Sambal industri rumahan, bisnis yang layak dipertimbangkan
Bagi sebagian orang yang doyan makan bercita rasa pedas, menu pelengkap sambal tak bisa dilewatkan kehadirannya. Sayangnya, sebagian masyarakat umumnya tak memiliki cukup waktu membuat sambal sendiri. Maka, mengonsumsi produk olahan sambal industri kerap menjadi pilihan.
Salah satu produk sambal industri rumahan ialah Sambal Chili Chila. Usaha sambal yang dijalankan oleh Iin Agustin ini dimulai sejak 26 April 2015. Operasional produksi sambal ini menempati area di samping kediamannya di kawasan Perumahan Permata Depok, Sektor Berlian, blok G3 nomor 7, Depok, Jawa Barat.
Dari kunjungan tim redaksi Alinea.id pada Jumat lalu (15/11), Iin menceritakan nama Chili Chila dipilih dari mencuplik nama panggilan putrinya, Cila. Mulanya dia tertarik mengembangkan usaha sambal berskala rumah tangga setelah sejumlah kerabatnya terkesan dengan rasa sambal yang dibikinnya.
Kesukaan Iin membuat sambal dalam setiap kesempatan ramah-tamah bersama keluarga, membuat sebagian kerabat mendorongnya untuk membuka usaha sambal. Kala itu, Iin yang tinggal di Surabaya masih menjadi pegawai perusahaan sekuritas. Akhirnya dengan tujuan melayani permintaan sebagian kerabat, pada 2014 Iin mencoba untuk secara ajek membuat sambal.
“Banyak saudara yang suka sambal (buatan) saya. Jadi pada pesan dibuatkan sambal,” kata Iin, di rumahnya, Jumat (25/11).
Selanjutnya, gaung sambal buatan tangan Iin menyebar luas tak hanya di lingkaran kerabat. Menanggapi respons kenalan dan orang lain yang positif, Iin memulai usahanya meski sebatas bisnis sampingan. Sambal produk olahannya mula-mula terdiri atas empat macam, yaitu sambal roa, sambal teri, sambal buah, dan sambal jambal roti.
Pada 2015 awal, dia menyebut modal yang dipakai sebesar Rp100.000 untuk membikin 100 toples kecil sambal dalam sebulan. Saat itu harga cabai masih berkisar Rp10.000 per kilogram. Untuk memproduksi 100 toples sambal Chili Chila, dibutuhkan setidaknya tiga kilogram cabai. Umumnya bahan baku cabai diolah menggunakan mesin penghalus atau blender.
Kini, produk sambal Chili Chila memiliki tiga varian utama yang dibedakan berdasarkan tingkat kepedasannya, yaitu sambal kurang pedas, sambal pedas sedang, dan sambal ekstra pedas. Masing-masing sambal ini dikemas dengan warna tutup toples berbeda, yaitu tutup hijau untuk sambal kurang pedas, emas (pedas sedang), dan merah (ekstra pedas).
Iin menyebut sambal pedas sedang merupakan varian produk yang paling disukai konsumennya. Berat bersih setiap produk sambal rata-rata 210 gram dan dijual dengan rentang harga Rp22.000–32.000 per toples.
Manajemen bisnis sambal
Salah seorang bagian operasional produk Chili Chila, Aby Fadgham, mengatakan, harus bersiasat dalam mempertahankan kelangsungan produksi sambal Chili Chila. Dua persoalan yang biasa dihadapinya ialah fluktuasi harga bahan baku cabe di pasaran, dan disparitas yang muncul akibat harga produk sambal yang sewaktu-waktu berpotensi berubah.
Aby mengungkapkan, sebagai industri berskala rumah tangga, manajerial Chili Chila belum menetapkan harga eceran tertinggi produk sambalnya. Hal ini, merupakan kelemahan yang belum dapat dikontrol dengan baik sebagaimana standar yang berlaku dalam perusahaan berskala lebih besar.
“Akibatnya, di harga jualnya dapat dengan mudah berubah atau fluktuatif. Distributor juga ingin mengambil keuntungan dari setiap produk Chili Chila yang dijual,” ucap Aby. Hingga kini, penjualan Chili Chila dilakukan melalui jalur daring dan dipasok ke sejumlah supermarket.
Di sisi lain, fluktuasi harga jual cabai berusaha diatasi dengan membeli langsung ke petani. Perubahan harga cabai di pasaran, sangat tidak menentu. Satu kilogram cabai, misalnya, di pasar tradisional dapat melonjak hingga Rp40.000.
“Kita meyakini di petani itu harga cabai bisa hanya Rp25.000. Hasilnya, ongkos produksi sambal bisa ditekan,” kata Aby. Dia menyebutkan, sumber cabai segar didapat antara lain pada petani di perkebunan di daerah Jawa Barat, seperti Cipanas, Ciawi, dan Sukabumi.
Adapun Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, menjadi sumber sekunder untuk memperoleh bahan baku. Selain cabai merah, di pasar inilah Iin membeli bawang merah dan bawang putih sebagai bumbu pendukung membuat sambal.
Dengan pertumbuhan kapasitas produksi yang meningkat, Chili Chila kini memproduksi sambal hingga 400–500 toples dalam sehari. Bahan baku cabai yang dibutuhkan ialah 50 kilogram untuk produksi sambal dalam sehari. Rata-rata, dalam sebulan produksi sambal yang dipasarkan sebanyak 10.000 toples.
Aby mengungkapkan, produk Chili Chila, baik sambal ataupun keripik kentang dan lainnya, dipasarkan pada sejumlah supermarket, dan didistribusikan hingga ke luar Pulau Jawa. Bahkan pihaknya melayani pemesanan dalam jumlah besar hingga ke beberapa negara di luar negeri.
Jenis sambal yang paling diminati konsumen mencakup produk Chili Chila sambal matah, sambal cumi, dan sambal kecombrang. Produk sambal Chili Chila dapat bertahan dikonsumsi hingga tiga bulan dengan penyimpanan di suhu ruangan. Aby menuturkan, kandungan minyak goreng yang dimasak dalam adonan sambal menjadi bahan pengawet alami bagi produk sambal Chili Chila.
“Bila ingin lebih tahan lama bisa disimpan dengan dimasukkan ke dalam kulkas. Bisa awet sampai setahun,” kata Aby.
Demi menjaga kepuasan konsumen, Iin mengungkapkan, selalu melakukan uji coba bahan bumbu yang bervariasi. Ini dimaksudkannya untuk menguji rasa dan peluang mengembangkan varian baru produk sambal. Beberapa varian yang sedang ia siapkan adalah sambal ayam kemangi, sambal andaliman, sambal klotok, dan sambal geprek.
“Saya juga mencoba menawarkan setiap produk baru ke sejumlah rekanan atau kerabat. Setelah suatu produk cukup lama bertahan di pasaran, saya bagi-bagikan juga ke beberapa distributor dan agen. Kami minta saran dan masukannya,” ucap Iiin.