Serikat Pekerja PT PLN (SP PLN), Persatuan Pegawai PT Indonesia Power (PP IP), dan Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali (SP PJB), menolak program holdingisasi dan rencana Kementerian BUMN melakukan privatisasi usaha ketenagalistrikan.
Hal itu, dinilai sebagai upaya privatisasi melalui pembentukan holding aset pembangkit yang pada gilirannya dijual sebagian sahamnya melalui IPO (initial public offering atau kegiatan menjual saham perusahaan kepada pihak swasta lain).
Untuk diketahui, Kementerian BUMN saat ini melakukan holdingisasi terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Caranya dengan menggabungkan beberapa BUMN dan anak perusahaan melalui pembentukan holding. Yaitu, PT Pertamina Geothermal Energy (Unit PT PLN, PLTP Ulebelu Unit, PLTP Lahendong Unit) dan PT Indonesia Power (PLTP Kamojang Unit, PLTP Gunung Salak Unit, PLTP Darajat, PT Geo Dipa Energi).
Rencana holdingisasi PLTP ini akan menjadikan PT Pertamina Geothermal Energy (PT PGE) sebagai holding company. SP PLN Group menolak rencana tersebut, karena berpotensi timbulnya pelanggaran terhadap makna penguasaan negara sesuai konstitusi. Hingga saat ini, PT PLN (Persero) dan anak perusahaannya dinilai terbukti menyediakan listrik secara terjangkau bagi masyarakat.
“Sehingga menjadi pertanyaan kenapa induk holding di serahkan ke pihak lain yang minim pengalaman dalam pengelolaan PLTP?” tanya Ketua Umum DPP SP PLN (Persero) Muhammad Abrar Ali dalam keterangan tertulis, Rabu (27/7).
Ia menilai, kebijakan memisahkan PT PLN (Persero) dan unit anak perusahaannya adalah bentuk pelanggaran konstitusi yang sangat kasar dan membabi buta. Berdasarkan pasal 77 UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN, melarang privatisasi persero sektor tenaga listrik yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Sebab, sektor tenaga listrik dianggap erat kaitannya dengan pertahanan dan keamanan negara.
Di sisi lain, kebijakan pembentukan subholding PLTP ini dinilai juga melanggar Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Ketentuan tersebut sudah tertuang pula dalam putusan perkara No. 001-021-022/PUU-I/2003, Permohonan Judicial Review UU NO. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan halaman 334, dan putusan perkara No. 111/PUU-XIII/2015, Permohonan Judicial Review UU NO. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan halaman 103.
“Perkataan “dikuasai oleh negara” tidak mungkin direduksi hanya berkaitan dengan kewenangan negara untuk mengatur perekonomian. Oleh karena itu, baik pandangan yang mengartikan perkataan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh negara, kedua-duanya ditolak oleh Mahkamah,” ucapnya.