Rencana merger tiga bank syariah milik BUMN, yaitu PT Bank BRIsyariah Tbk. (BRIS), PT Bank BNI Syariah, dan PT Bank Syariah Mandiri, mendapatkan antusiasme dari pasar. Saham milik BRISyariah yang menjadi bank cangkang dalam rencana merger ini, diserbu oleh investor.
Menjelang pengumuman merger tiga bank syariah milik negara tersebut pada Selasa (13/10), harga saham BRIS naik 25% dan menyentuh batas auto reject atas (ARA). Reli saham BRIS berlanjut pada Rabu (14/10), lagi-lagi menyentuh batas ARA atau naik 24,89% ke harga Rp1.405 per saham. Tercatat selama sepekan terakhir, saham BRIS melejit 65,29%.
Meskipun tren saham BRIS terus menunjukkan kenaikan, analis senior CSA Institute Reza Priyambada menyarankan investor untuk menahan keinginan mereka membeli saham BRIS.
Dia melihat, kenaikan saham BRIS ini merupakan efek psikologis dari pelaku pasar. Namun sebenarnya, pengaruh merger tersebut kepada fundamental BRIS belum sepenuhnya terlihat.
"Yang jelas, setelah merger dilakukan harus dicek kembali bagaimana pengaruhnya ke kinerja mereka baik dari sisi lending atau kredit, pertumbuhan pendapatan, dan kinerja-kinerja lainnya," kata Reza ketika dihubungi, Rabu (14/10).
Selain itu, menurutnya, akan banyak trader yang memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan aksi ambil untung (profit taking). Pasalnya, harga saham BRIS telah menyentuh harga Rp1.405 per saham.
Senada dengan Reza, Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan untuk saat ini investor lebih baik menahan keinginannya untuk membeli saham BRIS dan mengamati proses merger tersebut.
"Prosesnya mereka harus dapat izin otoritas dulu," ujarnya.
Hans juga menyarankan investor untuk mencermati Undang-Undang Persaingan Usaha yang bisa saja menjadi sentimen negatif ke saham BRIS. Dalam UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, disebutkan pelaku usaha atau kelompok usaha dilarang melakukan monopoli, atau menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Selain itu, dalam pasal 28 juga disebutkan pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat.