Tahun 2025 masih diwarnai dengan ketidakpastian akibat membesarnya dampak perang dagang global. Saham-saham dengan dividen tinggi bisa menjadi pilihan investor.
"Terdapat 80 saham unggulan di berbagai sektor yang berpotensi memberikan keuntungan optimal, kecuali sektor properti," kata Head of Proprietary Investment Mirae Asset, Handiman Soetoyo, Selasa (14/1).
Lalu, saham apa yang bisa dikoleksi?
Handiman mengatakan sebanyak 80 saham berpeluang membagi dividen menarik. Adapun lima saham utama yang bisa menjadi pilihan, yakni PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk. (BJTM), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI), PT Bukit Asam Tbk. (PTBA), PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS), dan PT Trans Power Marine Tbk. (TPMA).
Handiman memproyeksikan total dividen dari lima saham utama tersebut pada 2025 akan mencapai Rp322,4 triliun, mengalami penurunan 11,4% dibandingkan tahun 2024. Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh dividen spesial yang besar pada tahun lalu, seperti yang dilakukan oleh PT Alamtri Resources Indonesia Tbk. (ADRO) senilai Rp41,53 triliun.
Meski demikian, dia optimistis tren dividen menarik akan terus berlanjut di tahun 2025 mengingat mayoritas perusahaan tersebut memiliki rekam jejak pembayaran dividen yang konsisten. Pada 2024, total dividen yang dibagikan emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai Rp364,2 triliun, meningkat 1,9% dari tahun sebelumnya. Periode puncak pembagian dividen umumnya terjadi pada Maret hingga Juni serta sepanjang kuartal IV.
Pda 2024, Sektor keuangan dan energi masih mendominasi pembagian dividen dengan kontributor utama seperti ADRO, BBRI, PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), dan PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI).
“Ini menunjukkan kedua sektor tersebut tetap menjadi favorit investor yang mengincar dividen,” kata Handiman.
Tahun lalu, jumlah emiten yang membagikan dividen meningkat dari 323 perusahaan pada 2023 menjadi 342 perusahaan di 2024. Namun, rasio perusahaan yang membagikan dividen terhadap total emiten justru menurun dari 39,4% pada 2023 menjadi 38,3% pada 2024. Hal ini disebabkan oleh semakin sedikitnya perusahaan baru yang langsung membagikan dividen setelah tercatat di bursa.
ADRO dan BBRI menjadi emiten dengan dividen tertinggi sepanjang 2024, masing-masing sebesar Rp54,4 triliun dan Rp48,1 triliun. Dari sisi imbal hasil dividen, ADRO mencatatkan yield tertinggi sebesar 49,4%, disusul oleh PT Golden Energy Mines Tbk. (GEMS) dengan 20,5%, serta PT Baramulti Suksessarana Tbk (BSSR) yang mencapai 19,8%.
Sementara itu, kontribusi dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tercatat signifikan. Dari total dividen yang disetorkan ke pemerintah hingga November 2024 sebesar Rp86,4 triliun, sekitar 68,6% berasal dari perusahaan pelat merah yang terdaftar di bursa. Perbankan BUMN memberikan kontribusi terbesar, mencapai 57,4%.
“Dengan target penerimaan dividen BUMN pada 2025 yang dipatok Rp90 triliun, kami yakin perusahaan pelat merah akan tetap menjadi sumber dividen utama,” ujar Handiman.
IHSG moncer
Di sisi lain, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat aliran dana asing keluar dari pasar saham Indonesia. Pada Jumat (10/1), investor asing membukukan nilai jual bersih sebesar Rp201,56 miliar, sementara sejak awal tahun hingga saat ini nilai jual bersih mencapai Rp2,94 triliun. Pada Senin (13/1), nilai jual bersih bertambah Rp407,78 miliar, dengan saham BBRI menjadi yang paling banyak dilepas asing, mencapai Rp507,79 miliar.
Head of Research and Chief Economist Mirae Asset, Rully Arya Wisnubroto, menilai aksi jual asing ini disebabkan oleh tingginya kepemilikan asing pada saham-saham berkapitalisasi besar, khususnya di sektor perbankan. “Mayoritas investor asing memiliki saham-saham dengan kapitalisasi besar seperti BBRI, BMRI, BBCA, dan BBNI. Ketika dana asing keluar, saham-saham inilah yang dilepas lebih dulu,” ujarnya dalam kesempatan serupa.
Sentimen global turut berperan dalam aliran keluar dana asing ini. Ketidakpastian terkait kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, yang diperkirakan tidak akan agresif menurunkan suku bunga dalam waktu dekat, membuat nilai tukar dolar AS menguat dan mempersempit selisih imbal hasil antara Indonesia dan AS. Kondisi ini mendorong investor untuk menarik dana dari pasar domestik.
“Ekspektasi pasar adalah pemangkasan suku bunga The Fed baru akan terjadi pada paruh kedua 2025. Oleh karena itu, investor cenderung menunggu dan lebih selektif dalam memilih saham,” tutur Rully.
Dia masih optimistis pasar modal Indonesia 2025 akan positif. Diprediksi, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dapat mencapai 8.000 tahun ini di tengah potensi perang dagang era pemerintahan Donald Trump jilid 2 di AS.
“Meskipun sekarang pelaku pasar masih menunggu berita positif dari global dan dalam negeri, kami masih optimistis terhadap pasar saham Indonesia karena dua faktor dari dalam negeri, yaitu inflasi yang stabil dan daya beli yang terjaga,” katanya.