Saling lempar bola liar insentif tenaga medis
Seorang dokter umum di salah satu Rumah Sakit (RS) swasta rujukan Covid-19 di Surabaya, Jawa Timur, tidak pulang ke rumah malam itu. Ia, sebut saja Malik sudah selesai bertugas di unit khusus Covid-19. Dirinya merasa kondisi tubuhnya tidak begitu fit dan kerongkongannya sedikit sakit.
Secara psikologis, Malik khawatir telah tertular Covid-19 dari pasien yang ia tangani. Karena itu, ia pun memutuskan untuk tidak pulang ke rumah dan mencari penginapan yang tidak jauh dari RS tempatnya bekerja.
Tiga hari ia menginap di hotel dengan biaya sendiri. Semua dilakukannya demi menjaga orang-orang yang ia cintai dari Coronavirus yang barangkali saja ia bawa dari RS. Pasalnya, di rumah masih ada neneknya yang berusia 60 tahun lebih dan keluarganya yang harus dilindungi.
Sejak dua bulan terakhir atau April sampai Mei 2020, Malik mengaku, sudah empat kali menginap di hotel. Untuk itu, ia harus mengeluarkan Rp1,5 juta-2 juta per bulan dari kocek pribadinya sendiri.
“Karena memang sementara belum ada fasilitas (penginapan dari Pemprov) yang, karena saya swasta ya, saya belum dapat info nakes (tenaga kesehatan) yang butuh hotel harus hubungi siapa, bilang ke siapa,” tutur Malik saat dihubungi Alinea.id, (4/6).
Mirisnya, di tengah semakin membengkaknya pengeluaran bulanan sang dokter, Tunjangan Hari Raya (THR) yang didapatnya pada Lebaran kemarin malah harus terpangkas 50%. Malik yang tahun lalu menerima THR Rp2 juta lebih, kali ini hanya menerima Rp1,2 juta.
Tak hanya itu, dokter yang saban harinya harus memeriksa 30-60 pasien Covid-19 ini juga harus dihadapkan pada pemotongan gaji 20% setiap bulan. Jika biasanya ia menerima penghasilan Rp6-7 juta per bulan, saat ini hanya menerima upah Rp4-5 juta per bulan.
Pemangkasan itu, sambung Malik, karena RS menerapkan kebijakan pengurangan sif kerja bagi nakes yang bertugas di unit khusus Covid-19. Setiap nakes dibatasi maksimal 14 sif dalam sebulan.
“Nah masalahnya, sistem gaji saya tetap pakai sistem gaji lama, yaitu hitungan sif. Jadi kalau sifnya berkurang ya gajinya kurang juga,” terang dokter berusia 27 tahun tersebut.
Padahal, sebagai dokter yang ditugaskan di unit khusus Covid-19, ia mengaku, beban pekerjaan yang harus ditanggungnya jauh lebih berat dari sebelumnya. Setiap bertugas Malik harus menggunakan baju hazmat selama 7 jam lamanya. Dalam rentang waktu itu, ia tidak bisa makan, minum, beribadah dan lain sebagainya. Segala-galanya harus ‘dijamak’ sampai selesai bekerja.
Sesekali, ia bahkan harus menggunakan hazmat untuk dua kali pakai lantaran stok alat pelindung diri (APD) yang terbatas. Bayangkan saja, sudah gaji dan THR dipangkas, beban kerja meningkat, malah ditambah lagi risiko penularan Covid-19 lantaran penggunaan APD yang tidak sesuai protokol.
Sekarang, beban berat itu ditambah lagi dengan lambannya proses pemberian insentif yang dijanjikan pemerintah bagi para nakes. Malik mengaku bahwa hingga saat ini, ia bahkan belum menerima seperak rupiah pun uang insentif yang dijanjikan pemerintah untuk dirinya.
“Saya enggak tahu letak tersendatnya, apakah di manajemen rumah sakit saya, apakah di dinas kesehatan kota, provinsi, atau malah di pusat. Saya kurang tahu. ‘Kan tidak etis, kalau saya tanya ke atasan saya, jadi ya saya diam-diam saja,” keluhnya.
Malik barangkali hanya satu dari sekian banyak nakes yang harus menghadapi nasib kurang menyenangkan selama masa pandemi. Di luar sana, masih banyak lagi nakes, khususnya perawat, yang juga menghadapi kenyataan serupa.
Berdasarkan data Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) per 1 Juni 2020, ada setidaknya 358 aduan terkait perawat yang bermasalah dengan gaji dan THR semasa pandemi. Sekretaris Badan Bantuan Hukum (BBH) Dewan Pengurus Pusat (DPP) PPNI Maryanto menyebutkan, sebanyak 96 aduan di antaranya melaporkan atas nama kelompok atau institusi.
Mayoritas atau 63,41% pengaduan diajukan oleh perawat yang berstatus pegawai kontrak. Sisanya 36,59% merupakan pegawai tetap. Dan parahnya, 61,73% instansi yang diadukan perkara THR bermasalah ini justru merupakan RS milik pemerintah. Sementara 37,71% lainnya merupakan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan swasta.
“Itu yang kami sayangkan. Karena saat ini kami disebut sebagai pahlawan kemanusiaan, pejuang kemanusiaan, tetapi dengan 350 aduan ya. Ini bukan angka yang kecil loh pak, ini ada klasifikasi sendiri, ada yang berkelompok. Artinya yang mewakili rumah sakit banyak,” tutur Maryanto melalui sambungan telepon, (4/6).
Maryanto menyesalkan bahwa di tengah beban kerja yang semakin berat dan beban psikologis perawat dalam menangani Covid-19, mereka justru harus dihadapkan dengan situasi ekonomi yang kurang menggembirakan.
Belum lagi sebagian perawat juga sempat mendapat pengusiran dari kontrakan atau kos tempat mereka tinggal. Untuk beberapa hari, mereka harus tinggal di hotel sampai dapat kos baru yang menambah alokasi pengeluaran. Beban ekonomi dan psikologis itu kemudian di tambah lagi dengan belum jelasnya insentif yang dijanjikan pemerintah untuk mereka.
“Khusus temen-temen ini kan harusnya diprioritaskan gitu. Apalagi ada dana-dana selain THR, misalkan insentif. Insentif juga kan belum sepenuhnya dapat. Memang sih sudah diberikan, tapi belum semuanya dapat,” terangnya.
Terkendala verifikasi data
Betul memang pemerintah telah menjanjikan insentif besar bagi nakes yang bekerja di RS rujukan Covid-19. Janji itu tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/MENKES/278/2020 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Beleid itu ditandatangani Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada 27 April 2020. Dana Rp5,9 triliun disiapkan untuk seluruh tenaga medis yang bekerja di RS rujukan Covid-19.
Rinciannya, tenaga medis pemerintah pusat bakal mendapat Rp1,3 triliun, sisanya Rp4,6 triliun diberikan untuk tenaga medis pemerintah daerah. Masing-masing posisi mendapat besaran insentif dengan jumlah maksimal yang berbeda-beda.
Dokter spesialis mendapat maksimal Rp15 juta per bulan, dokter umum maksimal Rp10 juta per bulan, perawat Rp7,5 juta per bulan, dan tenaga kesehatan lain Rp5 juta per bulan. Besaran maksimal ini dihitung berdasarkan hari kerja masuk atau sif para pekerja yang bersangkutan.
Tapi kenyataannya, per 5 Juni 2020, anggaran itu baru cair Rp37,78 miliar atau 0,18% dari jumlah total yang mestinya direalisasikan. Dari jumlah total tersebut, tercatat baru 22 RS, 211 puskesmas, 7 dinas kesehatan, 4 laboratorium, 7 kantor kesehatan pelabuhan (KKP), dan 4584 nakes yang merasakan insentif.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, lambannya proses pencairan dana insentif nakes itu terjadi karena terkendala proses verifikasi data di Kemenkes. Menurutnya, pihak Kemenkeu sudah mendorong Kemenkes untuk mempercepat proses verifikasi data itu agar insentif nakes bisa segera dicairkan.
“Kami akan dorong dan dukung agar bisa dipercepat dan diselesaikan pembayarannya. Memang Kemenkes yang akan lakukan proses tersebut,” kata Bendahara Negara itu dalam konferensi video, Rabu (3/6).
Sebaliknya, pernyataan berbeda disampaikan Kepala Bidang Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kemenkes Abdul Kadir. Kadir mengatakan, lambannya proses realisasi insentif nakes justru terkendala pada lamanya pencairan dana dari Kemenkeu.
Pencairan dana insentif, kata Kadir, baru diterima Kemenkes pada H-1 sebelum lebaran atau 23 Mei 2020. Alhasil, proses verifikasi pun sempat terhambat nyaris sebulan setelah diterbitkannya peraturan Kemenkes terkait insentif nakes tersebut.
“Nah kan tadi sudah saya sampaikan bahwa dananya cair satu hari sebelum lebaran, pak. Kalau kita proses jauh-jauh hari tidak ada uangnya lalu orang-orang menagih ke kita dan kita tidak ada uang, kita ‘kan jadi masalah,” terang Kadir melalui telepon, (5/6).
Selain itu, lambannya RS dalam melakukan klaim juga menjadi hambatan lain. Padahal, sambung Kadir, jika data verifikasi dari RS sudah lengkap, maka Kemenkes akan langsung mencairkan dana dalam satu hari kerja.
Hingga saat ini, sambung Kadir, baru ada sekitar 200 RS yang mengajukan klaim insentif dari total 735 RS yang terdaftar sebagai rujukan pasien Covid-19. Artinya, sejauh ini masih ada 500 lebih RS yang belum mengajukan klaim insentif ke Kemenkes.
“Verifikasi internal mereka di rumah sakit masing-masing ini mungkin ambil waktu karena ‘kan dicocokkan jumlah orangnya, absensinya dan lain-lainya,” imbuhnya.
Lantas ketika disinggung kapan dana insentif nakes itu akan terealisasi sepenuhnya, Kadir hanya menjawab bahwa semua tergantung pada seberapa cepat RS mengajukan klaim pencairan dananya.
Namun yang pasti, katanya, instruksi Menkes Terawan kepada divisinya adalah untuk mencairkan dana insentif itu secepatnya dan tetap sesuai peraturan. Hal ini dilakukan agar segala dana yang ada di tangan Kemenkes bisa dipertanggungjawabkan ketika ada pemeriksaan.
“Tapi kita tentu sesuai aturan pak, kita tidak mau membayarkan sesuatu yang tidak benar. Nanti kita salah, pak, di KPK (Komisi Pemberatasan Korupsi). Jadi kita tetap mengacu pada aturan, pak,” tandasnya.
Tidak etis
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Saleh Paraonan Daulay menilai, silang pendapat antara Kemenkeu dan Kemenkes terkait lambatnya pencairan insentif nakes sebagai sesuatu yang tidak etis. Perkara itu, kata ia, harusnya menjadi urusan internal pemerintah dan tidak layak untuk dipertontonkan kepada publik.
Apalagi, ini adalah masalah elementer yang harusnya bisa diatasi pemerintah dengan mudah. Dia menilai seharusnya pemerintah sudah memiliki data lengkap nakes yang bakal dibagikan insentif dan tidak perlu lagi ada perdebatan.
“Data itu sudah ada dan kalaupun ada itu tinggal merapikan saja begitu. Nah, kenapa sekarang baru dipersoalkan? Padahal penanganan Covid ini di Indonesia ini sudah hampir 4 bulan, mestinya data-data sudah bisa diselesaikan,” imbuh Saleh kepada Alinea.id, (4/6).
Saleh juga menyayangkan sikap Kemenkeu yang seolah-olah melemparkan tanggung jawab kepada Kemenkes. Padahal, menurutnya, masalah insentif ini harusnya jadi urusan antar lembaga dan tidak bisa saling menyalahkan satu sama lain.
Karenanya, ia pun meminta agar masalah verifikasi data ini bisa segera diselesaikan. Sehingga para nakes bisa segera mendapatkan haknya dan kembali bersemangat menjalankan pekerjaannya.
“Kita enggak mau tahu itu sebetulnya, masyarakat itu tidak mau tahu, tenaga medis juga tidak mau tahu itu. Yang mereka tahu itu intinya belum cair insentifnya itu loh,” tegas dia.
Kekurangan dana
Terlepas dari insentif nakes yang hingga kini masih menggantung, masalah kesehatan di Indonesia sejatinya jauh lebih besar dari itu. Pakar Kesehatan Masyarakat, Hasbullah Thabrany mengatakan, Indonesia masih memiliki masalah kronis kekurangan dana yang tidak pernah sembuh.
Indonesia, kata Hasbullah, masih menganggap kesehatan bukan sebagai bagian penting dari ekonomi. Kesehatan hanya dinilai sebagai sektor yang konsumtif atau cenderung menghambur-hamburkan uang. Akibatnya, sektor kesehatan di Indonesia pun tidak ubahnya tubuh yang kekurangan darah, lesu dan mudah terserang penyakit.
“Nah kalau dalam kondisi lesu, dapat serangan dari luar, kali ini musuhnya adalah virus corona, tewas seketikalah,” tutur Hasbullah kepada Alinea.id melalui sambungan telepon.
Untuk itu, Hasbullah pun mengingatkan agar setelah masa pandemi Covid-19 ini berakhir, pemerintah bisa segera membenahi segala sektor yang berkaitan dengan kesehatan.
Caranya bisa dimulai dari menambah porsi alokasi kesehatan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), atau setidak-tidaknya memenuhi angka minimal 5% anggaran kesehatan yang tertuang dalam pasal 171 ayat 1 Undang-Undang Kesehatan.
Jumlah 5% itu harus sudah di luar gaji atau belanja pegawai. Sehingga dengan begitu, masalah-masalah seperti yang terjadi sekarang, misalnya kekurangan APD, alat kesehatan, keterbatasan ruang isolasi, pemangkasan gaji nakes, THR tidak dibayarkan, dan lambatnya insentif tidak terjadi lagi di lain waktu.
“Sekarang kita bisa melihat bahwa kalau kesehatan tidak kita benahi, kebiasaan masyarakat hidup sehat enggak bisa dirubah, maka ekonomi akan berantakan. Nah, oleh karena itu, investasi kesehatan harus segera diperbaiki,” pungkasnya.