close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Harga kol Desa Pasir Datar, Kecamatan Caringin, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat turun. Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi. Harga kol Desa Pasir Datar, Kecamatan Caringin, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat turun. Pixabay.com
Bisnis
Jumat, 04 September 2020 16:28

Serikat petani sebut harga jual sejumlah produk pertanian turun

Jika terus berlangsung, akan memberatkan petani, sebab hasil panen yang didapat tidak sebanding dengan biaya produksi.
swipe

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) pada Agustus 2020 mengalami kenaikan 0,56% dibandingkan bulan sebelumnya. Kenaikan tersebut menjadikan NTP Agustus 2020 berada di level 100,65 dari sebelumnya 100,09 di Juli 2020.

Dalam rilis tersebut BPS juga mencatat terjadi kenaikan maupun penurunan dari beberapa NTP subsektor. Kenaikan terjadi pada subsektor tanaman pangan (0,45 %), tanaman perkebunan rakyat (2,81 %) dan subsektor perikanan (0,31%). Sementara penurunan terjadi pada subsektor tanaman hortikultura (1,98%) dan peternakan (1,31%).

Menanggapi rilis tersebut, Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI), Agus Ruli Ardiansyah mengatakan terdapat beberapa catatan terkait perkembangan di masing-masing NTP subsektor.

Agus menjelaskan, berdasarkan laporan petani SPI dari Desa Pasir Datar, Kecamatan Caringin, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, kondisi petani sayuran di sana cukup memprihatinkan. Ini diakibatkan harga produk pertanian menurun drastis selama kurun waktu 1-2 bulan terakhir.

"Harga-harga terjun sangat drastis. Harga kol yang semula Rp3.500 per kilogram sekarang hanya di harga Rp250 per kilogram, sampo (sawi putih) Rp150 per kilogram, sawi hijau Rp200 per kilogram," katanya dalam keterangan resmi, Jumat (4/9).

Tak hanya itu, komoditas seperti tomat juga anjlok hingga dihargai Rp600 per kilogram, kacang buncis Rp3.000 per kilogram, cabai keriting Rp7.000 per kilogram, daun bawang Rp6.000 per kilogram, cabai rawit Rp14.000 per kilogram, labu siam Rp200 per butir.

"Yang terakhir wortel yang juga mengalami perpindahan harga dari semula Rp4.500 sekarang menjadi hanya Rp1.000 per kilogram," ujarnya.

Jika kondisi seperti di Pasir Datar di atas terus berlanjut, ujarnya, akan sangat memberatkan petani, sebab hasil panen yang didapat tidak sebanding dengan biaya produksi.

Dia mencontohkan, ongkos produksi untuk satu ton sawi putih mencapai ratusan juta. Hal itu terdiri dari upah buruh cangkul, biaya pupuk, pembibitan dan lainnya.

"Bahkan tenaga sendiri tidak dihitung. Sementara  hasil panen yang didapat dari 1 ton panen hanya Rp150.000, ini sangat-sangat tidak sebanding, sangat mengkhawatirkan," tuturnya.

Berdasarkan data bulan-bulan sebelumnya, tren harga terus menurun. Padahal yang dikelompokkan dalam subsektor ini seperti sayur-sayuran maupun buah-buahan menjadi sumber gizi dan vitamin yang penting di masa pandemi.

“Ini harus segera dicari jalan keluarnya, baik itu mendorong penyerapan di tingkat petani sampai dengan inovasi baik itu ketika pasca panen maupun penyimpanannya. Tentunya ini membutuhkan peran serta dari pemerintah untuk membantu para petani,” tegasnya.

Selanjutnya, Agus pun menyinggung mengenai subsektor peternakan yang juga mengalami tren penurunan harga pascahari raya kurban.

"Kondisi saat ini secara umum konsumsi produk olahan ternak juga turun. Sektor unggas juga masih terpuruk. Ini masih terkait pandemi Covid-19 berdampak pada konsumsi hotel, restoran sampai dengan katering yang mengakibatkan turunnya permintaan selama Juli," ucapnya.

Untuk itu, Agus berharap agar pemerintah dapat menyerap hasil produksi petani dengan harga yang layak.

"Sejauh ini pemerintah masih kesulitan untuk mendorong apakah itu Bulog maupun koperasi-koperasi pangan milik petani. Stimulus-stimulus yang dijanjikan oleh pemerintah untuk membantu petani juga tidak terdengar kelanjutannya,” tambahnya.

Jalankan reforma agraria, bukan food estate

Lebih jauh, dia mendorong agar pemerintah fokus menjalankan reforma agraria dengan mendistribusikan lahan garapan kepada petani, bukan malah mendorong penciptaan lumbung pangan berskala besar di suatu wilayah atau food estate.

Jalannya reforma agraria, akan mendorong kesejahteraan petani dan meningkatkan produksi bahan makanan dan memicu terciptanya ketahanan pangan dalam negeri. 

Sementara food estate akan memicu perampasan lahan oleh para pemodal yang tertarik untuk berinvestasi di bidang industri pertanian. 

"Kita tidak boleh lupa, permasalahan utama pertanian kita adalah rendahnya kepemilikan lahan pertanian oleh petani. Oleh karena itu solusinya adalah melalui program reforma agraria, di antaranya melalui distribusi lahan. Ini tentunya  juga akan menambah ketersediaan lahan dan sekaligus menambah jumlah keluarga petani dalam meningkatkan ketersediaan pangan," tuturnya.

img
Nanda Aria Putra
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan