Pemerintah memiliki beberapa langkah untuk menekan impor liquefied petroleum gas (LPG), yang masih menjadi pekerjaan rumah hingga kini. Salah satunya, melalui proyek gasifikasi batu bara.
Gasifikasi batu bara adalah mengolah batu bara kalori rendah menjadi dimethyl ether (DME) untuk subtitusi atau menggantikan LPG. Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mengatakan, harga keekonomian DME akan sangat fluktuatif tergantung dari harga batu bara.
"Dengan harga batu bara fluktuatif, keekonomian DME juga mengikutinya," ungkapnya kepada Alinea.id, Jumat (8/4).
Fahmy menjelaskan, di saat harga batu bara sangat tinggi, proyek gasifikasi menjadi tidak ekonomis. Dan jika pemerintah memberikan subsidi, maka akan membuat APBN jebol.
"Pembelian batu bara untuk gasifikasi menggunakan skema DMO industri dengan harga US$90 per metrik ton," lanjutnya.
Hal senada disampaikan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya W. Yudha. Dia mengatakan, harga DME dan LPG di China saling beriringan. Namun, harga DME di Indonesia cenderung fluktuatif.
"Kalau LPG di Indonesia acuan dari DME, fluktuatif sekali," ucapnya dalam diskusi publik bertajuk Keekonomian Gasifikasi Batubara, Kamis (7/4).
Menurutnya, formulasi harga diperlukan karena cenderung fluktuatif. Pasalnya, apabila DME menggantikan LPG, khususnya yang subsidi, maka kompensasi yang diberikan pemerintah menjadi besar.
"Maka, formulasi harga DME harus dirumuskan, perlu suatu formulasi yang tidak berfluktuasi seperti ini," ujarnya.