Saham sektor EBT: PGEO dan BREN masih bisa panas, buy atau sell?
Emiten sektor energi baru dan terbarukan (EBT) melemah setelah sempat merajai bursa. PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO), misalnya. Harga saham anak usaha PT Pertamina (Persero) ini terpantau turun 4,11% ke Rp1.050 per saham pada penutupan perdagangan Jumat (24/11).
Harga saham PGEO sempat melesat dan menyentuh level Rp1.605 per saham pada 25 September 2023. Angka itu terbang 83,43% dari harga penawaran perdana saham (IPO) awal Februari yang dipatok Rp875 per saham.
Emiten sektor EBT lainnya, PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN) terpantau loyo di perdagangan kemarin. Emiten milik konglomerat Prajogo Pangestu ini turun 5,45% ke Rp6.075 per saham.
Meski demikian, harga saham emiten yang baru melantai pada Senin (9/10) ini sempat ke posisi Rp6.800 per saham pada perdagangan Senin (20/11) atau melesat 771,79% dari harga IPO-nya yang ditawarkan Rp780 per saham. Kapitalisasi pasar BREN juga sempat berada di angka Rp909,75 triliun atau tinggal sedikit lagi menyentuh Rp1.000 triliun dan terus memepet kapitalisasi pasar perbankan jumbo PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA).
Buy atau sell?
Prospek saham sektor EBT diramal masih seksi. Harga saham PGEO diprediksi bakal terus melejit. MNC Sekuritas memberikan rating buy kepada PGEO dengan target price Rp1.830 per saham.
"Rating ini diberikan dengan mempertimbangan pertumbuhan PGEO yang stabil, proyek-proyeknya yang strategis, serta dukungan pemerintah yang kuat terhadap perkembangan energi terbarukan," kata Research Analyst MNC Sekuritas Alif Ihsanario, Jumat (23/11).
Perkiraan itu berdasarkan hasil pendalaman terhadap progresivitas saham dan kinerja bisnis PGEO. Dalam analisis yang diumumkan pada 17 November 2023, Alif mengatakan harga saham yang diprediksi bisa menembus Rp1.830 per saham itu merupakan cerminan terhadap potensi kenaikan sebesar 46,4%, serta price to book value (PBV) 3,3 kali.
"Analisis ini juga berdasarkan pada laporan kuartal III-2023, di mana PGEO mencatatkan peningkatan pendapatan usaha dari US$287,4 juta menjadi US$308,9 juta year-on-year (yoy)," paparnya.
Selain itu, pendapatan perusahaan diprediksi akan naik signifikan dengan compound annual growth rate (CAGR) sebesar 11,5% selama periode 2022 hingga 2028.
Dari segi operasional, Alif mengatakan, PGEO memiliki kinerja yang stabil serta rekam jejak yang solid. Ini terlihat dari faktor kapasitas rata-rata PGEO yang di atas 80%. Angka itu melampaui rata-rata industri geothermal di Amerika Serikat yaitu 69%.
"Di dalam negeri, PGEO juga memiliki sejumlah rencana ekspansi yang ambisius, ditandai dengan adanya target penambahan kapasitas sebesar 340 MW dalam dua tahun ke depan," tuturnya.
Selain itu, tambahnya, kerja sama dengan Chevron dalam pembangunan Way Ratai juga menjadi proyek strategis yang berdampak besar bagi pertumbuhan panas bumi di Indonesia.
Lebih lanjut laporan MNC Sekuritas menilai ekspansi ke luar negeri yang dilakukan oleh PGEO, terutama Kenya, menunjukkan komitmen perusahaan terhadap diversifikasi geografis.
Hal fundamental lain, menurut laporan MNC Sekuritas, PGEO memiliki profil keuangan yang kuat. Dalam lima tahun terakhir, interest coverage ratio (ICR) PGEO rata-rata sebanyak 10,6 kali lipat atau 243% lebih tinggi dibandingkan rata-rata industri sejenis yaitu 3,1 kali lipat.
"Angka ini menunjukkan PGEO sudah cukup baik dalam membayar bunga pinjamannya, menyiratkan PGEO sudah mengelola keuangannya dengan baik," kata Alif.
MNC Sekuritas menilai jika melihat prospek industri panas bumi, Indonesia menempati posisi terdepan dalam kapasitas panas bumi global. Kata Alif, hal ini menunjukkan potensi pertumbuhan signifikan untuk industri ini di masa depan.
"Dukungan pemerintah terhadap energi terbarukan dan kebijakan pembangunan infrastruktur EBT dapat memberikan dorongan signifikan kepada perusahaan seperti PGEO," ujarnya.
Sementara itu, Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani merekomendasikan BREN untuk investasi jangka panjang.
Menurut Arjun, pergerakan harga saham BREN dipengaruhi oleh sentimen geothermal yang menarik secara jangka panjang. "Kebutuhan menjaga ramah lingkungan dan ekspektasi EBT akan semakin penting serta menjadi andalan sebagai sumber energi, mengerek harga saham ini," ujar Arjun kepada Alinea.id.
Analis Binaartha Sekuritas Nafan Aji menyebut prospek emiten berbasis EBT dipengaruhi oleh komitmen pemerintah dalam mengimplementasikan Perjanjian Paris (Paris Agreement), sebuah deklarasi internasional yang dibuat untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Melalui perjanjian itu, Indonesia menjadi salah satu dari 196 negara yang mengadopsi Perjanjian Paris dan harus tunduk terhadap kesepakatan internasional demi mengurangi emisi dari gas rumah kaca dan meminimalkan dampak terburuk dari perubahan iklim. Indonesia sendiri juga telah berkomitmen untuk mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060.
“Komitmen dari pemerintah misalnya untuk meningkatkan law enforcement akan berpotensi membuat perusahaan-perusahaan berbasis EBT bisa lebih berkembang secara optimum. Namun, jika ada peraturan yang menghambat, maka implementasi di lapangannya juga akan terhambat," tuturnya.
Selain itu, stabilitas politik dan keamanan juga akan mendorong harga saham-saham sektor EBT. Sebab, hal tersebut akan menunjang stabilitas perekonomian domestik.