close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.
Bisnis
Minggu, 09 April 2023 17:10

Siasat daging impor yang bikin gempor

Masuknya daging impor untuk mengendalikan kenaikan harga justru membuat daging sapi lokal kalah saing.
swipe

Seperti halnya tahun-tahun kemarin, Ramadan tahun ini juga diwarnai lonjakan harga beberapa komoditas. Tak terkecuali daging sapi yang dijual pada kisaran Rp145.000 di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur. Harga jenis daging sapi has (paha belakang) ini naik dari sebelumnya Rp120.000 pada Senin (13/3). 

Sementara itu, daging sapi murni sejak akhir Maret lalu hingga kemarin masih bertahan di harga Rp130.000. Jika dibandingkan Senin (13/3), harga daging yang biasa digunakan untuk membuat semur itu mengalami kenaikan sekitar Rp15.000 per kg.

“Ini belum sepenuhnya naik. Sampai mendekati Lebaran, bisa naik lagi Rp10.000-Rp20.000 per kg,” nilai salah seorang pedagang daging di Pasar Kramat Jati Taufik (58), kepada Alinea.id, Kamis (6/4).

Dus, harga daging sapi has menjelang lebaran bisa mencapai Rp160.000 atau lebih dan daging sapi murni di kisaran Rp150.000 menjelang Idul Fitri 1444 Hijriah.

Bagi Taufik, kenaikan harga daging menjelang Ramadan dan Lebaran sudah seperti agenda tahunan. Karenanya, meski harga seluruh jenis daging melonjak, masih banyak konsumen yang mencari daging lembu untuk memenuhi konsumsi rumah tangganya. Lagi pula, jika dibanding tahun sebelumnya, harga daging sapi di tahun ini tak berbeda jauh, yakni masih di kisaran Rp140.000-Rp150.000.

“Banyak orang (pembeli) yang protes, tapi tetap saja beli,” imbuhnya.

Sementara itu, berdasar data Outlook Komoditas Daging Sapi dan Kerbau 2022 yang dirilis Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian, perkembangan harga daging sapi di tingkat konsumen sejak 2018 hingga 2022 cenderung terus meningkat, tingkat kenaikan tahunannya (compounded annual growth rate/CAGR) sebesar 3,12%. Dengan peningkatan tertinggi terjadi pada tahun lalu, yakni mencapai 6,61% dan harga daging sapi menjadi Rp134.960 per kg. Padahal, di tahun 2021 harga daging lembu masih di level Rp126.596 per kg.

Pakar Peternakan dari Universitas Padjajaran (Unpad) Rochadi Tawaf mengungkap, alasan kenaikan harga ini jelas, yakni adanya kesenjangan atau gap antara pertumbuhan produksi sapi (supply) dan permintaan (demand) yang kian lebar. Pada tahun 2022 misalnya, produksi daging sapi menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 498.923,14 ton, meningkat 2,28% dari tahun sebelumnya yang sebanyak 487.802,21 ton. Sedangkan produksi daging kerbau pada periode yang sama mencapai 21.120,15 ton, naik 11,50% dari produksi di 2021 yang sebanyak 18.941,73 ton.

Ilustrasi Pixabay.com.

“Produksinya memang naik, tapi konsumsi daging kita juga terus tumbuh setiap tahunnya. Hanya ketika Pandemi Covid-19 saja agak turun, tapi sekarang kembali lagi,” jelasnya, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (6/4).

Perlu diketahui, laju konsumsi per kapita daging sapi di Indonesia pada tahun 2022 meningkat 4,28% dibanding 2021. Di mana setahun lalu, konsumsi per kapita daging sapi ialah sebesar 2,46 kg/kapita/tahun, menjadi 2,62 kg/kapita/tahun pada 2022.

Fenomena lonjakan harga memang biasa terjadi menjelang hari-hari besar keagamaan dan hari raya nasional, seperti saat Natal dan ketika Ramadan sampai Lebaran usai. Namun realitanya, setelah melonjak, harga daging tidak pernah lagi kembali ke posisi awal, yang ada justru menetap di harga barunya. 

“Dan hal ini sudah terjadi berulang kali sejak 10 bahkan 20 tahun lalu,” kata Rochadi.

Solusi impor

Sejak dua dekade lalu, ketika lonjakan harga daging sapi terjadi, impor selalu menjadi jalan keluar pemerintah untuk menstabilkan harga atau sekadar menjaga agar kenaikan tidak terlampau tinggi. Imbasnya, daging beku baik sapi maupun kerbau asal India, Australia, Selandia Baru, hingga Spanyol pun membanjiri pasar nasional.

Importasi daging sapi sendiri telah dilakukan sejak ratusan tahun lalu, pertama kali dilakukan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1917 lalu dan mulai masif di tahun 1.900-an hingga awal 2.000-an. Akan tetapi, sejak 2016, negara asal impor daging semakin beragam, angkanya pun kian meningkat.

Dari catatan BPS, pada 2016 Indonesia mengimpor daging sejenis lembu -terdiri dari impor daging lembu dan sejenis lembu termasuk kerbau, sebanyak 146 ribu ton, lalu meningkat pada tahun 2017 menjadi 160,19 ribu ton. Kemudian pada 2018, angkanya naik hingga 262,25 ribu ton dan 266,43 ribu ton pada 2019. Pada tahun 2020, volume impor daging sejenis lembu sempat turun hingga 223,42 ribu ton, namun kembali naik di tahun 2021 menjadi 273,53 ribu ton. Sementara pada 2022 sampai periode September, impor daging sapi dan kerbau ke tanah air telah mencapai 227,26 ribu ton, dengan nilai sebesar US$829,61 juta.

Volume dan nilai impor daging sapi Indonesia

Tahun

Volume 

Nilai 

2012

33,45 ribu ton

US$139,21 juta

2013

45,5 ribu ton

US$211,23 juta

2014

74,65 ribu ton

US$346,81 juta

2015

48,22 ribu ton

US$226,51 juta

2016

114,47 ribu ton

US$481,37 juta

2017

115,78 ribu ton

US$466,86 juta

2018

160,65 ribu ton

US$600,82 juta

2019

197,35 ribu ton

US$690,25 juta

2020

167,13 ribu ton

US$586,99 juta

2021

211,43 ribu ton

US$785,15 juta

Sumber: BPS

Sementara berdasar data Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), volume impor daging kerbau saja pada 2016 sebanyak 39.000 ton dan di 2017 sebanyak 54.000 ton. Setahun setelahnya, impor menjadi 79.630 ton. Kemudian, pada 2019 dan 2020 realisasinya sebesar 100 ribu ton dan 170 ribu ton. Pada 2021, realisasi importasi daging kerbau turun di level 80.000 ton namun kembali naik di angka 100 ribu ton pada tahun lalu.

“Dengan kondisi ini, seharusnya kan harga daging sapi bisa turun. Tapi ternyata kan enggak. Justru sebaliknya, daging sapi sama kerbau impor malah ikut naik. Kan ini lucu. Berarti ada yang tidak beres di salah satu bagian rantai pasoknya,” nilai Rochadi.

Tidak hanya itu, dengan masuknya kembali wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) ke Indonesia, seharusnya dapat menyumbang lebih banyak daging ke produksi daging nasional. Sebab, untuk mencegah kerugian lebih besar karena kematian ternak, banyak peternak khususnya di skala industri memotong ternak yang mereka miliki.

Namun yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah justru kembali membuka kembali keran impor daging sapi dan kerbau dengan volume masing-masing 100 ribu ton. Dengan penugasan impor daging kerbau kepada Perum Bulog dan daging sapi kepada ID Food.

“Kalau kerbau sekarang sudah mulai datang, dan sebelum Idul Fitri InsyaAllah akan bertambah, sehingga mendekati 20 ribu ton,” beber Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Iqbal Awaludin, melalui pesan singkat, kepada Alinea.id, Jumat (7/4).

Guna memenuhi tujuannya dalam rangka menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan, daging sapi dan kerbau impor dalam bentuk beku ini akan didistribusikan dengan harga kurang lebih Rp110.000 dan Rp80.000 per kg. Sesuai dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 96 Tahun 2018 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen.

Sayangnya, penetapan harga acuan ini tidak diimplementasikan di pasaran. Daging sapi maupun kerbau impor memang masih lebih murah ketimbang daging sapi dan kerbau lokal, namun kenyataannya ketika harga daging terbang tinggi, daging-daging impor juga ikut melambung.

“Karena harganya yang lebih murah ini lah kemudian masyarakat juga lebih banyak konsumsi daging impor. Ini juga yang bikin impor terus jalan. Tapi kan siapa coba yang tidak doyan daging segar (lokal)? Industri (kuliner) juga masih banyak yang butuh daging segar,” ungkapnya.

Ilustrasi Pixabay.com.

Kemudian, dengan meningkatnya konsumsi dan permintaan daging impor yang harganya relatif lebih murah ini praktis membuat konsumsi dan permintaan daging lokal kian tertekan. Terlebih pada momen Ramadan dan Lebaran seperti sekarang, banyak pedagang daging lokal yang menaikkan harga untuk menutupi kosongnya permintaan atau konsumsi jeroan daging. Hal inilah yang menjadi musabab tingginya harga daging kala Hari Raya tiba.

Sementara itu, kenaikan harga daging impor baik sapi maupun kerbau diamini salah seorang pedagang di Pasar Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara Rizqie. Menurutnya, ketika daging sapi has di Pasar Pluit dipatok dengan harga Rp160.000 per kg pada Kamis (6/4) kemarin, harga daging sapi impor masih di kisaran Rp130.000, sedang daging kerbau India masih di level Rp120.000-Rp130.000.

“Ini juga udah naik dari sebelum puasa. Daging sapi Rp120.000-an, kerbau Rp110.000-an sekilonya,” ungkap dia, kepada Alinea.id.

Harga daging impor memang ikut melambung, namun tetap saja Rizkie tak bisa mendulang banyak untung. Pasalnya, harga daging dari distributor yang dalam hal ini menjadi pemanjangan tangan dari Bulog untuk menyalurkan daging sapi dari Brasil dan kerbau asal India sudah terlebih dulu menaikkan harga jualnya kepada para pedagang di pasar-pasar tradisional maupun pasar modern.

“Paling sekilo cuma untung Rp5.000 sampai Rp10.000. Nggak banyak. Malah kalau pas harga lagi tinggi-tingginya, lebih dikit lagi. Soalnya saya udah enggak bisa naikin harga lagi,” keluhnya.

Peran pemerintah minim

Sama halnya dengan pedagang daging 43 tahun itu, Sekretaris Umum Induk Koperasi Pasar (Inkoppas) Ngadiran juga mengeluhkan harga tinggi yang dipatok para distributor daging impor. Peran distributor yang terlalu kuat menurutnya justru membuat para pedagang daging terutama di pasar-pasar basah semakin tertekan. Apalagi para peternak sapi lokal.

“Karena dalam impor daging ini peran/dominasi importir terlalu kuat. Mereka menguasai barang dan mengatur harga. Makanya harga daging impor juga ikut tinggi ketika harga daging lokal naik,” bebernya, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (5/4).

Dengan ini, Ngadiran lantas melihat bahwa peran pemerintah untuk mengintervensi harga daging justru kalah dengan para pengusaha, dalam hal ini importir atau distributor. Jika permainan harga terus terjadi dan distributor utama daging impor terus dipegang oleh segelintir perusahaan swasta, dia tak yakin harga sapi lokal atau bahkan impor di pasaran akan melandai. Dengan kondisi ini pula, Ngadiran khawatir swasembada daging yang diidam-idamkan pemerintah tidak tercapai.

Total konsumsi per kapita daging sapi dan kerbau (Kg/kapita/tahun)

Tahun

Konsumsi Total

Konsumsi Rumah Tangga

2013

2,14

0,26

2014

2,31

0,26

2015

2,10

0,42

2016

2,35

0,42

2017

2,43

2,17

2018

2,50

0,46

2019

2,56

2,36

2020

2,36

0,48

2021

2,46

0,47

2022

2,62

0,55

Sumber: Outlook Daging Sapi 2022

Agar hal-hal itu tak terjadi, baik Inkoppas maupun asosiasi pedagang daging pun telah sering meminta untuk diberi kendali dalam mendistribusikan langsung daging impor ini ke pedagang-pedagang daging di pasar tradisional. Namun, yang didapat hanya janji manis dan isapan jempol semata.

“Kawan saya dari asosiasi pedagang daging tidak juga dikasih-kasih. Padahal barang ada 100-an container, tapi mau beli 1 container saja tidak dikasih-kasih entah kenapa,” jelasnya.

Padahal, jika Bulog berkenan memberikan langsung sedikit pasokan daging impor langsung ke pedagang daging di pasar tradisional, masalah harga akan sedikit teratasi atau setidaknya daging impor tidak akan semahal sekarang karena ada rantai distribusi yang dipotong. Adapun saat ini, distributor lah yang mendulang untung besar dari melambungnya harga daging sapi impor dan lokal.

Bagaimana tidak, ketika Bulog melepas daging kerbau impor misalnya, di harga Rp58.000-Rp68.000 per kg dari gudang, distributor menjualnya lebih dari harga yang telah ditetapkan. Salah satu importir dan pemasok daging sapi dan kerbau beku PT Suri Nusantara Jaya misalnya, yang menjual daging kerbau di level Rp84.000-Rp85.000 per kg kepada distributor lainnya. Distributor lain, PT Agro Boga Utama yang juga mengimpor daging kerbau India mematok produk dengan jenama Allana di kisaran Rp86.000 per kg.

Dari sisi pedagang, untuk meraup untung sedikit lebih tinggi, kadang mengoplos daging kerbau dengan daging sapi menjadi jalan keluarnya. Jika hal ini terjadi, jelas konsumen lah korbannya. Mereka harus membayar harga mahal untuk daging campuran sapi dan kerbau yang secara kasat mata tak terlihat bedanya. 

“Jujur-jujuran aja, betulan ada itu (pedagang yang mengoplos daging sapi dan kerbau). Karena kalau murni, untungnya dikit,” beber seorang pedagang di Pasar Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara Rizqie, saat berbincang dengan Alinea.id.

Salah satu olahan daging sapi. Dokumentasi Resep Roemah.

Sementara itu, jika menilik lebih jauh, importasi daging sapi dan kerbau justru menyedot devisa negara. Data Kementerian Pertanian dalam Outlook Daging Sapi dan Kerbau 2022 yang dirilis Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian mengungkapkan, selama tahun 2021-2022 saja, devisa negara yang dibutuhkan untuk mengimpor daging sekitar US$800-US$900 juta.

Pada awal tahun 2020 lalu, dalam kajian yang dilakukan bersama Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) menyimpulkan, impor daging terutama kerbau hanya menguntungkan peternak India dan  pelaku tata niaga. Sebaliknya, importasi daging kerbau beku yang telah berlangsung sejak 2016 ini justru membuat peternak lokal tidak bergairah karena kehilangan daya saing. 

Bagaimana tidak, daging kerbau beku dijual begitu murah, ketika peternak lokal tidak lagi bisa menekan harga jualnya lantaran terhimpit biaya produksi dan terganjal harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan Badan Pangan Nasional (Bapanas) yakni Rp140.000 per kg.

