Harga saham bank swasta beraset terbesar milik konglomerat terkaya RI, PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) mencapai Rp31.025 per lembar.
Meski sudah tinggi, manajemen BCA tak mau terburu-buru melakukan pemecahan nominal saham (stock split) menanggapi kabar yang beredar belakangan ini.
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan untuk tahun ini belum mau melakukan stock split saham BBCA yang pada perdagangan Senin (28/10) ditutup di level Rp31.025 per lembar saham.
"Kami belum mau mengadakan stock split. Tahun depan kami pertimbangkan, bisa ditimbang-timbang, berat ke mana," ujar Jahja pada paparan kinerja kuartal III-2019 perseroan di Jakarta, Senin (28/10).
Jahja melanjutkan, harga saham BCA sebenarnya masih lebih murah dibandingkan dengan harga saham-saham perbankan besar yang ada di luar negeri. Sebab, kurs Indonesia menurut Jahja memang agak royal dan murah.
"Kalau dikonversikan ke dolar Amerika Serikat, hanya US$2 lebih. Sementara itu yang investasi di BCA, dari New York, London, dan lain-lain, US$2 itu for nothing," kata Jahja.
Jahja melanjutkan, saham-saham bank besar yang ada di luar negeri bahkan ada yang menyentuh hingga US$100 per lembar di bursa Dow Jones, New York.
Meskipun demikian, opsi untuk melakukan stock split saham BCA menurut Jahja masih terbuka apabila harga saham BBCA stagnan, tak berubah.
"Namun, selama harga saham kami masih melonjak-lonjak, belum waktunya kami mengadakan stock split," tuturnya.
Pada perdagangan Senin (28/10), saham BBCA ditutup naik 0,08% sebesar 25 poin ke level Rp31.025 per lembar. Kapitalisasi pasar saham BBCA mencapai Rp764,92 triliun dengan imbal hasil sebesar 33,09% dalam setahun terakhir.
Selama 52 pekan, saham BBCA bergerak pada rentang Rp23.100-Rp31.625 per lembar. Rasio PE saham BBCA mencapai 28,02 kali dengan price to book ratio mencapai 4,55 kali.
Sebagai informasi, mayoritas saham BBCA dimiliki oleh keluarga Hartono, konglomerat terkaya di Indonesia pemilik Grup Djarum. Kakak beradik Robert Budi dan Michael Hartono ditaksir memiliki kekayaan US$35 miliar setara Rp490 triliun versi majalah Forbes 2018.