Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih lebih banyak digunakan untuk belanja pegawai daripada belanja modal. Peneliti Komite Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah atau KPPOD, Lenida Ayumi, menyatakan hal ini berpotensi merugikan masyarakat.
"Serapan belanja modal yang rendah berpotensi menimbulkan kerugian publik. Karena belanja modal biasanya digunakan untuk membangun sarana dan fasilitas publik," kata Lenida dalam diskusi media bersama KPPOD di Jakarta, Minggu (15/12).
Dia menjelaskan, dari serapan anggaran pemerintah provinsi pada 2018, rasio belanja pegawai dan belanja barang menjadi serapan terbesar pemerintah provinsi, yaitu sebesar 48%.
Rinciannya dari anggaran sebanyak Rp349,6 triliun, 26% digunakan untuk belanja pegawai, 22% untuk belanja barang dan jasa, 35% untuk belanja lainnya, dan sisanya 17% untuk belanja modal.
Rasio serapan yang sama juga ditemukan pada penyerapan anggaran pemerintah Kabupaten atau Kota tahun 2018. Dari anggaran sejumlah Rp804,2 triliun, 40% digunakan untuk belanja pegawai, 24% untuk belanja barang dan jasa, 20% untuk belanja modal, dan sisanya 16% untuk belanja lainnya.
Sementara itu, untuk serapan fisik APBD pemerintah provinsi hingga November 2019, tercatat rata-rata serapan provinsi masih mencapai 60%. Provinsi DKI Jakarta menjadi provinsi dengan serapan terendah, hanya 40%. Adapun provinsi dengan serapan tertinggi adalah Provinsi Gorontalo yang mencapai 83,57%.
Rendahnya serapan ini, kata Lenida, salah satunya disebabkan oleh function-based budgetting, yang mengakibatkan ketidaksesuaian penganggaran APBD dengan perencanaan pusat maupun daerah.
Sehingga, lanjut Lenida, mekanisme integrated budgetary control harus diterapkan, terutama untuk daerah baru. Hal ini dinilai penting agar integrasi dari hulu ke hilir terjadi, dan serapan anggaran bisa maksimal.