"Untuk biaya pokok produksi saja kita butuh setidaknya Rp120.000 per kg. Kalau begini, bagaimana kita bisa bersaing dengan daging impor?" kata Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Nanang Purus Subendro, kepada Alinea.id, Jumat (7/4).

Kawari, harga keekonomian daging sapi memang sedang tinggi. Namun di tingkat peternak, harga daging sapi sejak 2016 hingga 2022 hanya naik sekitar Rp8.000 per kg. “Dengan PMK yang melanda kita kembali dan kerugian yang ditimbulkannya, selesai sudah industri persapian kita," imbuhnya.

Bagi Nanang dan peternak sapi lainnya, tak masalah jika pemerintah mendatangkan daging kerbau asal India. Sebab, kebijakan ini tak dimungkiri memang memiliki tujuan mulia, untuk mendiversifikasi sumber protein masyarakat sekaligus juga memberikan akses daging dengan harga murah kepada masyarakat.

Meski begitu, seharusnya pemerintah dapat menjaga agar pendistribusian daging-daging impor ini tak masuk ke daerah-daerah sentra sapi di tanah air dan tetap di daerah yang mengalami defisit daging sapi. Distribusi daging beku ini kenyataannya kerap kali masuk ke daerah produsen sapi.

"Kalau harga daging sapi dihantam dengan harga yang murah oleh daging kerbau dari India otomatis peternak lokal tidak mampu bersaing," bebernya.

Selain itu, Nanang juga meminta agar pemerintah tidak hanya membuat kebijakan yang berpihak kepada konsumen saja, melainkan kepada peternak juga. Dengan memberikan insentif usaha misalnya, jika dirasa menaikkan HET sulit untuk dilakukan.

Bagi peternak, kata kuncinya hanya sederhana, yakni agar usaha yang dijalankannya dapat menghasilkan keuntungan. Dengan adanya keuntungan, peternak pun akan dengan senang hati berusaha semaksimal mungkin untuk menaikkan produksi sapi dan kerbaunya.

Ilustrasi Pixabay.com.
"Tapi yang ada saat ini harga sapi hidup saja masih rendah. Belum naik lagi sejak kasus PMK masuk lagi ke Indonesia," imbuhnya.

Pada kesempatan lain, Pengamat Peternakan Rochadi Tawaf menilai, alih-alih impor, ada baiknya jika pemerintah memperbaiki rantai pasok daging nasional dan menguatkan peternakan sapi dan kerbau nasional. "Yang terpenting adalah pemerintah harus konsisten dalam menjalankan kebijakan dan programnya. Selama ini yang terjadi adalah pemerintah tidak konsisten, padahal banyak program yang sebenarnya bagus," ujarnya.

Sebagai contoh, Kementerian Pertanian sebetulnya telah membuat peta jalan bahwa di 2045 Indonesia akan menjadi lumbung ternak Asia. Untuk mencapai hal ini, pemerintah akan menyediakan sapi dengan mengimpor sapi indukan sebanyak 3,5 juta ekor dalam 10 tahun, atau sekitar 350.000 ekor dalam setahun.

"Namun yang terjadi, dengan alasan keterbatasan anggaran, pemerintah hanya bisa impor sekitar 10.000 ekor sapi per tahun. Padahal kalau program ini berjalan bagus sekali," imbuhnya.

Hal ini pun diamini oleh Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Faisol Amir. Di saat yang sama dengan impor sapi indukan, pemerintah juga bisa mempermudah impor bibit sapi bagi industri peternakan dan peternak lokal. Impor sapi hidup, menurutnya bisa lebih efektif untuk memacu produksi industri sapi nasional, ketimbang hanya mengimpor daging beku.

"Karena persoalan daging Indonesia ini juga terkait dengan kepastian ketersediaan produksi lokal," jelasnya saat dihubungi Alinea.id, Jumat (7/4).

 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan