Siasat turunkan harga tiket pesawat domestik
Saat mudik Lebaran lalu, Fultri Sri Ratu Handayani mengeluh harga tiket pesawat yang tinggi. Perantau asal Padang, Sumatera Barat ini mesti merogoh kocek Rp3,2 juta untuk terbang dari Jakarta ke Padang.
“Harga tiket naiknya tanpa penjelasan, langsung dinaikkin saja. Kalau seperti itu, enggak bakalan ngerti alasan tarif tiket naik. Masak lebih murahan ke luar negeri dibandingkan dalam negeri,” ujar Fultri saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (21/6).
Selain mengeluh masalah harga tiket, Fultri juga kecewa dengan pelayanan maskapai. Jadwal penerbangannya dari Bandara Soekarno-Hatta ke Bandara Minangkabau pada 30 Mei 2019 agak berantakan.
“Saya kemarin dari Jakarta ke Padang sebetulnya berangkat jam 08.10, tapi dipercepat jam 8.00. Dari Padang ke Jakarta diaturnya jam 12.25 menjadi 14.20,” tutur Fultri.
Lain lagi pengalaman Ramadhan. Pekerja media ini terpaksa mudik ke Kepulauan Bangka Belitung menggunakan kapal laut karena harga tiket pesawat melambung tinggi. Seharusnya, Ramadhan hanya butuh waktu sejam untuk sampai ke kampung halamannya dengan pesawat.
Menggunakan kapal laut, ia mesti menghabiskan waktu lebih lama, terombang-ambing di laut selama 27 jam. Bukan tanpa alasan Ramadhan memilih kapal laut untuk mudik.
“Harga tiket kapal laut cuma Rp350.000, sementara tiket pesawat itu bisa mencapai angka antara Rp900.000 hingga Rp1,2 juta. Jomplang kan? Ditambah lagi aturan lain, seperti bagasi berbayar,” kata Ramadhan saat dihubungi, Jumat (21/6).
Ramadhan menuturkan, sebelum mengalami kenaikan, harga tiket Bandara Soekarno-Hatta ke Bandara Depati Amir Pangkal Pinang Rp300.000 hingga Rp400.000.
Penyebab dan imbas
Pengamat ekonomi sekaligus Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, imbas dari tingginya harga tiket pesawat tak hanya memukul industri penerbangan, tetapi juga mengerek sektor transportasi lain.
"Misalnya tiket kereta dan bus juga terkerek. Kalau kita lihat Lebaran kemarin juga ikut naik lebih tinggi dari Lebaran sebelumnya," kata Enny saat dihubungi, Jumat (21/6).
Dalam konteks yang lebih luas, menurut dia, sektor pariwisata pun terdampak. Secara ekonomi, kata dia, efek tersebut menciptakan inefisiensi dan tingginya biaya ekonomi yang harus dikeluarkan.
Di samping itu, Enny memandang, upaya pemerintah membangun infrastruktur juga terkena imbas. Tujuan pembangunan itu untuk mengurangi biaya logistik, tetapi tiket pesawat yang mahal akan berimbas pada kenaikan biaya logistik.
Enny pun khawatir, jumlah barang impor tak terkendali. Peluang itu terbuka karena biaya kargo domestik yang tinggi membuka peluang barang impor, sedangkan biaya kargo internasional semakin kompetitif.
"Ini yang menyebabkan ekonomi tidak efisien. Kalau transportasi tidak efisien, maka barang impor terbuka karena mereka tidak terpengaruh dengan domestik," kata Enny.
Enny menuturkan, perkara harga tiket pesawat yang tinggi, ada strategi bisnis masa lalu yang salah. Misalnya, ia menyebut, pembelian pesawat dalam skala besar, tetapi tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal. Lalu, masifnya pembukaan bandara perintis, tetapi permintaan pasar tidak sesuai harapan.
Selain itu, pihak maskapai mesti membayar biaya penyewaan dan bunga utang. Menurut Enny, kesalahan strategi bisnis itu membuat struktur ongkos pesawat jadi taruhan. Saat penambahan pesawat seperti Lion Air, nilai tukar rupiah berkisar Rp11.000. Sekarang, maskapai mesti membayar dengan nilai tukar rupiah sekitar Rp14.000.
“Hal ini juga mendorong maskapai untuk menaikkan harga tiket agar beban utang juga bisa dibayar,” katanya.
Dihubungi terpisah, komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kodrat Wibowo mengatakan, isu efisiensi manajemen pengelolaan yang menerpa dunia penerbangan di Indonesia ikut menjadi penyebab kenaikan tarif tiket pesawat. Kodrat pun tak membantah, penyebab bisa pula berasal dari lonjakan biaya yang dibebankan kepada maskapai dan pelaku usahanya.
Sementara itu, pengamat penerbangan sekaligus Direktur Arista Indonesia Aviation Center (AIAC) Arista Atmadjati mengatakan, kenaikan tarif pesawat lantaran maskapai terbebani berbagai biaya dan terjegal regulasi.
“Substansinya itu masih banyak biaya izin dan biaya-biaya tersembunyi yang masyarakat tidak tahu. Misalnya biaya bea cukai impor barang, onderdil, dan mesin. Semua itu masih tinggi, tidak ada insentif,” kata Arista saat dihubungi, Kamis (20/6).
Selain itu, menurut Arista, regulasi penerbangan di Indonesia kurang mendukung keberlangsungan maskapai.
Menurut Arista, sebetulnya maskapai Lion Airlines dan Garuda Indonesia Group terus merugi, sehingga mereka memutuskan memainkan tarif batas atas yang memang tidak melanggar regulasi. Kedua maskapai itu pun tak mendapat teguran Kementerian Perhubungan.
“Maskapai akhirnya memainkan tarif batas atas, enggak mau main promosi lagi, dan main tiket promo gitu,” kata Arista.
Di sisi lain, terkait regulasi dan pertimbangan beban biaya operasional maskapai, seperti terminal bandara, jasa travel, dan tiket daring, Kodrat Wibowo menuturkan bahwa KPPU masih dalam tahap penyelidikan.
“Lion Air menunggak tagihan ke Angkasa Pura, kan aneh juga ya, kok bisa. Ada Sriwijaya dan Batavia yang rontok. Lalu mengapa dulu mereka berdiri dengan harga yang cukup sangat murah? Tiba-tiba kita sadar apakah harga yang mahal ini harga yang asli? Sebenarnya itu masih dalam tahap penyelidikan,” kata Kodrat.
Saat mudik Lebaran lalu, Fultri Sri Ratu Handayani mengeluh harga tiket pesawat yang tinggi. Perantau asal Padang, Sumatera Barat ini mesti merogoh kocek Rp3,2 juta untuk terbang dari Jakarta ke Padang.
“Harga tiket naiknya tanpa penjelasan, langsung dinaikkin saja. Kalau seperti itu, enggak bakalan ngerti alasan tarif tiket naik. Masak lebih murahan ke luar negeri dibandingkan dalam negeri,” ujar Fultri saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (21/6).
Selain mengeluh masalah harga tiket, Fultri juga kecewa dengan pelayanan maskapai. Jadwal penerbangannya dari Bandara Soekarno-Hatta ke Bandara Minangkabau pada 30 Mei 2019 agak berantakan.
“Saya kemarin dari Jakarta ke Padang sebetulnya berangkat jam 08.10, tapi dipercepat jam 8.00. Dari Padang ke Jakarta diaturnya jam 12.25 menjadi 14.20,” tutur Fultri.
Lain lagi pengalaman Ramadhan. Pekerja media ini terpaksa mudik ke Kepulauan Bangka Belitung menggunakan kapal laut karena harga tiket pesawat melambung tinggi. Seharusnya, Ramadhan hanya butuh waktu sejam untuk sampai ke kampung halamannya dengan pesawat.
Menggunakan kapal laut, ia mesti menghabiskan waktu lebih lama, terombang-ambing di laut selama 27 jam. Bukan tanpa alasan Ramadhan memilih kapal laut untuk mudik.
“Harga tiket kapal laut cuma Rp350.000, sementara tiket pesawat itu bisa mencapai angka antara Rp900.000 hingga Rp1,2 juta. Jomplang kan? Ditambah lagi aturan lain, seperti bagasi berbayar,” kata Ramadhan saat dihubungi, Jumat (21/6).
Ramadhan menuturkan, sebelum mengalami kenaikan, harga tiket Bandara Soekarno-Hatta ke Bandara Depati Amir Pangkal Pinang Rp300.000 hingga Rp400.000.
Penyebab dan imbas
Pengamat ekonomi sekaligus Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, imbas dari tingginya harga tiket pesawat tak hanya memukul industri penerbangan, tetapi juga mengerek sektor transportasi lain.
"Misalnya tiket kereta dan bus juga terkerek. Kalau kita lihat Lebaran kemarin juga ikut naik lebih tinggi dari Lebaran sebelumnya," kata Enny saat dihubungi, Jumat (21/6).
Dalam konteks yang lebih luas, menurut dia, sektor pariwisata pun terdampak. Secara ekonomi, kata dia, efek tersebut menciptakan inefisiensi dan tingginya biaya ekonomi yang harus dikeluarkan.
Di samping itu, Enny memandang, upaya pemerintah membangun infrastruktur juga terkena imbas. Tujuan pembangunan itu untuk mengurangi biaya logistik, tetapi tiket pesawat yang mahal akan berimbas pada kenaikan biaya logistik.
Enny pun khawatir, jumlah barang impor tak terkendali. Peluang itu terbuka karena biaya kargo domestik yang tinggi membuka peluang barang impor, sedangkan biaya kargo internasional semakin kompetitif.
"Ini yang menyebabkan ekonomi tidak efisien. Kalau transportasi tidak efisien, maka barang impor terbuka karena mereka tidak terpengaruh dengan domestik," kata Enny.
Enny menuturkan, perkara harga tiket pesawat yang tinggi, ada strategi bisnis masa lalu yang salah. Misalnya, ia menyebut, pembelian pesawat dalam skala besar, tetapi tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal. Lalu, masifnya pembukaan bandara perintis, tetapi permintaan pasar tidak sesuai harapan.
Selain itu, pihak maskapai mesti membayar biaya penyewaan dan bunga utang. Menurut Enny, kesalahan strategi bisnis itu membuat struktur ongkos pesawat jadi taruhan. Saat penambahan pesawat seperti Lion Air, nilai tukar rupiah berkisar Rp11.000. Sekarang, maskapai mesti membayar dengan nilai tukar rupiah sekitar Rp14.000.
“Hal ini juga mendorong maskapai untuk menaikkan harga tiket agar beban utang juga bisa dibayar,” katanya.
Dihubungi terpisah, komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kodrat Wibowo mengatakan, isu efisiensi manajemen pengelolaan yang menerpa dunia penerbangan di Indonesia ikut menjadi penyebab kenaikan tarif tiket pesawat. Kodrat pun tak membantah, penyebab bisa pula berasal dari lonjakan biaya yang dibebankan kepada maskapai dan pelaku usahanya.
Sementara itu, pengamat penerbangan sekaligus Direktur Arista Indonesia Aviation Center (AIAC) Arista Atmadjati mengatakan, kenaikan tarif pesawat lantaran maskapai terbebani berbagai biaya dan terjegal regulasi.
“Substansinya itu masih banyak biaya izin dan biaya-biaya tersembunyi yang masyarakat tidak tahu. Misalnya biaya bea cukai impor barang, onderdil, dan mesin. Semua itu masih tinggi, tidak ada insentif,” kata Arista saat dihubungi, Kamis (20/6).
Selain itu, menurut Arista, regulasi penerbangan di Indonesia kurang mendukung keberlangsungan maskapai.
Menurut Arista, sebetulnya maskapai Lion Airlines dan Garuda Indonesia Group terus merugi, sehingga mereka memutuskan memainkan tarif batas atas yang memang tidak melanggar regulasi. Kedua maskapai itu pun tak mendapat teguran Kementerian Perhubungan.
“Maskapai akhirnya memainkan tarif batas atas, enggak mau main promosi lagi, dan main tiket promo gitu,” kata Arista.
Di sisi lain, terkait regulasi dan pertimbangan beban biaya operasional maskapai, seperti terminal bandara, jasa travel, dan tiket daring, Kodrat Wibowo menuturkan bahwa KPPU masih dalam tahap penyelidikan.
“Lion Air menunggak tagihan ke Angkasa Pura, kan aneh juga ya, kok bisa. Ada Sriwijaya dan Batavia yang rontok. Lalu mengapa dulu mereka berdiri dengan harga yang cukup sangat murah? Tiba-tiba kita sadar apakah harga yang mahal ini harga yang asli? Sebenarnya itu masih dalam tahap penyelidikan,” kata Kodrat.
Ada kartel?
Melambungnya harga tiket pesawat membuat banyak orang bertanya-tanya ihwal penyebabnya. Salah satunya dugaan adanya kartel—persekongkolan penetapan tarif pesawat domestik. Kodrat Wibowo mengatakan, hingga saat ini dugaan kartel masih dalam tahap penyelidikan.
Proses pembuktian dugaan kartel, menurutnya, termasuk sulit. Sebab, harus memenuhi persyaratan pasal-pasal sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli).
“Pada prinsipnya, pembuktian kartel harus terdapat bukti, baik langsung maupun tidak langsung, yang mengarah adanya perjanjian di antara pelaku, tidak harus ada perjanjian tertulis. Tapi, bukan hal mudah, dan belum bisa dianggap 'ada',” tutur Kodrat.
Di dalam UU Anti Monopoli yang bisa digunakan untuk menjerat kartel, terdapat di Pasal 6 tentang perlakuan diskriminasi, Pasal 7 tentang penetapan harga, Pasal 10 tentang pemboikotan, Pasal 15 tentang perjanjian tertutup, Pasal 24 tentang hambatan produksi dan pemasaran, Pasal 25 tentang posisi dominan, serta Pasal 27 tentang pemilikan saham.
Berdasarkan UU Anti Monopoli itu, Kodrat mencium aroma kartel terjelas pada price leadership (pimpinan harga). Namun, Kodrat menuturkan, KPPU perlu memastikan terlebih dahulu, dengan mencari alat bukti kuat untuk mendukung proses persidangan.
“Indikasi semikartel sudah terlihat dari price leadership. Jadi, yang satu naik, yang lain ikut. Entah itu ikutnya disengaja dengan sepengetahuan atau hanya karena kebetulan saja. Itu yang harus diselidiki,” ujar Kodrat.
Kodrat mengatakan, pelanggaran kartel sekarang jauh lebih canggih dibandingkan saat KPPU baru berdiri pada 2000. Oleh karenanya, keputusan yang berkekuatan hukum tetap dari Mahkamah Agung (MA) dalam kasus kartel eksekutif, tergolong pencapaian luar biasa. Sebab, perjuangan investigator menggali bukti sudah “berdarah-darah”.
“Semoga minggu depan, minimal satu dari pengembangan penyelidikan bisa dipublikasikan dan dipresentasikan ke kawan-kawan wartawan,” ucapnya.
Maskapai asing
Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo melontarkan wacana untuk mengundang maskapai asing masuk ke Indonesia. Harapannya, bisa memantik persaingan lebih sehat, dan harga tiket pesawat domestik bisa turun.
Arista Atmadjati menilai, mengundang maskapai asing bukanlah solusi yang tepat. Gagasan itu, kata dia, masih prematur.
Bila diterapkan, kata Arista, membutuhkan waktu lama karena terbentur regulasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, menyangkut kepemilikan saham asing maksimal 49%, dan persyaratan memiliki minimal 5 pesawat. Terlebih lagi, ada peraturan baru Kementerian Perhubungan mengenai maskapai asing yang harus melayani penerbangan di rute-rute kota perintis.
“Berdasarkan pengalaman, selama ini sudah ada maskapai yang patungan dengan asing masuk ke Indonesia sejak 2004, seperti Tigerair Mandala dari Singapura yang berujung bangkrut. Menyusul Air Asia dari Malaysia yang merugi Rp1 triliun pada 2018 lalu,” tutur Arista.
Berkaca dari pengalaman maskapai asing yang gulung tikar, Arista pesimis maskapai asing mau membuka penerbangan di Indonesia. Meski Scoot, anak usaha Singapore Airlines dan Jet Star dari Australia berminat, tetapi belum melakukan studi kelayakan.
“Jadi, belum tentu serius ya,” ujar Arista.
Sementara itu, pengamat penerbangan Samudera Sukardi punya pandangan berbeda. Menurut kepala komisaris konsultan penerbangan CSE Aviation itu, mengundang maskapai asing boleh saja, asal sesuai undang-undang dan harus berkerja sama dengan pelaku usaha dalam negeri.
Meski begitu, sama seperti Arista, menurut Samudera, mengundang maskapai asing bukanlah solusi terbaik. Samudera mengatakan, solusi jangka panjang, pemerintah mesti membuka selebar-lebarnya peluang membangun maskapai penerbangan, agar persaingan usaha sehat. Di samping itu, persyaratan dan prosedur perizinan pendirian maskapai penerbangan dipermudah.
Terkait wacana maskapai asing, Samudera berharap, pemerintah mengadakan forum diskusi dengan mengundang investor, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan pihak-pihak terkait lainnya. Semua, kata dia, harus dilibatkan dan masyarakat harus tahu. Menurutnya, pemerintah jangan mengambil keputusan sepihak jika belum dikaji secara matang.
“Sekarang Garuda dan Lion tidak ada kompetitornya. Jadi, balas dendam. Kompensasinya, ya dinaikkin (tarif pesawat). Toh, kemarin saya sudah kerja keras nurunin harga mati-matian sampai kelewat batas bawah,” tutur Samudera saat dihubungi, Kamis (20/6).
Pekan depan turun
Menanggapi harga tiket pesawat yang tinggi, Enny Sri Hartati mengatakan, perlu intervensi pemerintah untuk menyelesaikan polemik ini. Ia menyarankan pemerintah berani membuka komponen apa yang bisa membuat harga tiket pesawat menjadi mahal.
Langkah berikutnya, kata Enny, pemerintah harus aktif memberikan keringanan agar komponen ongkos tak hanya ditanggung pihak maskapai.
“Di antaranya, pemerintah memberikan subsidi bagi penerbangan di area perintis,” ujar Enny.
Menurutnya, pemerintah bisa saja menekan maskapai menurunkan ongkos, namun kemampuan maskapai juga dipikirkan agar tidak mengalami kebangkrutan.
"Jangan pemerintah menganggap ini mekanisme pasar, pemerintah harus intervensi. Kalau begitu berarti pemerintah cuci tangan," kata dia.
Enny menambahkan, adanya pembatasan batas bawah dan batas atas sudah tidak relevan. Penggunaan batas bawah itu digunakan untuk melindungi produsen, yakni pihak maskapai, agar tidak membuat harga terlalu rendah yang menyebabkan iklim kompetisi tak sehat. Sementara batas atas untuk melindungi konsumen.
"Dulu pernah dilepas tidak ada batas bawah. Tapi sekarang pemainnya hanya dua, terus siapa yang dilindungi? Kalau dipakai tarif bawah itu semua menguntungkan maskapai," kata Enny.
Oleh karena itu, Enny menyarankan, pembatasan itu dihapus dan disesuaikan dengan komponen biaya yang dikeluarkan maskapai. Sebab, setiap rute penerbangan berbeda biaya komponennya. Enny menuturkan, batas bawah yang ada juga tak mencerminkan biaya yang dikeluarkan maskapai.
"Yang penting itu dihitung secara transparan. Misalnya avtur berapa persen, yang lainnya berapa persen, kan itu ada secara standar internasional,” tuturnya.
Terlepas dari itu, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menurunkan harga tiket penerbangan maskapai berbiaya rendah (low cost carrier/LCC) domestik untuk jadwal tertentu. Keputusan itu diambil usai mengevaluasi secara berkala penurunan tarif batas atas harga tiket pesawat sejak 18 Mei 2019 lalu.
“Kebijakan ini akan berlaku efektif dalam satu minggu ke depan,” kata Menko Perekonomian Darmin Nasution usai memimpin rapat koordinasi evaluasi kebijakan penurunan tarif angkutan udara di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, seperti dikutip dari situs Setkab.go.id, Kamis (20/6).
Menurut Darmin, kenaikan harga tiket pesawat sejak November 2018 berdampak langsung pada jumlah penumpang. Terjadi penurunan dalam empat bulan terakhir (Januari-April 2019) sebesar 28%.
Sementara itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyampaikan, dalam satu minggu ini pihak maskapai akan mengumumkan tarif baru tiket pesawat yang sudah disepakati turun.
“Ini satu hal yang baik, marilah kita tunggu dalam satu minggu ini para airlines akan mengumumkan dengan dasar arahan-arahan Bapak Menko Perekonomian,” kata Budi Karya, seperti dikutip dari Setkab.go.id, Kamis (20/6).