Perbankan bersiasat menurunkan rasio kredit bermasalah atau NPL. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat rasio NPL gross perbankan pada September 2024 mencapai 2,21% atau hanya turun tipis dari posisi Agustus 2024 yang sebesar 2,26%.
Sejumlah bank mencatat penurunan NPL. Salah satunya, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) yang menurunkan NPL menjadi 2,90% per September 2024 dari periode yang sama tahun sebelumnya yang berada di posisi 3,07%. Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan tingkat kelancaran para debitur yang menurun atau downgrade juga telah berkurang.
"Secara kuartalan atau quarter on quarter (qoq), jumlah kredit yang downgrade menjadi "kurang lancar" dan "macet" berkurang sekitar Rp750 miliar," kata Sunarso, dikutip Rabu (13/11).
Dia mengatakan ada beberapa cara yang ditempuh BRI dalam menurunkan tingkat NPL dan downgrade portfolio kredit. Yakni, di front end atau bagian pemasaran ditekankan untuk tetap menumbuhkan kredit namun selektif. Risk acceptance kriteria dan proses underwriting juga diperketat dengan menerapkan prinsip-prinsip corporate governance.
Kemudian di bagian mid end, portofolio kredit yang sudah di dalam neraca BRI dipersiapkan agar kualitas kreditnya terjaga.
"Caranya, dengan memperkuat monitoring, meningkatkan risk awareness. Selain itu, secara periodik bank yang fokus pada pembiayaan UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) itu melakukan stress testing guna mengetahui arah gejolak dari portolio kreditnya," tuturnya.
Lalu pada back end, yakni pada portfolio kredit macet yang sudah tak bisa diselamatkan, akan dilakukan restrukturisasi.
"Kalau sudah tidak bisa dijaga, tetap jatuh, diapakan? Hal itu di back end yang mengerjakan. Kemudian kami lakukan restrukrisasi, bahkan jika diperlukan kami lakukan early restrukturisasi," tutur Sunarso.
Jika kredit yang sudah direstrukturisasi masih belum terpenuhi, ia mengatakan BRI akan melakukan proses recovery.
"Hal ini sudah menjadi bisnis model di segmen mikro. Jadi di front end memang harus agresif mencari muatan dan kemudian muatan itu dipilah, ada yang bisa ditahan dalam keadaan sehat, dan itu tugasnya mid end," kata Sunarso.
"Tapi kemudian kalau yang enggak sehat dilempar ke belakang, di bagian back end, dan back end itu memang biasa melakukan restrukturisasi, kalau masih bisa punya harapan, dan kalau sudah tidak bisa diapakan-apakan lagi ya di-write off”, ujarnya.
Write off atau hapus buku kredit macet bakal dilakukan, namun penagihan tetap dilakukan. Sunarso bilang hasil dari penagihan itu adalah pendapatan dari recovery. "Karena sebenarnya, itu uang yang sudah kami cadangkan dan tarik balik. Makanya dalam bentuk pendapatan dari recovery. Jadi bisnis model ini yang perlu dipahami oleh semua stakeholder," ujarnya.