Siap-siap! Ancaman taper tantrum datang lagi
Belum usai perjuangan Indonesia keluar dari jurang resesi, ancaman lain datang dari negeri Amerika Serikat. Ekonomi negeri Paman Sam yang mulai pulih ditengarai dapat memberikan tekanan kepada nilai tukar rupiah. Belum lagi dampaknya bagi pasar saham dan obligasi hingga banyaknya modal asing yang keluar dari Tanah Air.
Namun, bukankah seharusnya pemulihan ekonomi AS justru dapat memberikan keuntungan bagi Indonesia?
Meningkatnya ekonomi AS yang lebih cepat memang akan memberikan keuntungan tersendiri, khususnya di bidang ekspor. Apalagi, Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor terbesar kedua Indonesia.
“Tapi ada juga dampak negatif yang lebih besar yang sedang membayangi kita, yaitu taper tantrum,” ungkap Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEBU UI) Teuku Riefky, saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (23/6).
Dia menjelaskan, taper tantrum akan terjadi ketika Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) mengurangi nilai pembelian aset negara, seperti obligasi treasury. Hal ini dilakukan dalam rangka pengetatan kebijakan moneter atau tapering off. Setelah sebelumnya The Fed memberikan banyak stimulus berupa program pelonggaran kuantitatif (Quantitative Easing/QE) untuk membantu pemulihan ekonominya.
QE sendiri dilakukan bank sentral AS dengan membeli obligasi dan surat berharga lainnya dalam jumlah besar. Hal ini selain untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, juga dilakukan guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Plus, mendorong pinjaman atau kredit yang diharapkan dapat meningkatkan konsumsi masyarakat.
“Bayangkan kalau misalnya seseorang sedang krisis dan dia kelaparan, pemerintah US memberikan banyak makanan secara gratis. Saat orang sudah tidak kelaparan, jumlah makanan akan dikurangi agar tidak kelebihan nutrisi,” kata dia.
Selain karena perekonomian yang sudah menunjukkan tanda-tanda pemulihan, Riefky menduga tapering off akan dilakukan The Fed karena tingkat inflasi AS sudah sangat tinggi. Laju inflasi harga utama di AS tercatat naik 5% (year on year), tertinggi dalam 13 tahun terakhir. Di sisi lain, penyaluran kredit juga cukup masif.
“Kalau kondisi perekonomian sudah normal dan stimulus tidak diketatkan, ini akan menjadi bubble. Karena kredit akan terlalu masif. Sehingga nanti justru malah akan menjadi kredit bubble (peningkatan kredit secara cepat-red),” imbuhnya.
Namun, jika tapering off dilakukan, praktis akan membuat modal asing yang berada di negara-negara berkembang akan berbondong-bondong kembali ke AS. Sebab, dengan membaiknya perekonomian Negeri Paman Sam itu akan selalu disertai dengan naiknya inflasi dan imbal hasil atau yield obligasi pemerintah AS.
Dengan demikian, jelas investor surat berharga akan lebih memilih masuk ke pasar uang AS. Sebaliknya, pasar uang negara berkembang, termasuk Indonesia akan kehilangan modal asing yang cukup besar atau kerap disebut peningkatan capital outflow (arus keluar modal asing).
Hal ini tak lepas dari dominasi kepemilikan asing pada surat berharga di negara-negara berkembang. Lebih lanjut, tingginya arus modal asing keluar inilah yang kemudian menyebabkan nilai tukar mata uang di negara berkembang akan mengalami tekanan atau depresiasi, termasuk rupiah.
Meski begitu, akademisi UI itu yakin, depresiasi yang akan dialami rupiah apabila The Fed melakukan tapering off kali ini tidak akan sedalam tahun 2013.
“Beda dengan sekarang. Agar tidak menimbulkan ketidakstabilan di negara berkembang, saya rasa mereka akan melakukan perlahan,” prediksinya.
Anjlok sangat dalam
Pada 2013 lalu The Fed pernah melakukan kebijakan tapering off. Pada saat itu, Ketua Federal Reserve Ben Bernanke mengumumkan bahwa The Fed akan mengurangi volume pembelian obligasinya.
Seperti halnya penurunan permintaan, pengurangan pembelian obligasi oleh bank sentral AS membuat harga surat berharga itu turun. Agar harga obligasi tidak semakin rendah, investor pun berbondong-bondong menjual surat berharga mereka. Langkah ini praktis membuat harga obligasi semakin tertekan.
Di sisi lain, penurunan harga obligasi selalu berarti imbal hasil yang diberikan akan lebih tinggi. Imbal hasil Treasury AS pun melonjak. Hal itulah yang kemudian membuat banyak investor keluar dari pasar obligasi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Kondisi ini berdampak pula pada pelemahan rupiah hingga 26% sepanjang 2013.
Riefky belum bisa memperkirakan akan seberapa dalam depresiasi yang mungkin dialami Rupiah, ketika The Fed menerapkan kebijakan moneternya nanti. “Kita baru bisa lihat nanti ketika The Fed sudah melakukan tapering off,” ujar dia.
Selain melemahnya Rupiah kala itu, pada Juli 2013, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga anjlok sangat dalam. IHSG jatuh lebih dari 20%, atau sudah memasuki fase bearish (turun). Keinginan the Fed mengurangi stimulus telah membuat dana asing yang parkir di Indonesia ramai-ramai keluar dari Indonesia.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), sepanjang tahun 2013 saat itu, investor asing yang mencatatkan net sell asing di pasar saham mencapai Rp15,29 triliun. Nilai itu hampir sama dengan nilai dana asing yang masuk tahun 2012, sebesar Rp15,2 triliun.
Direktur Panin Asset Management Rudiyanto menjelaskan, dengan adanya kenaikan imbal hasil obligasi Treasury praktis akan membuat negara-negara emerging market kesulitan. Hal ini terjadi karena investor khawatir bakal terjadi taper tantrum. Akibatnya, banyak investor menjual aset mereka.
“Karena ada aliran uang keluar, akan menyebabkan fluktuasi pasar. Secara risk and return, ini juga akan berdampak pada reksa dana saham,” kata dia, kepada Alinea.id, Senin (21/6).
Gejolak di pasar saham ini juga terasa pada reksa dana pendapatan tetap dan campuran. Begitu juga reksa dana saham offshore akan tetap mengalami gejolak selayaknya saham dan obligasi di Indonesia. Meski begitu, menurut Rudiyanto, dampak taper tantrum hanya akan terjadi pada fluktuasi harga instrumen investasi tersebut.
Bahkan, jika lonjakan kasus Covid-19 dapat dikendalikan di semester-II 2020, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih punya peluang untuk naik ke level 6.700-6.800 di akhir tahun.
Lebih kuat dibanding 2013
Menurut Chief Investment Officer Mandiri Manajemen Investasi Ali Yahdin Saugi, meskipun The Fed menerapkan tapering off, pasar keuangan RI tidak akan mengalami guncangan sebesar sebelumnya. Sebab, saat ini fundamental ekonomi Indonesia sudah jauh lebih kuat.
Hal itu terlihat dari besarnya cadangan devisa BI, rendahnya inflasi, dan tipisnya porsi kepemilikan investor asing di surat berharga negara (SBN). Selain itu, likuiditas di dalam negeri juga cukup kuat akibat stimulus yang digelontorkan pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Di sisi lain, selisih (spread) antara yield surat berharga negara (SBN) dan US Treasury Bond 10 tahun saat ini pun cukup lebar. Saat ini, yield SBN tenor 10 tahun berada di level 6,5-6,77%.
"Dengan spread selebar itu, ada kemungkinan yield SBN turun," kata dia, beberapa waktu lalu.
Bulan | Suku bunga The Fed | Imbal hasil (yield) obligasi Indonesia |
Januari | 0,09% | 5,195% |
Februari | 0,08% | 5,707% |
Maret | 0,07% | 5,971% |
April | 0,07% | 5,673% |
Mei | 0,06% | 5,525% |
Juni | - | 5,412% |
Kondisi lain yang membedakan Indonesia saat ini dengan 2013 adalah cadangan devisa yang jauh lebih besar. Hingga Mei 2021, tercatat cadangan devisa mencapai US$ 136,39 miliar. Kemudian, kepemilikan asing di pasar obligasi Indonesia juga mengecil dibandingkan 2013 menjadi hanya 24,9%.
"Sejauh ini juga belum terjadi crowding out di market. Di equity pun masih terjadi net inflow yang menunjukkan masih tingginya kepercayaan investor asing," ujar dia.
Di sisi lain, Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu) Deni Ridwan mengakui, sejak adanya kabar tapering off dan kenaikan yield obligasi AS, pasar keuangan domestik menjadi tertekan. Akibatnya, yield SBN ikut naik dan memengaruhi penurunan kepemilikan asing.
“Market masih wait and see, terutama investor asing. Mereka menunggu statement lebih tegas dari otoritas di AS terkait ekspektasi inflasi dan kenaikan yield US Tresuary," ujar dia, kepada Alinea.id, Selasa (22/6).
Di sisi lain, Gubernur BI Perry Warjiyo memperkirakan tapering off baru akan dilakukan The Fed pada kuartal-I 2022. Sehingga, taper tantrum tidak akan segera dirasakan Indonesia.
Meski begitu, untuk mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi di kemudian hari, Bank Sentral bersama KSSK telah menyiapkan langkah-langkah khusus. Selain itu, BI juga akan terus menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan berkoordinasi dengan pemerintah agar pengaruhnya ke yield SBN tetap dalam batas-batas yang normal.
Menurut bos bank sentral, langkah ini terbukti ampuh untuk mengatasi dampak gejolak pasar keuangan global. Seperti yang telah terjadi pada periode awal pandemi Covid-19. Saat itu, imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun, sempat melonjak hingga ke posisi 1,9% dan menyebabkan capital outflow senilai US$12 miliar dari Indonesia.
"Ingat kita telah melalui episode-episode global spillover yang tentu saja dari waktu ke waktu sejak krisis global 97-98, taper tantrum 2013 yang skalanya lebih besar dan terakhir pada saat puncak pandemi," ucap Perry.
Sementara itu, menurut Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, sampai sejauh ini pemerintah telah melakukan beberapa langkah untuk mengantisipasi dampak tapering off The Fed.
Beberapa diantaranya adalah dengan terus berusaha mengendalikan penyebaran virus SARS-CoV-2 di Tanah Air, dan juga terus memberikan bantuan, baik untuk masyarakat dan dunia usaha.
“Yang terpenting adalah menjaga ekonomi tumbuh dan covid terkendali karena ujung-ujungnya sektor riil yang diperhatikan investor. Kalau ada efek, hanya sentimen negatif yang sifatnya temporer,” urainya, kepada Alinea.id, Rabu (23/6).
Di saat yang sama, BI juga telah berupaya untuk menjaga suku bunga acuan yang tetap rendah, yakni di level 3,5%, memberikan injeksi likuiditas dan melakukan intervensi di pasar valas (valuta asing).
“Yield obligasi 10 tahun Indonesia masih tinggi di 6,58% dibanding AS yang sebesar 1,43%,” ujar Iskandar.
Di sisi lain, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menyarankan, untuk meminimalisir dampak tapering off The Fed, BI perlu menebalkan cadangan devisanya. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah juga perlu memperkuat sektor riil. Sebab, sektor riil lah yang selama ini menjadi salah satu tumpuan terbesar ekonomi Indonesia
“Dalam ranah kebijakan, Kemenkeu ini saya rasa walau tidak berdampak langsung, dia bisa mengoptimalisasi stimulus-stimulus yang sudah diberikan sejauh ini,” katanya.