close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/MT. Fadillah.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/MT. Fadillah.
Bisnis
Minggu, 30 Oktober 2022 07:07

Setelah BUKA dan GOTO, saham Blibli layakkah dikoleksi?

IPO Blibli dilakukan di tengah kondisi resesi, inflasi tinggi, dan musim dingin perusahaan teknologi.
swipe

Tinggal menghitung hari sampai PT Global Digital Niaga atau yang lebih dikenal dengan Blibli resmi menjadi perusahaan publik. Dalam prospektus alias keterbukaan informasi yang disampaikannya kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), perusahaan teknologi ini bakal melakukan pencatatan saham perdana pada 7 November 2022. Setelah sebelumnya menjalani masa penawaran awal alias book building saham mulai 17-24 Oktober 2022 dan masa penawaran umum pada 1-3 November 2022. 

Melalui mekanisme e-IPO, Blibli menawarkan sebanyak-banyaknya 17.771.205.900 lembar saham, atau 15% dari modal ditempatkan dan disetor setelah penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) dengan nilai nominal Rp250 per saham. Setelah penawaran, saham calon emiten Grup Djarum ini akan dibanderol dengan harga Rp410-Rp450 per lembar.

Dengan demikian, dari proses IPO ini perusahaan yang menggunakan kode saham BELI ini bakal meraup dana segar sebanyak Rp8,17 triliun. “Dana yang diperoleh dari Penawaran Umum Saham Perdana ini setelah dikurangi seluruh biaya-biaya emisi saham, akan dialokasikan sekitar Rp5,5 triliun untuk pembayaran seluruh saldo utang fasilitas perbankan,” tulis manajemen dalam prospektus, seperti dikutip Alinea.id, Kamis (27/10).

Lebih rinci, sebesar Rp2,8 triliun akan dialokasikan untuk membayar utang kepada PT Bank Central Asia Tbk (BCA) dan Rp2,8 triliun untuk membayar utang kepada PT Bank BTPN Tbk. Sisanya, dana segar akan digunakan oleh Perseroan dan Entitas Anak sebagai modal kerja untuk mendukung kegiatan usaha utama dan pengembangan usaha Perseroan. 

Termasuk namun tidak terbatas pada kegiatan penjualan dan pemasaran, pengembangan produk, pembiayaan kegiatan operasional (termasuk biaya pemeliharaan atau beban operasional lainnya), dan penambahan fasilitas pendukung usaha Perseroan (termasuk diantaranya pembaruan teknologi).

Dari alokasi dana ini, 57% di antaranya akan digunakan oleh perseroan, sedang 43% lainnya akan digunakan oleh PT Global Tiket Network (GTNe) atau yang lebih dikenal sebagai Tiket.com dan entitas anak Perseroan lain. Dengan dana yang akan disalurkan kepada GTNe akan dilakukan secara bertahap, dalam bentuk peningkatan penyertaan modal yang akan dimulai pada kuartal-IV tahun ini.

“Apabila dana yang diperoleh ini tidak dipergunakan langsung oleh perseroan, maka perseroan akan menempatkan dana bersih dalam rekening giro dan/atau tabungan maupun deposito pada bank dan lembaga keuangan atau menginvestasikan dana tersebut dalam instrumen pasar uang lainnya,” kata manajemen.

Kepemilikan saham Blibli

Sebelum IPO Sesudah IPO
PT Global Investama Andalan (GIA) 98,46% PT Global Investama Andalan (GIA) 83,69%
Kusumo Martanto 0,042% Kusumo Martanto 0,035%
Honky Harjo 0,034% Honky Harjo 0,029%
Lisa Widodo 0,003% Lisa Widodo 0,003%
Hendry 0,002% Hendry 0,02%
Andy Untono 0,001% Andy Untono 0,001%
Lain-lain 1,455%

Lain-lain 1,237%

Masyarakat 15%

Mengutip Bloomberg, pada Kamis (27/10), Blibli telah berhasil menjual sebanyak 17,8 miliar saham di harga Rp450 per lembar. Namun demikian, Chief Executive Officer (CEO) Blibli Kusumo Martanto enggan berkomentar mengenai harga final saham ini.

Sementara itu, banyak pihak menilai aksi korporasi ini sebagai langkah berani Blibli. Bagaimana tidak, pencatatan saham perdana lokapasar ini dilakukan di tengah tren inflasi dan suku bunga tinggi dari banyak negara di dunia, termasuk Indonesia dan bayang-bayang ancaman resesi global.

Padahal kondisi ini cenderung membuat daya beli masyarakat lemah dan pasar lesu. “Tingkat inflasi tinggi dan kenaikan suku bunga yang masih akan terus berlangsung akan menurunkan daya beli masyarakat, konsumsi, investasi dan pendapatan perusahaan. Ini jelas tidak akan mudah buat Blibli,” kata Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Maximilianus Nico Damus, kepada Alinea.id, Rabu (26/10).

