close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kurs rupiah dan IHSG anjlok, seriuskah kondisi ekonomi saat ini? /Pixabay
icon caption
Kurs rupiah dan IHSG anjlok, seriuskah kondisi ekonomi saat ini? /Pixabay
Bisnis
Jumat, 07 September 2018 12:39

Seriuskah kondisi ekonomi saat ini?

Kurs rupiah dan IHSG anjlok, seriuskah kondisi ekonomi saat ini?
swipe

Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus anjlok hingga hampir menyentuh level Rp 15.000 per dollar AS. Indeks Harga Saham Gabungan pun turut (IHSG) terkena imbasnya, melempem menjauhi level 6.000. Seberapa serius kondisi ekonomi saat ini?  

Pengamat Ekonomi Unand Padang Profesor Elfindri mengatakan krisis ekonomi saat ini merupakan kondisi yang serius. Indikator utamanya, transaksi berjalan atau current account yang lebih parah ketimbang tahun 1997 silam. 

Defisit transaksi berjalan tahun 2017 tercatat sebesar US$4,89 miliar. Angka ini lebih kecil dibandingkan defisit transaksi berjalan tahun 2018 yang mencapai US$8 miliar.

Secara persentase terhadap Gross Domestic Product (GDP), defisit transaksi berjalan tahun 1997 tercatat sebesar 2,2% dari GDP. Nilai ini juga lebih kecil dari tahun 2018 yang tercatat sebesar 3,04% dari GDP.

Di indikator berikutnya, katanya menyebutkan, neraca perdagangan tahun 1997 justru terjadi surplus sebesar US$410 juta. Kondisi ini berbanding terbalik di tahun 2018 yang mencatat defisit neraca perdagangan dari Januari-Juli 2018 sebesar US$ 3,02 miliar.

"Beberapa indikator seperti rasio cadangan devisa dan inflasi, pada tahun 1997 memang lebih buruk dari 2018. Tercatat cadangan devisa tahun 1997 hanya sebesar 2,9 bulan impor, lebih buruk dari cadangan devisa tahun 2018 yang mencapai 6,9 bulan impor. Inflasi tahun 1997 sebesar 6,2% juga lebih tinggi dari tahun 2018 yang hanya sebesar 3,2%," katanya.

Sementara, indikator-indikator lainnya nyaris setara, yakni Debt service ratio (DSR) tahun 1997 sebesar 30%, hanya sedikit lebih tinggi dari tahun 2018 yang tercatat sebesar 26,2%. Rasio investasi asing langsung atau foreign direct investment terhadap GDP pada tahun 1997 tercatat sebesar 1,48%, juga hanya beda tipis dibandingkan tahun 2018 yang tercatat sebesar 1,5%.

"Peringkat surat utang dari lembaga internasional semacam Standard & Poor's pada tahun 1997 dan 2018 ternyata sama-sama BBB," katanya.

Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah perlu melakukan gerakan kemandirian guna menahan penurunan nilai tukar rupiah. Tujuannya, agar dalam enam bulan ke depan tersedia pangan dan keperluan pokok lainnya.

Selain itu, katanya, pemerintah perlu menunda proyek-proyek yang memerlukan kebutuhan impor. Juga, perlu menggarap secara mikro peningkatan ekspor yang bahan-bahannya sudah jadi, lakukan penghematan dan consumption thrift terhadap produk impor.

"Presiden Jokowi harus mempelajari kesalahan menteri perdagangan tentang impor-impor yang sudah dilakukan, agar bisa menahan penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS itu," katanya. (Ant)

img
Satriani Ari Wulan
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan