Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF). Peluncuran ICEF ini diharapkan dapat menjadi wadah untuk bertukar gagasan dan pemikiran inovatif yang mampu mendorong transformasi menuju sistem energi yang rendah karbon.
"Diharapkan dapat menghasilkan analisis yang tajam serta mampu menjadi rekomendasi bagi pemerintah untuk mendorong pengembangan energi terbarukan, dalam rangka mencapai target Kebijakan Energi Nasional (KEN/Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar 23% pada 2025 dan 25% pada 2030," papar Ketua Dewan Penasihat ICEF Kuntoro Mangkusubroto dalam acara Grand Launching of Indonesia Clean Energy Forum di Pullman Hotel, Jakarta Pusat, Kamis (15/11).
Transformasi energi dibutuhkan mengingat penyediaan listrik saat ini masih bertumpu pada bahan bakar fosil (batubara, minyak dan gas alam). Hal itu cenderung dapat memperbesar porsi pembangkit batubara sekaligus meningkatkan risiko finansial dari 'stranded asset' atau dari aset-aset pembangkit dan tambang di masa mendatang.
Risiko tersebut diperkuat dengan adanya sejumlah kecenderungan seperti harga teknologi energi terbarukan semakin murah dan kompetitif, tingkat efisiensi perangkat listrik yang semakin tinggi. Disisi lain, ada tekanan internasional yang semakin kuat untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, khususnya dari sektor energi, untuk mencapai target 'Paris Agreement'.
Kendati begitu, Kuntoro optimis transformasi energi di Indonesia dapat dilakukan secara baik terutama menuju energi bersih secara berkeadilan. Meskipun membutuhkan kajian dan persiapan yang serius serta komitmen politik dari berbagai pemangku kepentingan.
"Transformasi energi membutuhkan investasi yang besar baik untuk energi terbarukan, jaringannya, maupun penyimpan dalam satu dekade mendatang. Di sisi lain perlu ada rasionalisasi terhadap rencana pembangunan PLTU batubara dan kontrak-kontrak batubara, akan tetapi Indonesia bisa mewujudkan cita-cita tersebut dengan tekad yang kompak," paparnya.
Di kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa memaparkan studi banding yang dilakukan oleh Carbon Trocker 2018. Studi tersebut menjelaskan investasi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dianggap menghasilkan listrik dengan harga lebih murah dibandingkan dengan membangun PLTU baru pada 2027/2028.
"Arah kebijakan energi dan kelistrikan Indonesia hari ini bertolak belakang dengan tren global. Kondisi ini akan meningkatkan risiko-risiko finansial bagi aset PLN dan IPP seiring dengan semakin kompetitifnya harga energi terbarukan. Harga listrik dari 'solar pv' dan 'battery rage' akan lebih murah dibandingkan dengan listrik dari jaringan (grid) pada pertengahan dekade mendatang. Pemerintah dan perusahaan listrik perlu menyadari ancaman ini dan diharap dapat tergerak untuk mulai melakukan transformasi bisnisnya," terang Fabby Tumiwa.