Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengatakan, sektor perbankan membutuhkan kebijakan susulan setelah 2022. Sebagaimana diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan kebijakan restrukturisasi kredit saat pandemi, yang mencegah kredit bermasalah (non performing loan/NPL) perbankan melonjak saat pandemi.
Menurutnya, perbankan membutuhkan reformasi kebijakan yang lebih cepat untuk menghindari membengkaknya NPL di 2023. Pasalnya, rasio likuiditas bank atau Loan to Asset Ratio (LAR) perbankan sudah mencapai 23% saat pandemi.
"Kalau tidak ada kebijakan susulan, yang terjadi adalah tiba-tiba NPL bisa double digit," kata Aviliani dalam webinar, Selasa (30/3).
Selain itu, ekonomi yang seharusnya membaik bisa tiba-tiba menurun karena rating Indonesia turun. Lembaga pemeringkat akan menganggap perbankan Indonesia berisiko setelah ekonomi membaik.
"Jadi memang peraturan yang satu harus diikuti dengan peraturan berikutnya. Ini kita lihat risiko setelah restrukturisasinya," ucap dia.
Kebijakan susulan yang akan diambil harus bisa membuat kredit dianggap sebagai NPL dan mematikan perusahaan. Pasalnya, hal tersebut akan membuat pendapatan per kapita Indonesia menjadi turun.
"Bagaimana supaya tidak langsung dimatikan. Mungkin restrukturisasi bisa diperpanjang waktunya, kemudian restrukturisasi pinjam baru. Bisa juga dengan kebijakan baru, jadi itu yang disebut kebijakan susulan," ujar dia.