Gali lubang tutup lubang. Strategi itulah yang diterapkan oleh pemerintah untuk menambal belanja yang semakin menggunung akibat pandemi Covid-19.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu mengakui penyelesaian utang pemerintah tidak akan dapat dirampungkan dalam waktu satu tahun. Pasalnya, di tengah pagebluk yang berawal dari krisis kesehatan, telah berdampak luas kepada kondisi sosial dan ekonomi nasional. Akibatnya, demi menyelamatkan perekonomian masyarakat, pemerintah harus menggelontorkan berbagai stimulus.
Bantuan langsung tunai (BLT), diberikannya stimulus di bidang kesehatan, serta insentif perpajakan bagi UMKM, dunia usaha, dan korporasi telah membuat belanja pemerintah membengkak. Sementara, penerimaan negara semakin tertekan karena aktivitas ekonomi yang tersendat. Utang pemerintah pun terus bertambah, yang membuat defisit anggaran melebar hingga 6,34% atau setara Rp 1.039,2 triliun dari produk domestik bruto (PDB).
"Tentang utang, kami punya tantangan ini tidak mungkin selesai satu tahun. Budget deficit kita enggak pernah 6,34% seumur hidup saya. Terakhir kita budget deficit gede banget tahun 1960-an, saat oil crisis," katanya dalam video conference, Kamis (1/10).
Jaga disiplin fiskal
Febrio menguraikan, defisit anggaran selama ini selalu dijaga di ambang batas maksimum sebesar 3% dari PDB sesuai Undang-Undang (UU) 17/2003 tentang Keuangan Negara. Bahkan defisit anggaran 2019 hanya sebesar 2,2% dari PDB dan 2018 defisit sebesar 1,81% dari PDB.
Untuk tahun ini, defisit terpaksa ditingkatkan hingga ke level 6,34% karena besarnya kebutuhan dana penanganan pandemi, yang diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres) 72/2020.
Meski demikian, dia mengatakan bahwa disiplin fiskal Indonesia masih terjaga dan cukup baik dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya di dunia. Sebelum adanya pandemi Covid-19, rasio utang pemerintah masih berada di kisaran 30% dari PDB, sementara negara lain mencapai 50%.
Ketika pandemi melanda, Indonesia hanya menambah rasio utang menjadi kisaran 39% hingga 40%, sementara negara berkembang lainnya meningkatkan rasio utangnya hingga 60% dari PDB.
Menurutnya, menjaga disiplin fiskal tersebut penting untuk memberikan kepercayaan kepada publik dan lembaga internasional. Pasalnya, lebih dari 80% utang pemerintah diterima dalam bentuk penerbitan surat utang negara (SUN) yang dapat dijual sewaktu-waktu.
"Jadi kredibilitas fiskal bukan main-main, harus dijaga hati-hati karena kami dapat utang dalam bentuk surat utang yang kapanpun bisa orang jual. Itu pentingnya kredibilitas fiskal, pentingnya risiko kami komunikasikan dengan baik ke pemegang surat utang, dan lembaga pemeringkat," ujarnya.
Oleh karena itu, sambungnya, menjaga kebijakan fiskal tetap berada pada jalur yang benar dan tepat akan memengaruhi sentimen dari para pemegang surat utang negara terhadap risiko fiskal nasional.
Karena itu, lanjutnya, lembaga pemeringkat utang Fitch mempertahankan peringkat utang Indonesia atau sovereign credit rating pada peringkat BBB atau layak investasi dengan outlook yang stabil pada Agustus, lalu.
"Secara reguler Moody's Investor Service dan Fitch memantau risiko kita. Kalau amburadul, bukan hal baik. Kita ingin menjaga ekonom stabil, salah satunya adalah budget secara makro fiskal harus disiplin. Risiko harus dihitung, dijaga jangan sampai salah langkah," ucapnya.