close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ombudsman RI menemukan seabrek masalah kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) yang akan efektif berlaku 1 Januari 2024. Freepik
icon caption
Ombudsman RI menemukan seabrek masalah kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) yang akan efektif berlaku 1 Januari 2024. Freepik
Bisnis
Jumat, 01 Desember 2023 07:38

Seabrek masalah penangkapan ikan terukur temuan Ombudsman

Kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) diatur dalam PP 11/2023 dan akan efektif berlaku per 1 Januari 2024.
swipe

Kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT), yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023, akan berlaku pada awal 2024. Segudang masalah masih terjadi jelang pelaksanaannya.

Ini terekam dalam kajian yang dilakukan Ombudsman RI. Kajian dilakukan dengan metode diskusi kelompok terpumpun (FGD); survei opini terhadap nelayan, pelaku usaha, dan pihak terkait; serta observasi lapangan di PPS Lampulo Aceh, PPN Karangantu Banten, PPS Nizam Zachman, PPM Muara Angke Jakarta, Kejawaan Jawa Barat, Cilacap, PPN Prigi, PPN Pemangkat, PPN Sungai Rengas, PPS Bitung, dan PPS Ternate.

Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto, mengatakan, kebijakan PIT berbasis kuota dan zona bertujuan untuk melestarikan sumber daya ikan, mengatasi overfishing, meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), serta menaikkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat. Sayangnya, ada permasalahan dalam regulasi dan pelaksanaannya.

"Kebijakan ini perlu memperhatikan seluruh aspek dan aspirasi seluruh stakeholder terkait," katanya, Kamis (30/11).

Pada aspek regulasi, Ombudsman mendapati belum optimalnya konsultasi publik yang melibatkan pemangku kepentingan dalam penyusunan rancangan PP 11/2023. Kesimpulan ini diperoleh berdasarkan keterangan sejumlah pemerintah daerah (pemda) dan kelompok nelayan

"Meskipun konsultasi publik dalam merancang kebijakan PIT sebenarnya telah dilaksanakan oleh KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dengan mengikutsertakan akademisi dan kelompok pemerhati, namun hal tersebut belum dirasa optimal," jelasnya.

Temuan Ombudsman berikutnya, beberapa ketentuan tentang perlindungan terhadap nelayan kecil tak bersifat kewajiban (mandatory), tetapi pilihan. Lalu, tidak ada parameter yang jelas dan terukur untuk menentukan kategori nelayan kecil.

Persoalan akuntabilitas dan transparansi dalam perhitungan, penetapan, dan evaluasi kuota penangkapan ikan juga belum diatur secara komprehensif dalam regulasi PIT. Selain itu, masih minim kegiatan sosialisasi dan edukasi regulasi serta aturan teknis.

"Kebijakan PIT berbasis kuota dan zona masih belum dipahami secara jelas dan utuh oleh para nelayan, pemilik kapal perikanan, maupun pelaku usaha perikanan," ungkap Hery.

Ia mengingatkan, ada potensi terjadi malaadministrasi dalam pelaksanaan PT nantinya. Pemerintah, khususnya KKP, pun diminta mengantisipasi secara tepat dan tepat permasalahan yang muncul.

Pada aspek implentasi, Ombudsman menemukan lemahnya sistem dan mekanisme pengawasan. Sebab, masih banyak nelayan yang melaut lebih dari 12 mil, padahal tidak memiliki izin atau hanya mengantongi izin dari pemerintah provinsi (pemprov).

"Fenomena tersebut menunjukkan bahwa KKP belum optimal melakukan pengawasan secara intensif dan menjangkau seluruh wilayah perikanan tangkap di Indonesia," katanya.

Ombudsman, lanjut Hery, juga menemukan fakta belum semua pelabuhan perikanan menyediakan gerai layanan perikanan tangkap. Gerai itu berfungsi memfasilitasi nelayan dan pelaku usaha perikanan dalam proses migrasi perizinan dan sebagai tempat pengaduan atau tanya jawab terkait kebijakan PIT.

Tata kelola bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, khususnya solar, untuk nelayan juga disorot Ombudsman. "Buka saja terkait dengan pasokan dan rantai distribusi, namun permasalahan dari sektor hulu ke hilir yang perlu pembenahan," terangnya.

"Apabila permasalahan BBM bersubsidi masih belum dapat diselesaikan, terutama soal pemerataan pasokan ikan, maka kewajiban untuk melakukan pembongkaran di pelabuhan perikanan setempat tidak dapat maksimal dilaksanakan," imbuhnya.

Persoalan lain yang ditemukan adalah banyak perizinan sektor perikanan tangkap bahkan aplikasi yang digunakan lebih dari satu. Nelayan dan pelaku usaha juga mengeluhkan berbagai pungutan, seperti biaya tambatan, biaya bongkar, dan PNBP, yang membengkak.

Saran Ombudsman

Ombudsman lantas memberikan sejumlah saran untuk mengoreksi berbagai temuan itu. Pada aspek regulasi, diharapkan melakukan konsultasi publik dengan mengoptimalkan pelibatan seluruh pemangku kepentingan secara aktif saat merancang aturan dan kebijakan.

"Yang tak kalah penting memastikan perlindungan terhadap nelayan kecil dilakukan secara maksimal dengan memperkuat sisi regulasi yang mengamanatkan secara mandatory perlindungan bagi nelayan kecil," ujarnya.

Pada aspek implementasi, KKP diminta memperkuat sistem dan mekanisme pengawasan subsektor perikanan tangkap dan meningkatkan kegiatan edukasi dan bimbingan teknis secara masif kepada stakeholder, termasuk petugas. Lalu, menjamin ketersediaan stok BBM bersubsidi dan kemudahan akses untuk mendapatkannya.

"Hal tersebut penting mengingat kebijakan PIT mewajibkan kapal membongkar hasil ikan di pelabuhan pangkalan yang dipilihnya," kata Hery.

Ombudsman juga menyarankan pemerintah menyederhanakan perizinan dan mengintegrasikan ke dalam sistem terpadu antara pemda, KKP, dan Kementerian Investasi/BKPM selaku pengelola online single submission (OSS). Dengan demikian, setiap perizinan dapat dipantau bersama dan tak tumpang tindih.

"Agar penyelenggara pelayanan terkait menutup potensi terjadinya malaadministrasi pelayanan publik dan mengoptimalkan mekanisme tindak lanjut pengaduan yang responsif," imbuhnya.

Tak tergesa-gesa

Sementara itu, anggota Komisi IV DPR, Nur'aeni, meminta KKP tak tergesa-gesa menerapkan kebijakan PIT. Menurutnya, program harus didahului persiapan yang matang, khususnya menyangkut sarana prasarana (sarpras), sehingga memudahkan nelayan dalam mencari ikan.

"Kami mendorong agar kebijakan PIT ini disiapkan dulu sarpras yang memadai untuk nelayan kita," ucap politikus Partai Demokrat itu.

Ia mendorong demikian mengingat banyak hal yang dikeluhkan nelayan. Misalnya, pendangkalan muara sungai menyulitkan untuk menangkap ikan serta tidak adanya fasilitas jaring dan kapal dari pemerintah.

"Bahkan, para nelayan ini menilai, tempat pelelangan ikan (TPI) di daerah tersebut sudah tidak memadai, tidak layak untuk dijadikan tempat jual beli ikan dari nelayan ke warga. Ini juga harus menjadi perhatian KKP untuk bisa dilakukan renovasi sebagai bagian dari dukungan untuk para nelayan," tuturnya.

"Kalau hanya digulirkan 1 Januari 2024 tapi kalau tidak dipersiapkan dari hal teknis ini, tidak akan menjadi program unggulan untuk bisa mendampingi nelayan terhadap program tersebut," sambung Nur'aeni.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan