Pemerintah mendorong industri untuk melakukan perekrutan tenaga kerja berdasarkan kompetensi yang dimilikinya, bukan berdasarkan sekolah formal. Untuk itu, pemerintah mencanangkan proses sertifikasi tenaga kerja.
Kasubdit Hubungan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Sumondang menjelaskan sertifikasi tersebut akan menjadi satu penanda atau portofolio bagi Sumber Daya Manusia (SDM) bahwa mereka memiliki satu keahlian di bidang tertentu.
"Makanya ke depan itu semua pekerja bersertifikasi. Walaupun dia pendidikannya SMP kalau mampu memiliki keahlian dan bersertifikasi yang lebih dari pendidikannya lebih tinggi, kenapa tidak," katanya di Kawasan Kuningan, Jakarta, Kamis (24/10).
Dia melanjutkan, ke depan tingkat kompetensi seseorang akan menjadi penentu dari tingkat upah yang harus diterima. Dan akan meningkatkan posisi tawarnya ketika dihadapkan pada penawaran gaji.
"Dengan mempunyai kompetensi, dia sudah mempunyai daya tawar lebih tinggi untuk mendapatkan penghasilan dan kesejahteraan yang lebih bagus," ucapnya.
Namun dia mengatakan, program sertifikasi tersebut belum bersifat wajib untuk diikuti semua sektor industri, baru sebatas imbauan. Akan tetapi ke depan, katanya, hal tersebut akan menjadi satu standar untuk melakukan perekrutan karyawan.
Di samping itu, pemerintah juga mencanangkan pembentukan 1.000 balai latihan kerja (BLK) untuk meningkatkan keterampilan angkatan muda Indonesia agar dapat terserap ke dunia industri.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana mengatakan selama ini lulusan sekolah formal belum dapat memenuhi kebutuhan dunia industri. Untuk itu dibutuhkan pelatihan singkat bagi lulusan sekolah formal agar memiliki keterampilan yang memadai.
Pelatihan ini, lanjutnya, biasanya menjadi wewenang dari perusahaan sebagai wadah yang membutuhkan tenaga kerja dengan keterampilan yang diharapkan.
"Sekolah formal selalu tidak dapat memenuhi kebutuhan industri. Maka masuklah ke short course di dalam korporasi sehingga mereka memiliki tambahan keahlian," ujarnya.
Hanya saja, tambahnya, di Indonesia pelatihan singkat untuk tambahan keahlian bagi lulusan formal tersebut tidak ada, sehingga menciptakan jurang antara lulusan sekolah formal dengan kebutuhan tenaga kerja industri.
"Karena sekolah formal tidak akan langsung membuat anda jago marketing dan acounting, sekolah itu hanya mendewasakan orang menjadi manusia. Tidak tiba-tiba punya keahlian atau skill," jelasnya.
Dengan demikian, ujarnya, dibutuhkan peran serta pemerintah untuk menjembatani antara lulusan sekolah formal tersebut dengan kebutuhan dunia industri. Oleh karena itu, dia pun mengapresiasi langkah pemerintah dengan program vokasinya.
"Pemerintah bagus saat ini memberikan insentif ke perusahaan yang memberikan vokasi dengan super deduction tax dan insentif lainnya. Maka itu dapat menjembatani apa yang disebut gap tadi," terangnya.
Namun dia memberi catatan, BLK yang dijalankan pemerintah, sebagai wadah untuk mencetak SDM berkualitas, selama ini masih terjebak dalam praktik yang konvensional. Tidak mengikuti perkembangan zaman.
"Sekarang bagaimana dikemas menghasilkan agar mereka menguasai hal-hal baru untuk menyambut revolusi industri 4.0," katanya.
Dia melihat BLK masih berkutat pada pemberian pelatihan mengenai jahit-menjahit dan otomotif. Belum masuk ke penguasaan teknologi digital. Padahal, ucapnya, peningkatan keterampilan di dunia digital inilah yang penting di era digital ini.
"Kita mendorong teman-teman di Kemenaker yang mengelola BLK bertransformasi dari konvensional ke digital. Bukan lagi menjahit atau otomotif. Tapi yang lebih milenial," ucapnya.
Dia pun menuturkan, ada kesalahan logika pemerintah mengenai fungsi dari BLK. Dia mengatakan, BLK bukanlah sebagai wadah pemasok lapangan kerja bagi dunia industri, tapi lebih kepada mitra kerja.
"Tujuannya bukan secara otomatis dunia industri menyerap lulusan BLK, tetapi bermitra. Jangan sampai memformat BLK menjadi penyuplai tenaga kerja. Kalau Kemenaker tidak sensitif, kita akan menghadapi konvensionalitas berpikir tentang eksistensi BLK," tuturnya.