Belum lagi, sampai saat ini indeks saham sektor teknologi masih lesu, seiring dengan kondisi ekonomi global yang membuat perusahaan teknologi masih memasuki musim dinginnya. 

Ilustrasi Blibli. Medium.com/Resly Suniar.
Meski begitu, kinerja saham BELI akan kembali lagi kepada bagaimana ekspektasi dan persepsi pelaku pasar serta investor terhadap indeks-indeks di sektor teknologi. Tidak hanya itu, valuasi Blibli di masa depan juga menjadi penentu apakah saham perusahaan rintisan ini akan bergerak naik atau sebaliknya, tergerus seperti e-commerce yang sudah lebih dulu melantai di bursa yakni BUKA dan GOTO.

“Kalau kita bicara soal perusahaan teknologi, ekosistem adalah faktor penentu dari perkembangan bisnis mereka. Karena semakin luas dan kuat ekosistem yang mereka miliki, akan semakin banyak juga penggunanya. Blibli sudah punya ini, tinggal bagaimana nanti memanfaatkan ekosistem yang ada,” lanjut Nico.

Tetap Djarum

Seperti yang telah diketahui, di belakang Blibli ada Grup Djarum yang mendukung kelengkapan ekosistem calon emiten ini. Bahkan, setelah IPO nanti, perusahaan raksasa milik kakak-beradik Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono ini akan tetap menjadi pengendali utama perusahaan.

“Komitmen dari sponsor kami ini (Grup Djarum) tetap ada ke depannya. Bisa dilihat dari struktur IPO, yang mana saham yang ditawarkan semuanya adalah saham baru. Artinya, sponsor kami sama sekali tidak ada niat exit. Sebaliknya, mereka ingin berpartner dengan pemegang saham publik,” jelas Corporate Secretary dan Investor Relation Blibli Eric Alamsjah Winarta, saat dikonfirmasi Alinea.id, Rabu (19/10).

Tidak hanya itu, Eric juga memastikan ke depannya jalinan kerja sama antara Grup Djarum dengan Blibli masih akan berlanjut. Dengan kondisi ini, potensi sinergi antara grup usaha ini masih terbuka lebar.

“Banyak sekali potensial sinergi yang bisa kami lakukan dengan perusahaan yang dimiliki oleh sponsor kami ini,” lanjutnya.   

Ekosistem kuat ini juga lah yang membuat marketplace dengan slogan ‘Pasti Puas! Pasti di Blibli!’ ini pede melangkahkan kakinya sebagai perusahaan publik. Dengan strategi omnichannel alias multisaluran, Blibli kini telah terintegrasi dengan berbagai platform penjualan lain, baik online maupun offline. Sebut saja Tiket.com yang melayani segmen perjalanan dan gaya hidup serta Ranch Market yang melayani segmen barang kebutuhan sehari-hari dan supermarket.

Ilustrasi. Foto Alinea.id/Sat.

Terkait hal ini, setelah Blibli mengakuisisi pengelola Ranch Market PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC) pada pertengahan tahun lalu, kini perusahaan yang berdiri sejak 2011 ini telah memiliki 161 retail offline. Tidak hanya itu, Blibli juga melengkapi infrastrukturnya dengan keberadaan darkstore, gudang atau warehouse dan hub.

Omnichannel terintegrasi antara online dan offline sejak hulu ke hilir, dari pelanggan mencari kebutuhannya hingga melakukan transaksi. Dengan strategi ini, Blibli memberikan fleksibilitas secara total bagi pengguna,” jelas CEO sekaligus Co-Founder Blibli Kusumo Martanto, dalam paparan publik penawaran umum saham perdana Blibli, Selasa (18/10).

Selain omnichannel, Blibli juga melakukan single sign on (SSO), di mana pelanggan yang memiliki akun atau masuk di salah satu platform, dapat menjadi pelanggan di platform lainnya. Sebagai contoh, seorang yang sudah memiliki akun Blibli, tidak perlu membuat akun baru untuk membeli tiket atau memesan hotel melalui Tiket.com, begitu juga sebaliknya.

Strategi ini jelas akan memudahkan perseroan untuk melakukan cross-selling atau belanja silang dari satu platform ke platform lainnya. Di saat yang sama, integrasi ini juga nantinya akan memberi manfaat kepada pelanggan untuk mendapatkan penghargaan (reward) atau loyalty dari program-program yang diadakan oleh masing-masing platform. 

Potensi saham BELI

Di luar ekosistem kuat, sebuah riset dari Ajaib Sekuritas juga menilai bahwa secara fundamental, Blibli masih memiliki performa kinerja cukup baik. Hal ini tercermin dari rasio solvabilitas atau kemampuan perseroan untuk membayar utang cukup sehat.

Ini terefleksikan pula pada rasio utang terhadap aset (debt to asset ratio/DAR) yang sebesar 0,45 kali dan rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity/DER) yang sebesar 0,82 kali. Dengan masih rendahnya rasio DER ini, berarti bahwa profitabilitas perusahaan dan kemampuannya untuk membayar utang cukup besar.

“Umumnya, DER berbanding terbalik dengan dividen suatu emiten. Jadi, semakin rendah DER, komposisi utang akan semakin rendah. Artinya, akan semakin tinggi kemampuan emiten Perseroan untuk membayarkan dividen payout ratio (DPR) kepada pemegang saham,” jelas Financial Expert Ajaib Sekuritas M. Julian Fadli, kepada Alinea.id, Jumat (28/10).

Pada kondisi ini, akan semakin tinggi pula tingkat kepercayaan investor terhadap emiten.
Di sisi lain, Julian juga melihat prospek cerah Blibli dan dua anak usaha integrasinya, seiring dengan peningkatan penggunaan ponsel pintar dan pembelian online, serta meningkatnya daya beli masyarakat perkotaan dan kelas menengah.

Julian, mengutip laporan Frost and Sullivan memperkirakan, Blibli.com yang melayani segmen e-commerce memiliki Total Addressable Market (TMA) alias potensi pasar mencapai US$150 miliar di tahun 2025, dengan tingkat pertumbuhan per tahun (compounded annual growth rate/CAGR) 19% dari tahun 2020 hingga 2025.

Kemudian berdasar Euromonitor, Tiket.com mememiliki perkiraan nilai TAM sebesar US$41 miliar di tahun yang sama, dengan perkiraan pertumbuhan CAGR 28% dari 2020 hingga 2025. Sementara Ranch Market diperkirakan akan memiliki TAM mencapai US$245 miliar, dengan pertumbuhan tahunan 6% sejak 2020 – 2025.

“Dalam tiga tahun terakhir, Blibli memiliki kinerja yang cukup baik dan bisnisnya berpotensi tumbuh, bersamaan dengan sektor bisnis BELI lainnya yang mendapatkan dukungan dari Grup Djarum. Dengan prospek kinerja ini, saham BELI menurut saya menarik untuk dimasukkan ke dalam watchlist,” imbuh Julian.

Tidak seperti Julian, Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto menilai saham BELI akan dipandang kurang menarik oleh investor. Pasalnya, dana segar yang didapatkan oleh perseroan mayoritas akan digunakan untuk membayar utang kepada Bank BCA dan BTPN. Sedang anak usaha Ranch Market masih berutang kepada PT Bank OCBC NISP Tbk sebesar Rp30 miliar dan PT Bank CIMB Niaga Tbk sebesar Rp30 miliar.

Ilustrasi Pixabay.com.

“Dengan tujuan perusahaan akan menggunakan dana IPO untuk melunasi utang, akan membuat investor semakin enggak menarik karena kurang bonafide,” tutur Pandhu, saat dihubungi Alinea.id, Senin (24/10).

Alih-alih bayar utang, investor akan lebih tertarik dengan emiten yang menggunakan dana segar hasil IPO untuk ekspansi perusahaan yang berpotensi memberikan dampak signifikan kepada pertumbuhan pendapatan perusahaan. Pasalnya, dengan begitu saham perusahaan dapat bergerak semakin tinggi atau dividen yang dibagikan kepada investor akan semakin besar.

Positifnya, jika dana segar cukup untuk menutup utang-utang itu, Blibli berpotensi menumbuhkan laba bersih perseroan. Sebab, dengan pembayaran utang akan membuat beban perusahaan terhadap bunga utang berkurang.

“Sebaliknya, kalau dana segar tidak cukup, mereka akan menutup utang dengan pinjaman lain, seperti yang dikatakan prospektus,” imbuhnya.

Selain gamang karena penggunaan dana segar untuk pembayaran utang tersebut, calon investor juga cenderung akan membandingkan dan memproyeksikan nasib saham BELI sama dengan pendahulunya BUKA dan GOTO. Seperti yang diketahui, kedua saham e-commerce besar tersebut tidak dalam posisi yang baik.

BUKA misalnya, pada perdagangan Kamis (27/10), saham BUKA ditutup di harga Rp284 per lembar saham, turun 0,70% dari pembukaan pasar yang berada di level Rp290 per lembar. Dengan begitu, saham BUKA telah mengalami penurunan sebesar 65,99% sejak melantai di bursa pada 6 Agustus 2021.

Sementara GOTO, pada perdagangan Kamis (27/10), saham PT Goto Gojek Tokopedia Tbk. ini ditutup di level Rp198 per lembar. Sejak mencatatkan saham perdananya di BEI pada 11 April 2022, saham perusahaan gabungan Gojek dan Tokopedia ini telah anjlok 47,06%.

“Dengan melihat kinerja saham BUKA dan GOTO, calon investor akan beranggapan kalau tidak menutup kemungkinan BELI akan mengalami hal yang sama,” ujar Pandhu.

Hal ini pun diamini pula oleh Analis pasar modal Kanaka Hita Solvera Andhika Cipta Labora. Kondisi ini pun semakin diperparah dengan kehati-hatian investor untuk menanamkan modalnya di emiten-emiten teknologi mengingat dalamnya penurunan perusahaan sektor ini.

Dari data BEI, hingga penutupan perdagangan Jumat (28/10), saham-saham sektor teknologi berada di level 6.495,62, turun 2,15% atau 142,46 poin dari sebelumnya. Di mana sejak awal tahun saham sektor teknologi anjlok hingga 27,78%.

“Karena apa yang terjadi pada BUKA dan GOTO, dan sekarang sektor teknologi masih menunjukkan tren penurunan, investor akan semakin hati-hati,” katanya, kepada Alinea.id, Kamis (27/10).

Selain itu, Andhika juga menilai bahwa IPO Blibli dilakukan pada waktu yang kurang tepat, yakni saat tren inflasi dan suku bunga sedang tinggi. Padahal, emiten yang identik dengan warna biru muda ini juga menargetkan pemodal asing, terutama dari Amerika Serikat dalam masa bookbuilding kemarin.

“Pada saat seperti ini, investor justru lebih memprioritaskan ke investasi yang lebih aman dan memiliki imbal hasil besar seperti obligasi,” lanjutnya.

Bursa Efek Indonesia di masa pandemi. Foto Reuters.

Dari sisi kinerja perusahaan, Blibli juga serupa dengan BUKA dan GOTO, yang sama-sama masih membukukan kerugian dalam waktu yang lama. Meskipun pada semester-I kemarin, BUKA telah berhasil membalik (turnaround) kerugian menjadi laba.

Perlu diketahui, pada paruh pertama tahun ini GOTO mencatatkan rugi bersih sebesar Rp13,65 triliun yang disumbang oleh lonjakan biaya iklan pemasaran dan promosi, beban penjualan dan pemasaran, beban pengembangan produk, beban gaji dan imbalan karyawan, serta beban dari pengembangan teknologi, informasi dan infrastruktur. Namun demikian, GOTO masih mencatatkan kenaikan pendapatan bersih yang mencapai 73,32% menjadi Rp3,40 triliun.

Adapun BUKA pada periode yang sama berhasil meraih laba bersih sebesar Rp8,59 triliun, dengan pendapatan bersih sebesar Rp1,69 triliun. Setelah pada semester-I 2021 perusahaan mencatatkan rugi senilai Rp766,24 miliar.

Pertimbangan calon investor

Sementara itu, berdasarkan prospektus perusahaan, Blibli masih membukukan rugi bersih sebesar Rp2,48 triliun pada semester-I 2022, di tengah melesatnya pendapatan bersih calon emiten ini hingga 123,76% mencapai Rp6,71 triliun. Kerugian ini disumbang oleh kenaikan beban pokok pendapatan sebesar 121,74% menjadi Rp6,15 triliun. Kemudian ada pula beban penjualan yang membengkak hingga 97,43% menjadi Rp1,40 triliun.

“Pada situasi ini, masih perlu waktu lebih lama untuk pembagian dividen,” kata Vice President Infovesta Wawan Hendrayana, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (28/10).

Namun demikian, masih berkaca pada BUKA dan GOTO, BELI juga masih sangat mungkin mendapatkan kesuksesan dari penawaran saham perdana ini. Dengan catatan akan ada standby buyer investor yang siap membeli saham baru yang tidak dijual.

“Kalau mengandalkan dari pasar saja, saya pikir akan tetap berat. Dalam jangka panjang, dengan kerugian yang ada Blibli bisa jadi mirip dengan GOTO. Mencari pendanaan via private placement atau right issue,” ujar dia.

Karenanya,  analis pasar modal ini menyarankan agar investor yang berminat untuk membeli saham BELI agar dapat memiliki exit strategy yang jelas, seperti menjual atau membeli saham di waktu yang tepat. Hal ini tentunya dilakukan dengan membuat pertimbangan setelah memantau kinerja saham yang telah dan ingin dikoleksi.

Sementara itu, saham BUKA, Wawan bilang, bukannya tidak layak dibeli. Sama seperti saham -saham dari emiten teknologi lainnya, saham BELI masih menarik untuk dikoleksi, mengingat potensi pertumbuhan bisnis perusahaan di masa depan.

“Belum lagi, ekonomi digital di indonesia juga memiliki prospek bagus,” tutup dia.
 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan