Menjelang tutup tahun 2024, iklim ekonomi dan investasi masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diperbaiki. Belum ada langkah konkret dari pemerintah untuk menangani masalah yang menghambat penanaman modal. Sektor industri juga mengalami kritis.
Ekonom dan Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Universitas Paramadina, Handi Risza Idris mengatakan terdapat inefisiensi dalam iklim investasi yang memengaruhi daya saing ekonomi nasional.
Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia tercatat tinggi, masih di atas 6% menjadi indikator utama dari ketidakefisienan investasi. ICOR, yang mengukur efisiensi modal dalam menghasilkan output ekonomi, harus berada pada angka 3% hingga 4% untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%, seperti yang dibidik oleh Prabowo.
Dengan ICOR yang tinggi, biaya ekonomi Indonesia untuk mencapai pertumbuhan yang diinginkan menjadi sangat besar, bahkan dibandingkan dengan negara-negara ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) lainnya yang berhasil menurunkan ICOR ke level yang jauh lebih rendah.
Lebih jauh, dia mengidentifikasi terdapat empat masalah utama yang menghambat investasi di Indonesia sehingga berdampak terhadap inefisiensi ekonomi. Yakni, proses perizinan yang masih rumit dan birokrasi lamban; infrastruktur tidak merata, terutama yang menghubungkan daerah penghasil bahan baku dengan pusat produksi; tumpang tindih regulasi antara pusat dan daerah; serta tingginya tingkat korupsi, terutama dalam pengurusan perizinan dan proyek-proyek besar.
“ICOR ini terkait dengan persoalan-persoalan yang menyebabkan terjadinya inefisiensi dari investasi kita. Di antaranya adalah faktor perizinan. Ini masih belum terselesaikan, ya. Persoalan perizinan juga masih rumit di Indonesia ini," ujar Handi, baru-baru ini.
Padahal, kata Handi, Indonesia membutuhkan investasi jumbo sebesar Rp13.528 triliun dalam lima tahun mendatang untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 8%. Investasi tahunan harus tumbuh antara 11% hingga 19%, jauh di atas rata-rata saat ini yang hanya sekitar 5% hingga 6% per tahun.
"Pemerintah harus bisa menciptakan kebijakan yang lebih ramah investasi, meningkatkan transparansi birokrasi, dan memperbaiki infrastruktur guna mendorong lebih banyak investasi masuk ke Indonesia," kata Handi.
Sementara berdasarkan data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi Indonesia pada kuartal III-2024 mencapai Rp1.261,43 triliun, yang mencakup 76,45% dari target investasi nasional sebesar Rp1.650 triliun untuk tahun ini. Peningkatan ini didorong oleh sektor industri pengolahan yang menyerap investasi terbesar, sekitar 64,1% dari total investasi.
"Meskipun ada peningkatan dalam investasi, tanpa perbaikan mendalam pada kebijakan dan efisiensi investasi, target pertumbuhan ekonomi yang ambisius tetap sulit tercapai," ujar Handi.
Industri tumbuh rendah
Di sisi lain, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini mengatakan sektor industri tumbuh rendah. Dalam beberapa tahun hanya mampu meningkat sekitar 3% hingga 4%.
Menurutnya, sektor industri telah terjebak ke dalam proses deindustrialisasi dini. "Jebakan ini harus diterobos dengan re-industrialisasi berbasis sumber daya alam Indonesia yang kaya, bersaing dan memenangkan pasar internasional yang luas dan otomatis berjaya di pasar domestik," katanya.
Dengan laju pertumbuhan industri yang mini, dia bilang, ekonomi tidak akan naik tinggi. Dia memprediksi tingkat pertumbuhan tahun ini dan prediksi tahun depan akan stagnan 5%.
Alasannya, selama ini tidak ada strategi kebijakan yang berhasil melepaskan sektor industri dari jebakan deindustrialisasi dini. "PMI (Indeks Manajer Pembelian atau Purchasing Managers Index) sektor tersebar di dalam kue ekonomi ini terus menurun dan jatuh di bawah 50%. Dengan sektor industri yang diabaikan tanpa kebijakan berarti seperti ini, apakah layak kita berharap tumbuh 8%?" katanya.