Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah berkomunikasi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mendialogkan sengketa pajak antara PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN) dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Sengketa tersebut menyangkut nilai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp3,06 triliun yang belum disetorkan oleh PGN sejak 2012. Dan dalam penyelesaiannya Menteri BUMN Erick Thohir akan menemui Menkeu Sri Mulyani Indrawati.
"Saat ini belum ada pertemuan dengan Kemenkeu, masih dalam proses, tetapi sudah ada komunikasi bahwa kami akan ketemu mereka," kata Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga kepada wartawan, Selasa (5/1).
Arya memaparkan, sengketa pajak tersebut telah terjadi sejak 2012 dan telah diputuskan pengadilan tinggi negeri bahwa PGN tidak bersalah. Namun, DJP mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan DJP dengan kewajiban bayar Rp3,06 triliun.
Selanjutnya, pada 2014 DJP mengeluarkan aturan yang mengakui bahwa persoalan sengketa pajak tersebut tidak menyangkut dengan objek pajak, tetapi lebih mengarah pada kelalaian PGN yang tidak mengutip pajak terhadap konsumen yang membeli gas dari perseroan.
"Karena memang yang dijadikan objek itu tidak pernah dikasih pajak PPN oleh PGN. Jadi penjualannya tidak dikasih pajak oleh PGN ke konsumennya karena gak dimasukan dalam objek pajak," ujarnya.
Adapun, terkait putusan MA tersebut dalam keterangan tertulisnya Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama mengatakan PGN akan tetap berupaya menempuh upaya-upaya hukum yang masih memungkinkan untuk memitigasi putusan MA tersebut.
"Bahwa sejalan dengan upaya hukum pada perkara ini, Perseroan akan mengajukan permohonan kepada DJP terkait penagihan pajak agar dilakukan setelah upaya hukum terakhir sesuai peraturan perundang-undangan, sehingga perseroan dapat mengelola kondisi keuangan dan tetap dapat melaksanakan bisnis ke depannya dengan baik, termasuk menjalankan penugasan pemerintah," katanya.
Dia menjelaskan, terkait sengketa tersebut PGN dalam melaksanakan kegiatan usahanya, yaitu penjualan gas bumi, tetap merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Industri Minyak dan Gas Bumi dan peraturan di bidang perpajakan.
Aturan yang dimaksud adalah penjualan gas bumi melalui infrastruktur jaringan pipa tidak dikenai PPN sesuai Pasal 4A ayat 2 huruf a UU PPN.
"Selama ini PGN tidak mengutip pajak terhadap konsumen yang membeli gas bumi sesuai dengan peraturan tersebut," ujarnya.
Sementara itu, dalam surat penjelasan ke Bursa Efek Indonesia tertanggal 30 Desember 2020, Rachmat Hutama menjelaskan kronologi sengketa pajak tersebut. Pada awalnya PGN memiliki perkara hukum, yaitu sengketa pajak dengan DJP atas transaksi Tahun Pajak 2012 dan 2013 yang telah dilaporkan di dalam catatan Laporan Keuangan Perseroan per 31 Desember 2017.
Sengketa itu berkaitan dengan perbedaan penafsiran dalam memahami ketentuan perpajakan, yaitu PMK-252/PMK.011/2012 (PMK) terhadap pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas penyerahan gas bumi.
Per Juni 1998 PGN menetapkan harga gas dalam dolar per MMBTU dan Rp/M3 disebabkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS, yang sebelumnya harga gas dalam Rp/M3 saja.
Terkait hal ini, DJP berpendapat porsi harga Rp/M3 tersebut sebagai penggantian jasa distribusi yang dikenai PPN, sedangkan PGN berpendapat harga dalam dolar per MMBTU dan Rp/M3 merupakan satu kesatuan harga gas yang tidak dikenai PPN.
DJP lalu menerbitkan 24 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan total nilai sebesar Rp4,15 triliun untuk 24 masa pajak. PGN juga tercatat ada sengketa pajak lain selama periode 2012-2013 melalui penerbitan 25 SKPKB dengan total nilai sebesar Rp2,22 miliar.
PGN lalu mengajukan upaya hukum keberatan dan DJP menolaknya. Berikutnya PGN mengajukan upaya hukum banding lewat pengadilan pajak dan dikabulkan. Selanjutnya, DJP mengajukan upaya hukum peninjauan kembali ke MA. MA lalu memutuskan permohonan PK oleh DJP dikabulkan dengan nilai sengketa Rp3,06 triliun.