai total crypto art global sampai 1 juli 2021 sebesar us$649.096.815,54 (281.969,590 eth/ethereum). Dengan total karya seni kripto yang telah terjual pada periode yang sama adalah sebanyak 802.586 karya.


 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan