Serba salah subsidi LPG
Saban tiga hari sekali, Sri Haryani (41 tahun) harus mengisi ulang tabung gas miliknya agar bisa tetap berdagang. Dia menyetok setidaknya tiga tabung gas liquefied petroleum gas (LPG) 3kg untuk menyalakan kompor di warung kopi (warkop) miliknya dan suami selama kurang lebih 12 jam.
Dalam sebulan, kata Sri, dia harus mengeluarkan uang setidaknya Rp200 ribu untuk membeli gas melon. Harga itu dianggapnya masih cukup terjangkau dibandingkan tabung gas ukuran 12 kg atau 5,5 kg yang harganya terpaut jauh dari tabung gas melon yang biasa dia beli.
“Harganya ‘kan murah ya, Rp20 ribuan. Kalau yang gede-gede itu (gas 12 kg dan 5,5 kg) mahal. Sekitar Rp65 ribu kalau enggak salah yang warna pink itu. Yang gedean (12 kg) sekitar Rp140 ribuan,” cerita Sri saat berbincang dengan Alinea.id di warkopnya, di kawasan Jakarta Barat (15/10).
Sri sendiri mengaku tidak pernah kesulitan mendapat gas melon. Sebab dia termasuk kelompok miskin yang setiap bulannya mendapat bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah. Lagipula, sambung dia, lokasi agen gas ecerannya tidak jauh dari tempatnya berdagang.
“Kayanya juga enggak ada ditanya-tanya orang kaya atau orang miskin, mas. ‘Kan saya memang sudah langganan,” tambah dia.
Lain cerita dengan Dito (31 tahun), mantan pegawai akuntansi di salah satu perusahaan ritel besar di Indonesia. Sebelum pandemi Covid-19, Dito biasa membeli Bright Gas ukuran 12 kg produksi PT Pertamina (Persero). Satu gas 12 kg, sambung dia, cukup untuk kebutuhan sebulan.
Namun saat pandemi Covid-19, Dito terpaksa membeli gas 3 kg lantaran terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan. Sumber priuk nasinya lenyap dan kini hanya mengandalkan uang dari bekerja sebagai ojek online alias ojol.
“Kalau gue masih ada duit sih ya beli yang 12 kg. Sekarang beli yang segitu bisa beli gas tapi enggak bisa beli makan gue,” seloroh Dito melalui telepon kepada Alinea.id, Jumat (16/10).
Beban anggaran
Tidak dimungkiri, adanya pandemi Covid-19 memang berpotensi menambah jumlah orang yang membeli gas subsidi 3 kg. Sebab itu, dalam buku anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2020 versi revisi, alokasi dana untuk gas subsidi pun ditambah sebesar Rp4,4 triliun.
Namun, penambahan bujet itu diyakini masih tidak cukup untuk memenuhi permintaan gas subsidi sepanjang 2020, mengingat realisasi penyaluran gas bersubsidi dalam beberapa tahun belakangan kerap melebihi kuota.
Pada 2017 misalnya, kuota LPG 3 kg ditetapkan sebanyak 6,2 juta metrik ton (MT). Namun realisasinya mencapai 6,31 juta MT. Pun demikian dengan realisasi pada 2018 yang mencapai 6,53 juta MT. Padahal kuota yang disiapkan hanya 6,45 juta MT.
Angka ini semakin meningkat pada 2019 hingga menyentuh 6,84 juta MT. Sedangkan tahun ini, pemerintah menargetkan kuota gas subsidi sebanyak 6,98 juta MT serta 7-7,5 juta MT pada 2021.
Problemnya, ketika pemerintah menambah kuota gas 3 kg, maka itu berarti beban negara juga semakin bertambah. Sebab hingga akhir 2019 lalu, Indonesia masih harus mengimpor 5,73 juta MT gas bersubsidi atau setara 75% total kebutuhan LPG dalam negeri.
Sementara kemampuan Indonesia memproduksi gas hanya sekitar 1,9 juta MT atau 25% dari kebutuhan nasional. Lebih-lebih lagi, LPG tabung 3 kg ini juga selalu mengambil porsi terbesar dalam total alokasi anggaran untuk subsidi energi.
Pada 2018, setidaknya 37,87% atau Rp58,14 triliun dana subsidi energi digerogoti oleh gas 3 kg. Lantas pada 2019, jumlahnya sedikit menurun menjadi Rp58 triliun dan 2020 kembali turun menjadi Rp50,6 triliun.
Sasaran meleset
Dalam sebuah studi yang diterbitkan pada Oktober 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai bahwa semakin menggendutnya anggaran subsidi gas LPG ini tidak lepas dari kegagalan pemerintah dalam implementasi distribusi gas subsidi. Catatan pentingnya, banyak kelompok berkecukupan yang rupanya turut menikmati subsidi gas 3 kg.
Juru Bicara KPK Ipi Maryati menyebut, ada setidaknya tiga permasalahan dalam penyaluran gas subsidi. Pertama, sistem pengawasan distribusi subsidi gas 3 kg masih lemah. Kedua, tidak adanya aturan mengenai harga eceran tertinggi (HET) gas subsidi. Terakhir, alokasi ke daerah tidak tepat sasaran.
Sistem tata kelola seperti ini, kata Ipi, bakal membebani keuangan negara. Selain itu, minimnya tingkat pengawasan juga bisa berujung pada indikasi praktik koruptif dalam implementasi di lapangan.
“Jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi,” ungkap Ipi kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.
Untuk itu, KPK pun merekomendasikan pemerintah dan Pertamina agar bisa segera memperbaiki sistem tata kelola penyaluran gas 3 kg. Lembaga antirasuah ini meminta pemerintah segera mengevaluasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2019 terkait perluasan penggunaan LPG bersubsidi.
Lalu mengubah kebijakan subsidi harga menjadi bantuan langsung tunai (BLT) berbasis data terpadu (BDT) dengan memanfaakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk mencapai target penerima subsidi yang tepat sasaran. Selanjutnya, pemerintah juga diminta untuk memperbaiki data target penerima subsidi dari kalangan usaha kecil menengah (UKM).
“KPK berharap rekomendasi yang telah KPK sampaikan diimplementasikan agar dapat mendorong perbaikan sistem yang menjadi rintisan bagi cetak biru perubahan kebijakan energi lainnya, seperti bahan bakar minyak (BBM) dan listrik,” tegas Ipi.
Respons Pertamina dan pemerintah
Menyikapi kajian tersebut, Vice President Communication Pertamina Fajriyah Usman mengaku bahwa pihaknya bakal melakukan perbaikan terhadap sistem distribusi gas 3 kg. Pertamina, sambung dia, sudah mempersiapkan sejumlah program untuk memastikan penyaluran gas 3 kg bakal semakin tepat sasaran.
Cara pertama yang dilakukan pertamina adalah dengan menerapkan sistem pengawasan LPG 3 kg untuk memonitor stok dan penjualan di agen maupun pangkalan resmi. Termasuk mewajibkan setiap pangkalan mencatat data penjualan di logbook harian.
Selain itu, pertamina juga bakal mendorong pemerintah daerah (Pemda) untuk menggunakan Kartu Kendali bagi konsumen LPG 3 kg seperti yang dilakukan Pemda Jambi dan Kalimantan Selatan. Jika diperlukan, kata dia, Pertamina bersama pemda dan aparat setempat bakal menggelar inspeksi mendadak (sidak) ke pasar-pasar.
Selanjutnya, Pertamina juga bakal melakukan penyuluhan dan edukasi untuk mendorong kesadaran kalangan mampu beralih ke LPG nonsubsidi. Salah satunya dengan menggaet kerja sama pemda untuk mengimbau aparatur sipil negara (USN) agar menggunakan LPG nonsubsidi.
“Jika penyimpangan di agen atau pangkalan akan ditindak sesuai ketentuan berupa surat peringatan, pengurangan alokasi hingga Pemutusan Hubungan Usaha (PHU),” tegas Fajriyah melalui pesan singkat kepada Alinea.id.
Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) agaknya enggan menanggapi terlalu serius rekomendasi KPK. Direktur Pembinaan Program Migas Kementerian ESDM Soerjaningsih menegaskan bahwa mekanisme distribusi gas 3 kg tetap akan menggunakan cara lama sesuai kesepatakan bersama Komisi VII DPR RI.
“Mekanisme distribusi LPG 3 kg sesuai persetujuan dari DPR Komisi VII. Masih seperti yang lalu namun akan diefektifkan agar tepat sasaran,” jawab Soerjaningsih singkat kepada Alinea.id.
Pertimbangan risiko
Kendati singkat, jawaban Soerjaningsih agaknya bukan tanpa alasan. Sebab, jika mengacu pada hasil kajian Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), menghapuskan subsidi LPG tanpa persiapan memberikan kompensasi ternyata dapat menimbulkan sejumlah risiko.
Risiko pertama, peralihan bentuk subsidi diprediksi menambah inflasi sebesar 1,32% dari inflasi awal. Dampak peningkatan inflasi tertinggi berada di DKI Jakarta dengan kenaikan 1,58%. Disusul Bali dengan kenaikan 1,34%. Sementara yang terendah ada di Papua dan Papua Barat dengan pertumbuhan inflasi 0,99%.
Risiko selanjutnya, bisa menurunkan daya beli dan akan mendorong peningkatan angka kemiskinan sebesar 0,47%. Serta menambah tebal rasio gini nasional sebanyak 0,002.
Namun sebaliknya, jika penghapusan subsidi LPG dibarengi dengan kompensasi lain seperti yang disebutkan KPK, maka bisa menurunkan angka kemiskinan dan gini rasio di Indonesia. Dalam kajiannya, BKF menyebut jika transformasi kebijakan LPG diikuti pemberian BLT Rp45 ribu per rumah tangga, maka menurunkan angka kemiskinan 0,13% dan gini rasio 0,002.
Lalu apabila penghapusan subsidi diikuti pemberian BLT Rp60 ribu per kepala keluarga, maka akan menurunkan angka kemiskinan 0,36% dan angka ketimpangan 0,0003. Jika cara ini dilakukan, maka beban fiskal bisa berkurang dan negara dapat mengalokasikan dana subsidi untuk belanja produktif dengan nilai Rp120 triliun hingga 2023.
Melihat kajian itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia Mamit Setiawan menilai bahwa gagasan mengganti subsidi LPG menjadi BLT ini sebetulnya cukup bagus untuk diterapkan. Tetapi sayangnya, kata dia, kondisi saat ini sedang tidak memungkinkan untuk melakukan gebrakan yang demikian.
Pasalnya, saat ini banyak masyarakat yang berada dalam kondisi sulit lantaran pandemi Covid-19. Dia mengkhawatirkan, jika kebijakan ini diterapkan dalam waktu dekat malah bakal terjadi gejolak di akar rumput sehingga justru semakin berbahaya bagi perekonomian nasional.
“Perlu ada momen yang pas dan tepat dalam menjalankan program ini. Karena saya takutnya kalau ini benar-benar dihilangkan dalam masa pandemi, ini akan menimbulkan gejolak sosial yang akhirnya justru akan merugikan kita juga,” pungkas dia.