close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pasangan capres-cawapres dalam Pemilu Presiden 2024. Foto tangkapan layar Youtube.
icon caption
Pasangan capres-cawapres dalam Pemilu Presiden 2024. Foto tangkapan layar Youtube.
Bisnis
Jumat, 05 Januari 2024 14:52

Salah kaprah ekonomi biru jadikan nelayan tradisional makin tersingkir

Pasangan capres dan cawapres kompak bakal menjadikan ekonomi biru sebagai salah satu pengungkit pendapatan negara.
swipe

Puncak kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah semakin dekat. Demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional, ketiga pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden kompak bakal menjadikan ekonomi biru sebagai salah satu pengungkit pendapatan negara.

Dalam dokumen visi dan misi paslon nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar menyebut istilah ‘Ekonomi Biru’ sebanyak tiga kali dan menempatkan ekonomi biru pada kerangka ekonomi kelautan.

Paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di sisi lain, menyebut istilah ‘Ekonomi Biru’ sebanyak tujuh kali. Tidak hanya itu, dalam dokumen yang berjudul ‘Bersama Indonesia Maju', Prabowo dan Gibran juga menempatkan isu kelautan dan nelayan dalam subbab ekonomi biru.

Sementara dalam dokumen visi dan misi paslon nomor urut 3, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD menyebut istilah ‘Ekonomi Biru’ sebanyak tiga kali dan menetapkan delapan program kerja untuk mewujudkannya. Meski tidak tercantum dalam dokumen, paslon ini berjanji akan membebaskan nelayan dari jerat utang.

“Semangat dari pengembangan ekonomi biru, utamanya juga untuk mengangkat harkat kehidupan para nelayan,” kata Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Mahfud, Chico Hakim, dalam keterangan tertulisnya, dikutip Jumat (5/1).

Meski telah berkomitmen mendorong ekonomi biru, namun ketiga paslon masih terjebak dalam pusaran misi ekonomi seperti yang sebagaimana telah dijalankan pemerintah saat ini melalui peta jalan (road map) pengelolaan laut secara berkelanjutan di Indonesia yang ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Di mana dalam peta jalan ini, ada lima program prioritas yang bakal didorong pemerintah hingga 2045.

Lima program tersebut, yakni perluasan kawasan konservasi laut sebanyak 30% hingga 2045; penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota di enam zona penangkapan ikan dari wilayah barat sampai timur Indonesia; dan menetapkan lima komoditas unggulan (udang, lobster, kepiting rumput laut, dan ikan nila) yang terus dikembangkan di wilayah strategis. Kemudian, program pengembangan wilayah pesisir dan pengurangan sampah plastik di laut.

“KIARA melihat ketiga kandidat masih terjebak dalam pusaran misi ekonomi biru atau blue economy sebagaimana yang telah dijalankan pemerintah saat ini. Padahal konsep ekonomi biru yang dijalankan saat ini berasal dari cara pikir lembaga keuangan global, bukan seperti yang diungkapkan oleh Gunter Pauli sebagai penggagas aslinya,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, kepada Alinea.id, Jumat (5/1).

Perlu diketahui, ekonomi biru yang dikembangkan oleh Pauli mengedepankan tujuh aspek utama, yaitu kepedulian terhadap lingkungan, pembangunan berkelanjutan, emisi atau pencemaran minimal, dan multiple cashflow. Selain itu, juga mendorong inovasi dalam pelaksanaannya, terkait erat dengan sains dan teknologi, serta memberdayakan masyarakat dan partisipasi para pemangku kepentingan.

Sayang, dalam dokumen visi dan misi ketiga paslon, masih ada kekosongan besar dalam narasi perlindungan hak-hak masyarakat pesisir khususnya nelayan, terutama hak atas pengakuan dan perlindungan ruang kelola darat dan lautnya sebagai satu kesatuan. Kekosongan ini padahal sudah sangat terlihat dalam dua periode rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo.

“Hal ini berbanding terbalik dengan akomodasi atas investasi terhadap ruang oleh rezim tersebut. Masyarakat adat dan komunitas lokal harus menghadapi realita perampasan atas ruang pengelolaan mereka untuk berbagai industri dan investasi melalui kebijakan pusat maupun daerah,” tutur Susan.

Selain itu, masih ada juga kekosongan besar dalam narasi perlindungan dan pengakuan perempuan yang berprofesi sebagai nelayan, baik produksi maupun pascaproduksi. KIARA mencatat, terdapat 3,9 juta perempuan yang terlibat dalam rantai produksi produksi perikanan, sedangkan berdasar data KKP di tahun 2023, terdapat 3,6 juta perempuan nelayan yang menjadi penggerak rantai produksi perikanan.

Namun, dari jumlah tersebut, nelayan perempuan yang telah menerima kartu Kusuka (Kartu Usaha Kelautan dan Perikanan), hanya sekitar 15.000 orang. Hal ini menunjukkan ada gap yang besar antar jumlah existing perempuan yang nelayan yang terlibat dalam rantai produksi perikanan dengan jaminan perlindungan melalui kartu Kusuka.

“Hal ini juga menjadi indikator pengakuan perempuan atas identitas profesi nelayan juga masih sangat minim. Potret buruk krisis pengakuan identitas tersebut juga tidak ditangkap oleh kandidat capres dan cawapres dalam dokumen visi dan misi mereka,” ujar Susan.

Hal lain yang belum menjadi perhatian ketiga paslon dalam pengelolaan ekonomi biru adalah wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang masih dijadikan sebagai objek tempat masuknya industri, baik melalui konsep ekonomi biru, seperti karbon biru, penangkapan ikan terukur, industri maritim dan jasa maritim, industri komoditas perikanan unggulan, pariwisata, transisi energi, maupun industri sumber daya alam (SDA) konvensional. Susan menambahkan, berbagai industri yang dicanangkan melalui konsep blue economy dalam ketiga visi dan misi capres cawapres tersebut memperlihatkan, cara pandang melihat pesisir dan pulau-pulau kecil masih terjebak dengan konsep ekstraktivisme dan bahkan bias darat.

“Pesisir dan pulau kecil masih dijadikan sebagai objek ekstraktivisme tanpa melihat secara holistik tentang relasi sosiokultural antara masyarakat adat dan komunitas lokal dengan ruang pesisir dan pulau-pulau beserta ekosistem yang ada di dalamnya,” ujarnya.

Karena itu, KIARA menilai, visi dan misi yang dibawa oleh ketiga kandidat hanya mengulang orientasi pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif. Terlebih lagi, pembangunan yang esktraktif dan eksploitatif akan memberikan ruang kepada investasi dan penanaman modal asing yang akan membuat masyarakat pesisir tergusur dari ruang hidupnya.

“Pada akhirnya, dari ketiga kandidat pemimpin bangsa tidak paham konsep utuh dari Hak Konstitusi Masyarakat Pesisir sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No 3 tahun 2010,” imbuh Susan. Masyarakat pesisir, lanjutnya, seharusnya memiliki hak untuk mengakses, mengontrol dan memanfaatkan, menjalankan tradisi kebernelayanan yang telah dijalankan dari generasi ke generasi dan hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat. Selain itu, masyarakat pesisir, khususnya nelayan, perempuan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan masyarakat adat juga belum dijadikan sebagai pilar dan aktor utama sebagai right holder alias pemilik hak utama dalam kepastian perlindungan, pengelolaan, pemanfaatan atas ruang pesisir dan pulau kecil.

“Aktor utama yang dikedepankan masih pada industri dan pertumbuhan ekonomi oleh investasi korporasi,” tutur Susan.

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan