Sertifikasi tanah dan lahan terlantar masih jadi persoalan
Indonesia merupakan negara yang luas. Berdasarkan catatan Kementerian Koordinator bidang Ekonomi, jumlah bidang tanah di Indonesia, di luar kawasan hutan, keseluruhannya berjumlah 90.663.503 bidang. Dari angka tersebut, tanah yang telah bersertifikat hanya berjumlah 35.789.766 bidang (40%) sedangkan yang belum bersertifikat berjumlah 54.832.737 bidang (60%).
Kementerian ATR/BPN sendiri telah diberikan target yang jelas untuk melakukan sertifikasi tanah di seluruh Indonesia, yakni lima juta sertifikat tanah harus terbit pada 2017. Tujuh juta sertifikat tanah pada 2018, dan sembilan juta sertifikat tanah pada 2019.
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan A Djalil mengatakan sertifikat tanah merupakan bukti hak yang paling hakiki atas kepemilikan tanah. Dengan memiliki sertifikat, tanah yang dimiliki masyarakat dapat terhindar dari sengketa pertanahan, "Selain itu, dengan memiliki sertifikat tanah, masyarakat dapat memberdayakan ekonomi secara mandiri," jelas dia dalam keterangan tertulisnya, Jum’at (23/3).
Tanah yang memiliki sertifikat tanah bukan aset mati. Karena sertifikat tanah itu berkaitan dengan financial inclusion. Financial inclusion adalah suatu kondisi dimana masyarakat bisa inklusif dalam lembaga keuangan modern.
Tetapi seperti apa hubungan sertifikat tanah dengan financial inclucion? Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, mengaku telah melakukan rapat kabinet bersama Presiden Joko Widodo. Rapat tersebut membahas pembentukan tiga Peraturan Presiden mengenai strategi nasional keuangan inklusif.
Ada beberapa pilar aspek dan kebijakan yang perlu dijalankan untuk mewujudkan keuangan inklusif, sertifikasi tanah rakyat masuk di dalamnya. Pemerintah melihat terbatasnya tanah yang bersertifikat dapat menghambat akses pembiayaan masyarakat. Khususnya bagi mereka yang hendak mengembangkan usahanya, pada skala usaha mikro, kecil, dan menengah.
Padahal pembiayaan merupakan salah satu cara bagi UMKM meningkatkan skala usahanya. Disatu sisi, tidak banyak pelaku UMKM yang masuk dalam kategori bankable. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau bank kerap menolak memberikan pembiayaan kepada calon kreditur yang tidak memiliki jaminan.
"Pesan utamanya adalah inklusi keuangan mampu mempercepat kemajuan untuk mencapai sejumlah prioritas nasional seperti pengurangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, keamanan pangan, persamaan gender dan pertumbuhan yang seimbang," terang Darmin kepada wartawan, (14/2) di Jakarta.
Program tersebut tentu saja mendapatkan sambutan positif dari dunia perbankan. Sekretaris Perusahaan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Bambang Tribaroto, mengatakan, besar kemungkinan akan terjadi peningkatan pengajuan pembiayaan dari pelaku usaha yang telah mendapatkan sertifikasi gratis dari pemerintah.
Bank BRI telah menyalurkan kredit senilai Rp739,3 triliun pada 2017. Dimana sebesar 74,6% dari total portofolio penyaluran kredit tersebut disalurkan kepada UMKM. "Program ini tentunya akan meningkatkan jumlah kredit yang kami salurkan kepada UMKM pada tahun ini," kata dia saat dihubungi.
Tersedianya agunan merupakan salah satu syarat administrasi yang harus dipenuhi calon kreditur. Tanpa itu, akan sulit bagi bank memberikan kredit. Apalagi jika usia usaha yang dirintis baru berjalan enam bulan hingga satu tahun. Dimana skala usaha belum terlalu besar dan rentan terhadap fluktuasi usaha.
Tentu saja, agunan berupa sertifikat tanah juga tidak berarti apa-apa untuk mendapatkan pembiayaan dari perbankan. Jika masyarakat tidak memiliki usaha yang akan dibiayai perbankan. Sebab bank khawatir dana yang dipinjamkan bukan untuk usaha, tetapi hal lainnya.
Hal itu bukannya omong kosong. Adanya sertifikat tanah yang diberikan gratis pemerintah, membuat masyarakat sudah mempunyai hak hukum atas tanahnya, dan memudahkan dalam meminjam modal usaha.
Itulah sebabnya, pemberian sertifikat tanah oleh pemerintah secara gratis kepada warga Malang Raya disambut baik masyarakat, bahkan beberapa warga mengaku sangat terbantu dengan program tersebut.
Sulis, warga Desa Sumber Sekar, Kabupaten Malang, mengaku program ini sangat bagus karena bisa membantu masyarakat dalam kepemilikan tanah dan membuat warga bisa dipercaya perbankan untuk meminjam kredit. "Ke depan kami ingin program ini bisa lebih diperbanyak lagi, dan semakin luas warga yang menerima sertifikat tanah," tuturnya seperti dilansir Antara, Rabu (28/3).
Kendati begitu, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira, mengaku pembagian sertifikat belum efektif. Pembagian sertifikat tidak langsung menyelesaikan masalah kemiskinan dan ketimpangan di daerah. Sertifikat tanah yang telah dibagi ke petani akan digadaikan ke bank atau rentenir. Itu artinya, petani miskin akan terjebak dalam lingkaran utang, alias bukan sejahtera tetapi membuat masyarakat semakin miskin.
Ada baiknya sebaiknya reforma agraria Jokowi mencontoh konsep FELDA (Federal Land Development Authority) di Malaysia. Petani miskin diberi sertifikat untuk menggarap tanah yang menganggur. Selanjutnya pemerintah kerjasama dengan swasta untuk menampung hasil produksi petani. Jadi produksi petani ada keberlanjutan dan kejelasan.
Jika itu terjadi, dari hulu sampai hilir proses produksinya akan mensejahterahkan petani. Misalkan saja di perkebunan sudah ada kemitraan inti-plasma dimana 20% tanah harus dikelola perkebunan plasma rakyat. Itulah yang harusnya dikawinkan dengan konsep bagi-bagi sertifikat pemerintah.
Sementara berdasarkan data hasil pembangunan agraria 2010-2014 Kementerian ATR/BPN diketahui, bidang tanah yang telah diredistribusi sebanyak 736.604 bidang. Luas tanah terlantar yang telah diidentifikasi seluas 2.050.088 hektar.
Definisi tanah terlantar diatur di dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.
Disebutkan tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Tentu akan jadi masalah bila lokasinya terletak di daerah strategis, seperti kawasan wisata ataupun kawasan pertanian. Padahal jika tanah itu dipergunakan sebagaimana mestinya, akan meningkatkan kualitas ekonomi kawasan tersebut.
Itulah sebabnya, pemanfaatan lahan terlantar atau tidur telah dilakukan sejumlah pemerintah daerah. Salah satunya yang dilakukan, PT Garam Indonesia, bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Provinsi NTT yang mengekspansi lahan garapan untuk ladang garam ke sejumlah lahan tidur di Kabupaten Kupang.
"Kerja sama ini juga melibatkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta Kementerian Kemaritiman guna mendapatkan lahan yang lebih luas agar pengolahan garam di daerah ini kelak bisa bertambah banyak dan bisa memenuhi kebutuhan akan garam industri nasional kita," kata Direktur Garam Indonesia Budi Sasongko kepada Antara di Kupang.
Ekspansi ke lahan tidur itu adalah dengan memanfaatkan lahan di pinggir pantai yang memang tidak dimanfaatkan. Daripada tidak bermanfaat, tentu akan jauh lebih baik jika dikelola untuk menghasilkan garam. Apalagi pada saat ini, pemerintah telah berkomitmen memproduksi garam berkualitas di dalam negeri.
Baca juga bagian 1 Perjalanan reforma agraria di Indonesia dan