close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
Bisnis
Senin, 31 Mei 2021 18:05

Setelah GoTo, akankah perkawinan Grab-Shopee terwujud?

Merger Gojek dan Tokopedia membuat persaingan dalam bisnis digital semakin mengerucut dan menyisakan pemain besar saja.
swipe

Senin (17/5) kemarin, dua platform raksasa Gojek dan Tokopedia mengumumkan aksi merger keduanya. Setelah perundingan sekitar empat bulan, kedua aplikasi bercorak hijau ini akhirnya sepakat bergabung dan membentuk entitas bersama bernama GoTo.

Hasil merger ini membuat nilai valuasi GoTo group menjadi US$18 miliar atau sekitar Rp257 triliun (kurs Rp14.285 per dolar AS). Dengan valuasi tersebut, berdasar data CBInsight, GoTo berada di urutan ke-11 perusahaan teknologi dunia. 

Selain itu, merger juga menggabungkan transaksi menjadi sebesar 1,8 miliar transaksi pada tahun 2020, dan ditargetkan berkontribusi lebih dari 2% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia, yang sebesar Rp14.434 triliun. Grup GoTo saat ini juga memiliki total Gross Transaction Value (GTV) gabungan lebih dari 22 miliar dollar AS atau Rp314 triliun.

Gojek dan Tokopedia merger dan membentuk entitas bersama, GoTo. Dokumentasi Gojek.

Sebelum akhirnya berjodoh dengan Tokopedia, PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek) santer dikabarkan akan merger dengan perusahaan transportasi berbasis digital (ride hailing) lainnya, Grab. Namun, rencana penggabungan yang mendapat dorongan dari CEO Soft Bank Mayoshi Son itu harus pupus karena berbagai alasan. 

Salah satunya karena CEO Grab Anthony Tan yang menginginkan kontrol lebih besar dari perusahaan hasil merger nantinya. Selain itu, Gojek dikabarkan meminta porsi saham 40% dari total saham yang dimiliki perusahaan setelah dikawinkan. 

Jajaran direksi GoTo Group

CEO GoTo

Andre Soelistyo dari Gojek
President Go To  Patrick Cao dari Tokopedia
CEO Gojek Kevin Aluwi
CEO Tokopedia William Tanuwijaya

Setelah menemui jalan buntu, Son lantas mengubah haluannya dan mendorong merger antara Gojek dan PT Tokopedia. Dia beranggapan, mergernya dua raksasa startup nasional ini akan lebih mudah dilaksanakan, mengingat persahabatan kedua pendiri perusahaan.

Kolaborasi terbesar

Perkawinan dekakorn dan unikorn ini menjadi kolaborasi terbesar di Indonesia. CEO GoTo Andre Soelistyo bahkan mengklaim merger ini sekaligus yang terbesar antara dua perusahaan internet dan layanan media di Asia sampai saat ini.

Tidak hanya itu, setelah bergabung, GoTo kini menjadi grup teknologi terbesar di Indonesia yang menyediakan berbagai solusi untuk menjalani keseharian. 

Bagaimana tidak? Ke depannya, model bisnis GoTo akan mengombinasikan layanan e-commerce, pengiriman barang, pengiriman makanan, transportasi, dan keuangan. Grup GoTo juga akan menciptakan platform konsumen digital yang melayani sebagian besar kebutuhan konsumsi rumah tangga. 

“Hadirnya Grup GoTo juga akan memungkinkan kami untuk semakin mendorong inklusi keuangan di Indonesia dan Asia Tenggara,” kata Andre di Jakarta, Senin (17/5).

Menanggapi bergabungnya dua raksasa ekonomi digital nasional ini, Pengamat Startup Heru Sutadi mengatakan, hadirnya GoTo akan menjadi game changer di industri digital Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Karena sampai saat ini lini bisnis Gojek telah melebar ke negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam. 

Seorang mitra driver Gojek menyusuri jalan di Jakarta. Foto Reuters/Beawiharta.

Selain itu, konsolidasi ini juga merupakan kebutuhan organisasi untuk menjawab tantangan bisnis yang kian berat dan menantang, terutama kompetisi dan tantangan pandemi. “Karena game changer, ini bisa jadi inspirasi bagi pemain lain untuk melakukan strategi yang sama,” ujar Heru kepada Alinea.id, Minggu (30/5). 

Di sisi lain, dengan adanya GoTo praktis akan membuat persaingan bisnis digital di Indonesia akan semakin mengerucut. Sebab, dalam ekosistem ekonomi digital nasional nantinya hanya akan menyisakan pemain-pemain besar saja, seperti GoTo, Shopee, serta kolaborasi usaha dari Grab, Ovo, dan EMTEK. Dominasi tiga konglomerasi ini akan menyulitkan perusahaan lain untuk berkembang.

"Dampak negatifnya, penguasaan pasar dilakukan oleh tiga grup besar. Perusahaan selain tiga grup ini akan sulit masuk. Karena pemilik modal akan lebih melirik perusahaan yang sudah besar," jelas Kepala Center of Innovation and Digital Economy Indef Nailul Huda, kepada Alinea.id, melalui sambungan telepon, Sabtu (29/5).

Menurutnya, saat ini dominasi beberapa perusahaan yang dikenal sebagai oligopoli sebenarnya sudah terjadi di Indonesia. Di bidang ride hailing, perusahaan digital yang mendominasi adalah Grab dan Gojek. Sedangkan untuk perusahaan e-commerce didominasi oleh Tokopedia dan Shopee.

Pendiri dan CEO Tokopedia William Tanuwijaya berpose di kantor pusat Tokopedia di Jakarta. Foto Reuters/Willy Kurniawan.

Karenanya, untuk mencegah monopoli oleh perusahaan tertentu, Huda meminta agar pemerintah benar-benar melakukan pengawasan ketat terhadap perusahaan-perusahaan startup hasil merger tersebut. Salah satunya dengan menegakkan peraturan yang telah tercantum dalam Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 

“Dengan itu, kalau merger ini malah membawa efek negatif, seharusnya tindakan itu akan dilarang oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),” imbuhnya.

Bukan monopoli

Namun, terlepas dari hal itu, menurut Huda kolaborasi Gojek dengan Tokopedia ini sebenarnya merupakan aksi korporasi biasa untuk saling mengisi dan memperkuat bisnis masing-masing. Sebab, dengan adanya konsolidasi, akan sangat mungkin bagi GoTo untuk menciptakan ekosistem yang paling komplit dan kompleks. 

Selanjutnya, ketika sebuah perusahaan berhasil membentuk ekosistem kompleks dan variatif, dampaknya valuasi ekonominya akan meningkat. “Dengan nilai valuasi yang tinggi dan ekosistem kuat maka fundamental bisnis GoTo juga makin kokoh," jelas Huda.

Kekuatan fundamental inilah yang diperlukan oleh semua perusahaan, termasuk GoTo Group untuk menjamin keberlanjutan bisnisnya dalam jangka panjang. Terlebih, meskipun telah membentuk sebuah super ekosistem, GoTo harus tetap berkompetisi dengan para kompetitornya masing-masing.

Daftar investor blue chip GoTo
1.

Alibaba Group (Daniel Zhang - CEO Alibaba Group/ Taobao China Holdings)

2.

Astra International (Prijono Sugiarto - Ex-CEO Astra Internasional dan Djony Bunarto Tjondro CEO Astra Internasional )

3.

BlackRock (Larry Fink - Chairman dan CEO BlackRock Inc.)

4.

Capital Group (Timothy D. Armour - Chairman dan Chief Executive of Capital Grop, serta Chairman Capital Group Management)

5.

Digital Sky Technology (DST) Global (Yuri Milner - Founder DST Global)

6.

Facebook (Mark Zuckerberg - Founder Facebook Inc)

7.

Google (Sundar Pichai - CEO Google)

8.

JD.com (Richard Liu Qiangdong - Founder and CEO JD.com)

9.

KKR & Co. (Henry Kravis - Founder KKR & Co.)

10.

Northstar (Patrick Waluyo - Co-Founder dan Managing Partner Northstar, pengendali saham Bank Jago)

11. Pasific Century Group (Richard Li - CEO Pasific Century Group)
12.

PayPal (Daniel H. Schulman - CEO PayPal dan Chairman of NortonLifeLock)

13.

Provident Capital (Winato Kartono - Komisaris Utama Provident Agro dan Komisaris Tower Bersama Infrastructure)

14.

Radiant (Richard Li - CEO Pasific Century Group)

15.

Sequoia Capital (Michael Jonathan Moritz - Partner Sequoia Capital)

16.

SoftBank Vision Fund 1 (Mayoshi Son - CEO SoftBank)

17.

Telkomsel (Setyanto Hantoro - Ex-Direktur Utama Telkomsel Indonesia)

18.

Temasek (Ho Ching - CEO Temasek Holding)

19.

Tencent (Ma Hua Teng - CEO Tencent Group)

20.

Visa (Alfred F. Kelly Jr - CEO Visa Inc.)

21.

Warbug Pincus (Charles R. Kaye - CEO Warbug Pincus dan Joseph P. Landy - Co-CEO Warbug Pincus)

Dengan tingkat persaingan yang sangat terbuka tersebut maka kehadiran GoTo tidak serta merta akan menciptakan dominasi pasar atau monopoli. Seperti halnya yang terjadi di China, setelah munculnya Grup Alibaba. Sebaliknya, dengan super ekosistem yang dimilikinya, akan sangat mungkin bagi GoTo untuk menguasai pasar Asean.

Gojek misalnya, masih harus berkompetisi dengan Grab dan aplikator ride-hailing lainnya seperti Bonceng, Anterin, Maxim, dan lainnya. Begitu juga Tokopedia yang saat ini berkompetisi secara ketat di bisnis e-commerce terutama dengan Shopee dan e-commerce besar lainnya seperti Lazada, Bukalapak, JD.ID, dan Blibli.

Apalagi, Huda memprediksi, setelah melakukan penawaran perdana sahamnya ke publik (Initial Public Offering/IPO) nilai valuasi GoTo dapat mencapai US$20 miliar sampai US$25 miliar atau setara Rp284 triliun hingga Rp355 triliun. 

“Kalau untuk Asia saya kira masih sulit, karena sudah ada Alibaba dan Tencent,” ujarnya. 

Masih ada pesaing ketat

Dihubungi terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menjelaskan, meski telah memiliki ekosistem komplit, tak bisa dipungkiri bahwa GoTo masih memiliki pesaing ketat, yakni Shopee. 

Seperti yang telah diketahui, selain sebagai e-commerce, Shopee kini juga merambah lini bisnis di bidang pengantaran makanan (Shopee Food), serta digital wallet dan fintech lending (ShopeePay dan ShopeePay Later). 

Logo Shopee di sebuah mobil. Foto Reuters/Ajeng Dinar Ulfiana.

Bahkan, untuk memperlebar sayapnya di bisnis digital nasional, tidak menutup kemungkinan Shopee menggandeng Grab. "Sebagai penanding dua unikorn ini bersatu," ujarnya, melalui pesan singkat kepada Alinea.id, Minggu (30/5).

Jika hal ini terjadi, posisi GoTo dan perusahaan hasil merger Shopee dan Grab kemungkinan hampir sama. Mengingat Grab dan Shopee juga telah melakukan ekspansi ke hampir seluruh Asia Tenggara.

Selain itu, Sea Limited, perusahaan asal Singapura yang menaungi Shopee, sudah melantai di pasar modal AS sejak akhir 2017. Valuasinya melonjak dari US$4,9 miliar menjadi US$120 miliar. Adapun Grab juga akan masuk ke bursa saham AS melalui perusahaan hasil merger dengan Altimeter Growth, dan menargetkan peningkatan valuasi dari US$14 miliar menjadi US$39,6 miliar.

Di sisi lain, menurut App Annie, jumlah unduhan Grab sudah mencapai 187 juta unduhan. Adapun jumlah unduhan Gojek dalam periode yang sama hanya sebesar 170 juta unduhan. Jumlah mitra pengemudi Gojek juga di bawah Grab, yakni dua juta orang berbanding 2,8 juta orang. 

Untuk e-commerce, jumlah kunjungan bulanan situs Shopee berhasil menyalip Tokopedia dan menjadi yang tertinggi di Indonesia sejak kuartal-IV 2019. E-commerce berwarna oranye itu kini masih memimpin perolehan tersebut dengan 129,3 juta kunjungan per bulan pada Oktober-Desember 2020, melampaui Tokopedia yang sebesar 114,7 juta kunjungan per bulan. 

“Meski begitu, grup GoTo berpotensi menambah angka-angka itu serta mengungguli Grab dan Shopee,” tambah Bhima. 

Selain itu, jika dilihat dari pendanaan, keduanya sama-sama memiliki investor-investor kelas kakap. Sebut saja SoftBank yang merupakan investor utama Grab. Selain menanamkan modalnya di Grab, perusahaan yang digawangi oleh Mayoshi Son itu juga menjadi investor blue-chip di Tokopedia. 

Sementara investor utama Sea Group, Tencent juga menanamkan modalnya di Gojek, meski bukan sebagai investor terbesar. Sebab, investor utama Gojek adalah raja e-commerce asal Cina, Alibaba. 

Dengan melihat hal-hal tersebut, Bhima menilai, nilai valuasi perusahaan hasil merger antara Shopee dan Grab, jika benar-benar terjadi akan lebih besar dibandingkan Go To. Dampaknya kepada perekonomian Indonesia pun akan semakin besar, karena pajak yang disumbangnya praktis akan lebih besar dari GoTo. 

Namun pihaknya khawatir akan adanya kemungkinan duopoli dalam industri digital Tanah Air jika Shopee dan Grab benar-benar dikawinkan. “Karena bisa head to head dengan GoTo. Jadi nanti akan ada dua pemain besar yang menguasai,” katanya. 

Sementara itu, pada lain kesempatan, Kepala OJK Institute Agus Sugiarto mengatakan, dengan adanya merger perusahaan-perusahaan teknologi raksasa itu, praktis akan membawa perubahan pada peta kompetisi. Sebab, jumlah pemain besar akan menjadi dominan, sehingga mampu mengontrol pasar, baik dari sisi harga, kualitas hingga akses pemasaran. 

“Di sinilah peran KPPU. Untuk memastikan bahwa merger ini tak menciptakan monopoli, oligopoli, monopsoni, maupun mengganggu persaingan usaha yang sehat,” katanya kepada Alinea.id, Selasa (25/5).

Selain itu, untuk menjadi perusahaan yang sehat, dia juga meminta agar perusahaan hasil merger dapat mengusung konsep keterbukaan informasi mengenai perusahaan tersebut. Menurutnya, saat ini publik kerap merasa kesulitan untuk melihat kinerja keuangan maupun tata kelola dari perusahaan-perusahaan teknologi raksasa. 

“Karenanya, perusahaan ini perlu kita dorong untuk bisa melantai di Bursa Efek Indonesia dan menjadi perusahaan terbuka. Sehingga investor dan publik bisa melihat kinerja maupun tata kelola perusahaan tersebut,” tegas Agus. 
Infografik perkawinan platform raksasa. Alinea.id/Bagus Priyo.

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan