Sarang burung walet: Ironi harta karun tersembunyi
Semangat menggairahkan kinerja ekspor lewat komoditas sarang burung walet (SBW) diembuskan Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi. Mantan mendag di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini bahkan memprediksi ada potensi ekspor hingga Rp500 triliun.
“Ketika Mendag (Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi) bilang potensi (ekspor) sarang burung walet besar, kita pengusaha sudah enggak heran lagi. Tapi kan kita enggak ada akses ke sana,” kata Yanto Turede, salah seorang petani sarang burung walet dari Gorontalo, kepada Alinea.id, Senin (18/1).
Keluh Yanto menjadi ironi di tengah seruan peningkatan ekspor sarang burung walet. Pada kenyataannya, Yanto menilai perhatian pemerintah untuk memberikan akses ekspor sangat minim.
Padahal, menurut pria 39 tahun ini, nilai ekspor rumah burung walet atau Collocalia sp. ini bisa digenjot lagi. Dus, nantinya juga turut memberikan sumbangan besar terhadap perekonomian nasional.
Terlebih, jika melihat status Indonesia sebagai negara produsen dan eksportir SBW terbesar di seluruh dunia. Bahkan, produksi komoditas ini di Gorontalo terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, meski jumlahnya tak banyak.
Di Gorontalo, kata dia, peningkatan produksi SBW mulai terlihat sejak 2016 silam. Kala itu, baru ada sekitar 20 gedung walet dengan potensi hasil kurang lebih 200 kilogram setiap bulan. Adapun saat ini, sudah ada setidaknya 700 gedung walet yang menghasilkan kurang lebih 1 ton SBW setiap bulan.
“Itu pun yang terdeteksi di karantina bandara. Karena kan dari pengepul-pengepul, (pengiriman) ada yang lewat udara atau darat di Makassar, terus dari Manado. Jadi itu yang terdeteksi. Jadi, bersih itu sekitar 1,5 ton per bulan,” ujar dia.
Ihwal harga, Yanto dan pengusaha-pengusaha SBW Gorontalo lainnya bermain di kisaran Rp11 juta sampai Rp12 juta per kilogram untuk sarang burung kotor atau bahan baku. Namun, saat tren harga naik pada bulan Desember, harga satu kilogram bahan baku bisa mencapai Rp14-15 juta.
Adapun untuk sarang burung bersih, biasa dijual dengan harga Rp15 juta sampai Rp20 juta per kg. Lebih mahal karena telah memasuki tahap pencucian dan pemrosesan. “Sudah ada tenaga yang bekerja,” kata Yanto.
Sejak memulai bisnis budidaya burung walet pada 2012 lalu, Yanto kini dapat menghasilkan sedikitnya 100 kilogram SBW kotor dan 10-20 kilogram SBW bersih setiap bulannya. Belum lagi, dari 10 sub Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang didirikannya, pihaknya mendapatkan rata-rata 5-10 kilogram per bulan.
Keseluruhan produksi tersebut ia jual kepada perusahaan-perusahaan eksportir resmi yang berada di Manado, Jakarta dan Surabaya, untuk memenuhi kuota ekspor mereka. Yanto memang belum bisa mengekspor sendiri produksinya. Pasalnya, usahanya masih belum memenuhi syarat administrasi untuk menjadi eksportir SBW.
“Saya sudah ada channel buyer sampai ke Tiongkok. Nanti rencana, setelah Covid mungkin akan ekspor sendiri ke beberapa negara, seperti Shenyang (Cina), Belgia, Amerika, Australia dan Kanada. Sekarang ini sudah ada komunikasi, tinggal MoU aja,” jelas dia.
Yanto mengakui bukanlah hal yang mudah bagi pengusaha-pengusaha skala kecil untuk menjadi eksportir SBW. Sebab, tidak hanya standar pengolahan sarang burung saja yang harus dipenuhi oleh UMKM calon eksportir. Persyaratan administrasi yang rumit dari pemerintah pun jadi 'PR' tersendiri.
Belum lagi, Cina sebagai pasar ekspor terbesar, memiliki standar khusus untuk pengiriman SBW ke negara mereka. “Diregistrasi dulu oleh Cina. Mereka akan datang langsung ke tempat pencucian. Ketika nanti keluar sertifikat dan di acc, nanti kita baru bisa ekspor,” imbuhnya.
Karena itulah, tidak sedikit pengusaha skala kecil yang menjual bahan baku mentah dengan harga lebih murah ke negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Kedua negara itu yang selanjutnya melakukan ekspor SBW bersih ke negara-negara lainnya.
Praktik penjualan SBW kotor dengan harga rendah ini sebenarnya telah dilarang oleh Badan Karantina Pertanian (Barentan) Kementerian Pertanian.
Tidak hanya itu, pasar luar negeri pun telah dikuasai oleh eksportir-eksportir yang kebanyakan berbasis di Jakarta, Surabaya dan Sumatera. Sehingga, kesempatan bagi UMKM untuk melakukan ekspor semakin terbatas. Padahal, potensi hasil panen dari Sulawesi cukup berlimpah.
“Bukan kita punya kualitas yang buruk, tidak. Kadang eksportir-eksportir ini yang belum mau menerima. Karena memang sebenarnya ada konspirasi-konspirasi," kata Yanto.
Padahal, jika bisa ekspor langsung, UMKM setidaknya bisa mendapatkan harga Rp25 juta untuk penjualan SBW bersih. Sementara petani SBW paling banyak mendapatkan Rp1 juta per kg. Adapun pengusaha-pengusaha kecil yang berfokus pada usaha pencucian sarang burung walet bisa mendapatkan keuntungan Rp2 juta hingga Rp2,5 juta per kg.
Diantara berbagai kendala itu, petani lokal masih harus berhadapan dengan masalah lain; masuknya pemain asing. Pengusaha dari Malaysia, Singapura, Thailand, bahkan Tiongkok mulai banyak membangun gedung-gedung walet di Indonesa. Akhirnya, kesempatan ekspor bagi pengusaha-pengusaha SBW pribumi pun praktis semakin berkurang.
“Kita sudah bergerak sebenarnya ke presiden, cuma ada aja yang menghalangi,” tutur Yanto.
Tidak adil
Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Sarang Burung Indonesia (PPSBI) Boedi Mranata mengatakan budidaya SBW asing di Tanah Air membuat pengusaha-pengusaha kecil kian menjerit karena persaingan yang tidak adil. Bahkan, jika praktik ini tidak segera dihentikan, pada akhirnya pengusaha SBW yang ada di daerah-daerah bisa mati bersaing.
Dibandingkan pengusaha pribumi, orang-orang asing yang membuka budidaya walet di Indonesia jauh lebih menguasai pasar ekspor.
“Kalau sekarang perdagangan nguasai, pasarnya di Indonesia, prosesnya di Indonesia, ya kita mati kecepit lah. Kalau sudah mati, seluruh bisnis sarang burung bisa terdikte oleh orang luar,” katanya kepada Alinea.id, Selasa (19/1).
Karena itulah, Boedi menilai penting bagi pemerintah, khususnya Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk melarang orang-orang asing yang ingin budidaya walet di Indonesia.
“Kalau ini memang aset nasional, ya sudah dia tidak boleh masuk ke budidaya seperti itu,” tegas pengusaha sarang burung walet kawakan itu.
Sementara itu, menurut Boedi, belum maksimalnya nilai ekspor SBW juga disebabkan oleh tidak adanya standar harga dari pemerintah. Bagi perusahaan yang telah mengantongi izin Eksportir Terdaftar Sarang Burung Walet (ET-SBW) biasanya mematok harga rata-rata Rp20 juta per kilogram. Ironisnya, perusahaan tak berizin bisa menjual SBW hanya dengan harga Rp600 ribu per kilogram.
Harga itu tentunya jauh di bawah harga dari eksportir resmi (under value). Menurutnya, satu kilogram SBW paling tidak memiliki harga di atas Rp10 juta.
Sayangnya, jumlah perusahaan dengan izin ET-SBW sangat sedikit jumlahnya, jika dibandingkan dengan perusahaan tak resmi atau yang lewat jalur pasar gelap (black market). Menurutnya, dengan standarisasi harga yang dapat dilakukan melalui pemberian izin ET, nilai ekspor sekaligus devisa dari penjualan SBW dapat lebih ditingkatkan.
“Harus ada mekanisme standarisasi harga ekspor. Jadi, jangan ditulis Rp600 ribu boleh, ya enggak boleh. Harus paling dikit harga normalnya Rp10 juta, Rp15 juta, harus ada harga normal,” ujar bos PT Adhipurna Mranata Jaya itu.
Di sisi lain, belum optimalnya nilai ekspor SBW disebabkan oleh masih banyaknya pengusaha yang melakukan ekspor bahan baku. Padahal, untuk meningkatkan nilai jual rumah burung liar ini, seharusnya seluruh tahapan produksi SBW, mulai dari budidaya hingga pengemasan dilakukan di Indonesia.
“Setelah ada nilai tambahnya, baru dikirim, harganya mahal,” kata dia.
Boedi menjelaskan, masalah ini sebenarnya tak lepas dari kebijakan pemerintah yang belum selaras. Hingga saat ini hanya Kementerian Pertanian melalui Barentan yang telah mengeluarkan larangan ekspor bahan baku, yakni dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26/2020 tentang Tindakan Karantina Hewan (TKH) terhadap Pemasukan dan Pengeluaran Sarang Burung Walet Ke dan Dari dalam Wilayah NKRI.
Adapun Kementerian Perdagangan (Kemendag) belum melakukan langkah yang sama. Meskipun sejak 2019, Kemendag telah meminta para pengusaha sarang burung untuk lebih mengedepankan ekspor SBW setengah jadi atau jadi.
“Kalau Perdagangan enggak ngeluarkeun itu aturan, ya masih agak njomplang. Tapi, kalau dua-duanya mengeluarkan secara bersama, valuenya naik karena enggak ekspor bahan baku lagi,” jelas dia.
Beban pengusaha
Boedi juga menekankan pungutan pajak berlapis yang sangat memberatkan pengusaha-pengusaha SBW, terutama UMKM. Menurutnya, meski memiliki harga jual tinggi, budidaya SBW termasuk bisnis yang tidak mudah diprediksi hasilnya.
Sebagai contoh, dari 100 gedung walet, bisa jadi hanya 1 atau 2 rumah saja yang berhasil dibudidayakan dan menghasilkan sarang burung dengan kualitas bagus. Bahkan, meskipun seorang pengusaha memiliki 10 gedung walet sekalipun, belum tentu dia bisa meraup untung besar.
Belum lagi, jika pengusaha melakukan ekspor. Bukan hanya pajak, ada pula devisa yang harus dibayar kepada negara. Adapun pajak yang harus dibayar oleh pengusaha SBW antara lain, Pajak Penghasilan, pajak retribusi ke daerah dan juga Pajak Sarang Burung Walet yang baru ditetapkan pemerintah beberapa waktu lalu.
“Kalau dobel-dobel kalah kita sama Malaysia, Vietnam yang enggak membuat kebijakan seperti itu. Nanti larinya ke sana. Investasi sana lebih menguntungkan, karena enggak ada pajaknya,” ujar Boedi.
Karenanya, untuk meringankan beban pengusaha sekaligus meningkatkan nilai ekspor SBW, pihaknya meminta kepada pemerintah pusat dan daerah agar mengkoordinasikan kembali aturan perpajakan ini. Selain itu, peningkatan koordinasi antara pusat dan daerah juga penting dilakukan agar tidak ada lagi aturan-aturan lain yang tumpang tindih.
“Jangan setiap pemerintah pusat, daerah membuat aturan yang tabrakan satu sama lain” imbuhnya.
Terkait jumlah total ekspor, menurut Boedi, akan sulit untuk ditingkatkan karena produksi SBW yang sudah stabil. Total produksi SBW saat ini, menurut catatannya ada di angka 1.500 ton per tahun.
Tercatat, produsen SBW terbanyak yakni Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Sedangkan Pulau Jawa yang 30 tahun lalu pernah menjadi produsen SBW terbesar, kini mengalami penurunan drastis karena ketiadaan lahan. Kemudian, disusul oleh daerah-daerah lain seperti Bali dan Sumbawa.
“Tergantung pada kondisi wilayahnya. Misalnya, kalau Kalimantan ada kebakaran hutan, ya drop. Kalau enggak ada kebakaran hutan, bisa naik sedikit,” jelas pria yang dikenal sebagai Raja Burung Walet itu.
Tahun | Jumlah | Nilai |
2016 | 992.102,76 kg | US$192.495.416,82 |
2017 | 1.286.718,58 kg | US$280.284.269,74 |
2018 | 1.291.948,26 | US$290.559.012,08 |
2019 | 1.258.777,41 | US$363.947.629,50 |
Oktober 2020 | 1.169.691,20 | US$464.770.696,05 |
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal mengatakan, seharusnya pemerintah bisa lebih mengoptimalkan nilai ekspor SBW. Apalagi permintaan SBW dari luar negeri, terutama Cina terus meningkat tiap tahunnya.
Selain itu, burung pemakan serangga kecil ini juga merupakan salah satu produk yang menjadi salah satu ciri khas Indonesia. “Jadi, memang semestinya produk yang seperti ini perlu didorong, yang punya kekhasan, punya keunggulan komparatif,” ujarnya kepada Alinea.id, Selasa (19/1).
Pemerintah, kata dia, perlu meningkatkan edukasi pengusaha-pengusaha sarang burung, khususnya yang berskala kecil demi mengungkit ekspor. Begitu juga dengan informasi pasar ekspor SBW yang harus selalu diperbarui.
“Mengenai syarat-syaratnya, bagaimana cara memasuki ekspor, dari sisi dokumen, persyaratan apa saja yang harus dipenuhi dari negara yang bersangkutan, apa selera pasarnya,” kata Faisal.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengaku, salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia adalah banyaknya SBW yang diekspor melalui pasar gelap. Tak tanggung-tanggung, dari 2.000 ton ekspor SBW, hanya 110 ton saja yang terakreditasi dan dijual secara resmi ke Cina.
“Sisanya kita melewati negara singgahan, Hongkong, Vietnam, bahkan Malaysia. Ujungnya samapai RRT,” ujar dia di Jakarta, Kamis (14/1).
Padahal, jika seluruh SBW diekspor secara resmi, nilai jual dan juga devisa yang didapatkan Indonesia akan semakin banyak. Sebab, untuk pengiriman satu kilogram sarang burung ke Cina setidaknya dihargai sebesar Rp25 juta.
Karena itu, untuk mengoptimalkan nilai ekspor komoditas tersebut, saat ini Kemendag tengah melakukan perbaikan terhadap mekanisme ekspor SBW.
Sementara itu, Kepala Barentan Kementerian Pertanian Ali Jamil mengatakan, ekspor SBW memang paling banyak menyasar Cina. Penjualan ke negara tirai bambu lebih besar ketimbang 22 negara tujuan ekspor SBW lainnya, seperti Hong Kong, Australia, Amerika Serikat, Kanada, Singapura, Afrika Selatan, hingga Jepang.
Harga jual untuk satu kilogram SBW ke Cina bisa mencapai Rp25 juta hingga Rp 40 juta. Namun, dengan tingginya harga tersebut, Tiongkok pun memberikan persyaratan yang lebih sulit.
“Setiap negara memiliki protokol ekspor masing-masing dan kami selaku otoritas karantina mengawal persayaratan teknisnya,” tutur dia, Minggu (17/1).