Memasuki paruh kedua tahun ini, kondisi ekonomi berbalik arah. Siklus pelonggaran moneter global mulai terjadi, terutama dimotori oleh negara-negara maju di Eropa. Di dalam negeri, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menunjukkan penguatan.
Chief Investment Officer Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Samuel Kesuma mengatakan inflasi global turun secara betahap sejak puncak tertingginya dua tahun lalu. Sejumlah negara juga melakukan pelonggaran moneter mulai kuartal I-2024. Beberapa di antaranya adalah Swiss, Zona Euro, Britania Raya, Denmark, Swedia, Kanada, Brazil, Kolombia, Chili, Hungaria, Ceko, dan Romania.
Di AS, data inflasi terus turun dan sektor ketenagakerjaan yang melemah merepresentasikan ekonomi mulai lesu. Tingkat inflasi inti (disetahunkan) sudah di bawah 2% dan pengangguran melesat ke 4,3%. Jumlah pekerja baru sektor non-pertanian juga terus turun. Demikian juga dengan aktivitas manufaktur dan jasa yang semakin loyo.
"Situasi terakhir ini mempercepat potensi penurunan Fed Funds Rate (FFR). Saat ini pasar menilai probabilitas penurunan FFR bulan September mencapai 90%, yang juga tecermin dari turunnya imbal hasil US Treasury dan melemahnya dolar AS," kata Samuel, dikutip Sabtu (10/8).
Menyikapi kondisi AS dan arah FFR terakhir, tekanan terhadap rupiah juga mereda. Samuel bilang, nilai tukar rupiah menguat 0,7% terhadap dolar AS di bulan Juli. Rata-rata imbal hasil lelang Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) juga menurun.
Stabilitas rupiah menjadi sentimen positif di pasar domestik. Di Juli, investor asing mencatat pembelian bersih di pasar saham dan obligasi setelah tiga bulan berturut-turut mencatat penjualan bersih.
"Hingga akhir 2025, pasar memperkirakan BI rate dapat turun 100 basis poin (bps), sementara FFR dapat turun 150 bps," katanya.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi yang lesu di kuartal II-2024 diprediksi tidak akan berlanjut pada paruh kedua tahun ini. Penopangnya, kenaikan anggaran belanja negara 2024 menjadi Rp3.412 triliun, naik Rp87 triliun dibandingkan anggaran awal.
"Peningkatan belanja ini terutama dialokasikan untuk belanja modal, material dan subsidi. Akselerasi realisasi belanja negara diharapkan dapat menjadi faktor pendukung pertumbuhan ekonomi dan menopang likuiditas," ujarnya.
Apalagi, lanjutnya, realisasi belanja pada semester I-2024 baru mencapai 41% dari target. Dus, belanja pemerintah akan lebih tinggi dan bakal berdampak pada roda ekonomi.
Saham pilihan
Dia memprediksi ada beberapa potensi katalis bagi pasar saham Indonesia ke depan. Yakni, potensi pemangkasan suku bunga The Fed di bulan September yang dapat memberikan angin segar bagi pasar saham Indonesia, melandainya imbal hasil obligasi domestik, serta kebijakan pro-pertumbuhan pemerintahan yang baru.
Di tengah situasi global, domestik, dan potensi katalis-katalis di pasar saham, menurutnya, ada sejumlah sektor saham yang menarik dikoleksi. Salah satunya, sektor finansial yang akan diuntungkan oleh masuknya arus dana asing.
"Saham-saham big cap biasanya menjadi pilihan pertama ketika dana asing masuk dan di lain pihak likuiditas perbankan juga mulai terlihat stabil," katanya.
Kemudian, sektor komunikasi. Menurutnya, baik perusahaan penyedia jasa (operator) maupun menara (tower) sama-sama akan diuntungkan oleh iklim penurunan suku bunga. Dari sisi earnings dan valuasi pun saat ini cukup menarik.
Sektor lain, consumer staples yang secara selektif ada perusahaan-perusahaan potensial dengan valuasi yang menarik.
"Namun, baik dalam kondisi kenaikan ataupun penurunan suku bunga tetap ada sektor-sektor dan saham-saham potensial. Kondisinya tidak bisa generalized atau diseragamkan begitu saja," ujarnya.