close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Bisnis
Jumat, 02 Oktober 2020 13:34

Sibuk urus resesi, lupa tangani pandemi

Faktor utama penyebab resesi adalah kegagalan pemerintah dalam menangani pandemi.
swipe

Eviani Ega Herawati (21 tahun) tidak tahu apa itu resesi. Yang dia tahu hanyalah warung nasi goreng miliknya kini kian sepi. Selama masa pandemi, omzet jualannya sudah anjlok lebih dari 50%.

“Pernah sehari cuma 2 orang yang beli,” kata Ega saat berbincang dengan Alinea.id di lokasi dia berdagang di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, (1/10).

Kalau jualannya tidak habis, Ega dan suami hanya bisa pasrah dan memakan sisa dagangannya. Dia sendiri tidak menyangka bahwa niatnya merantau dari Pekalongan ke Jakarta malah jadi menyedihkan begini.

Keuangan keluarga, kata dia, sudah tiris. Sebab dari hasil jualannya sekarang, Ega dan suami hanya bisa mengatongi uang Rp70 ribu-Rp80 ribu per hari. Uang segitu bahkan tidak cukup untuk modal usahanya setiap hari.

Apalagi, dia tidak pernah mendapatkan sepeserpun bantuan dari pemerintah. Entah dalam bentuk sembako ataupun bantuan langsung tunai (BLT). Dia bilang, ketua Rumah Tangga (RT) di wilayah kediamannya pilih kasih. Hanya warga lokal saja yang dapat bantuan. Perantau diacuhkan.

Sebab itu, kini Ega dan suami hanya berharap agar pandemi Covid-19 segera berakhir di Indonesia. Sehingga kelak nasi goreng jualannya bisa kembali laris-manis seperti dulu.

“Semoga saja bisa cepat selesai (pandemi Covid-19) gitu. Biar orang-orang kantor bisa masuk lagi. Jadi bisa ramai lagi (warungnya),” harap Ega.

Poster di kala New Normal. Dokumentasi.

Lain lagi cerita Zara (32 tahun), seorang ibu rumah tangga. Zara cukup mengerti apa itu resesi. Tetapi dia justru menjadi orang yang paling sakit hati terhadap lambannya pemerintah dalam menangani pandemi.

Bagaimana tidak, ibu, ayah, dan kakaknya kini terdeteksi positif Covid-19. Sekarang, ketiganya tengah menjalani isolasi di tempat berbeda. Ibunya dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cengkareng. Kakaknya diisolasi di Hotel Ustay, Mangga Besar. Sedang ayahnya, masih isolasi mandiri di rumah.

Zara dan suaminya yang sudah pisah rumah dengan orang tuanya pun kini harus isolasi mandiri di rumah kontrakannya. Sementara kedua anaknya yang masih balita kini telah dititipkan di rumah sang mertua.

“Gue dan saudara sedih dan nangis. Kami down dan saling menguatkan,” tulis Zara melalui pesan singkat kepada Alinea.id, (1/10).

Zara mengaku benar-benar kecewa dengan segala situasi yang kini menimpa dirinya. Apalagi, kata dia, pemerintah juga sepertinya sama sekali tidak menunjukkan itikad serius untuk mengatasi pandemi. Sibuk dengan urusan ekonomi, tapi lupa urusan pandemi.

“Buat gue semua kacau. Gue enggak ngerti lagi harus protes kaya gimana,” keluhnya.

Resesi sudah terjadi

Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sibuk ke sana-sini untuk mencari gagasan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Segala cara dilakukan, mulai dari pemberian bansos, subsidi gaji, subsidi pajak, subsidi bunga, hingga bejibun insentif bagi dunia usaha dan korporasi.

 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Minggu lalu Pemerintah sangat intens dengan aktivitas bersama DPR RI. Diantaranya, pada hari Jumat (11/9), Pemerintah, Bank Indonesia, bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI menyepakati postur sementara RUU APBN 2021. Sebelumnya, pendalaman telah dilakukan dalam pembahasan di Panja untuk Asumsi Dasar Ekonomi Makro RAPBN 2021. Pertumbuhan ekonomi dipatok pada 5%, inflasi 3%, dan cost recovery turun dari USD8,5 miliar menjadi USD 8,0 miliar. Pemerintah akan terus berikhtiar semaksimal mungkin dalam menghadapi ketidakpastian akibat Covid19 dan terus memusatkan perhatian untuk mendukung langkah-langkah di bidang kesehatan, pemulihan ekonomi, serta tetap melindungi masyarakat melalui berbagai bentuk bantuan sosial. Ayo tetap waspada dan tidak kehilangan fokus untuk optimis di dalam mengatasi masalah! Semoga Allah Yang Maha baik senantiasa melindungi kita semua. Selamat bermalam minggu!

Sebuah kiriman dibagikan oleh Sri Mulyani Indrawati (@smindrawati) pada

 

Anggaran Rp695,2 triliun disiapkan untuk bisa segera mendorong perekonomian. Tetapi kenyataannya sekarang, penyerapan anggaran ini pun masih belum mencapai target yang diharapkan.

Tercatat per 1 Oktober 2020, realisasi anggaran PEN baru menyentuh angka 43,8% atau Rp304,62 triliun. Anggaran kesehatan yang diharapkan bisa menjadi tonggak keberhasilan pemerintah mengatasi pandemi malah baru terserap 24,8% atau Rp21,79 triliun dari total Rp87,55 triliun.

Lucunya lagi, anggaran Rp53,57 triliun yang dialokasikan untuk pembiayaan korporasi malah belum terserap sama sekali. Ini jelas membuktikan bahwa upaya pemerintah untuk mendorong ekonomi dari sektor usaha pun masih menunjukkan hasil yang sia-sia.

Faktanya bisa dilihat dari sejumlah indikator pengungkit ekonomi yang sempat diumumkan sejumlah lembaga beberapa hari belakangan. Indikator pertama dapat terlihat dari hasil survei IHS Markit terhadap Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Indonesia.

Per September 2020, tercatat PMI Manufaktur Indonesia telah mengalami penurunan menjadi 47,2 dari sebelumnya 50,8 pada Agustus 2020. Ini menunjukkan bukti bahwa kini industri manufaktur Indonesia tengah berada dalam tren tidak ekspansif. Dalam kata lain, tingkat utilitas dan produksi manufaktur di Tanah Air sedang mengalami pelemahan.

Indikator lainnya dapat terlihat dari hasil survei Bank Indonesia (BI) terkait Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Tercatat hingga Agustus 2020, IKK Indonesia masih berada di bawah 100 atau tepatnya 86,9. Fakta ini menunjukkan bahwa keyakinan masyarakat untuk melakukan transaksi, apapun bentuknya masih di zona pesimistis.

Terbaru, Badan Pusat Stastik (BPS) mengumumkan bahwa Indonesia telah mengalami deflasi selama tiga bulan beruntun. Juli (0,10%), Agustus (0,05%), dan September (0,05%). Data tersebut menunjukkan bahwa saat ini daya beli masyarakat masih lemah.

Dengan segala indikator pelemahan tersebut, pertumbuhan ekonomi kuartal-III pun sudah dapat dipastikan bakal berada di teritori negatif. Sri Mulyani memprediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal-III 2020 hanya akan berada di level -2,9% hingga -1%.

“Ini artinya negative teritori kemungkinan terjadi pada kurtal-III 2020 dan mungkin juga masih berlangsung untuk kuartal-IV 2020 yang kita upayakan bisa dekat 0 atau positif,” terang Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTA, Selasa (22/9).

Tidak jauh berbeda, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu juga memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal-III bakal berada pada kisaran angka yang dipoyeksikan Sri Mulyani. Dia bahkan secara terang-terangan mengatakan Indonesia sudah memasuki jurang resesi.

Menurut Febrio, tanda-tanda resesi itu sudah terlihat sejak awal tahun. Dimulai dari pertumbuhan ekonomi kuartal I yang biasanya di kisaran 5%, tetapi saat itu hanya mentok di angka 2,97%. Kemudian dilanjutkan pertumbuhan ekonomi kuartal II yang terkontraksi -5,32%.

“Kalau resesi ya tahun ini sudah resesi,” tegas Febrio dalam konferensi pers daring, (1/10).

Pandemi belum terkendali

Soal resesi, memang tidak Indonesia saja yang menghadapinya. Sebanyak 44 negara lainnya di dunia juga mengalami resesi, termasuk Amerika Serikat (AS), India, Spanyol, dan sebagian besar negara-negara Eropa.

Pertanyaannya, apa sebetulnya yang menyebabkan resesi? Bank Dunia menilai bahwa faktor utama penyebab resesi adalah kegagalan pemerintah dalam menangani pandemi.

Dalam hasil riset bertajuk “From Containment to Recovery”, Bank Dunia menyebut bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang telah gagal mengendalikan pandemi. Sebab itu, Bank Dunia memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini bakal berada pada kisaran -2% hingga -1,6%.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati sepakat dengan pernyataan Bank Dunia itu. Menurut Enny, sekeras apapun upaya pemerintah mendorong ekonomi, selama pandemi belum terkendali maka resesi pasti terjadi.

Mestinya, sambung Enny, pemerintah atau pihak manapun tidak bisa lagi membenturkan antara ekonomi dan kesehatan. Semua jelas dan terang benderang bahwa memprioritaskan kesehatan adalah satu-satunya cara agar bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi.

“Jadi kalau pemerintah mau segera menggeliatkan ekonomi, artinya pandemi itu harus segera diselesaikan,” ungkap Enny saat berbincang dengan Alinea.id belum lama ini.

Terlepas dari segala stimulus yang diberikan, pemerintah mestinya bisa juga turut mengoptimalkan upaya 3T (testing, tracing, treatment). Hanya dengan cara itu, kata dia, pandemi dapat dikendalikan dan ekonomi bisa segera dipulihkan.

Kalaupun pemerintah ngotot mau menyeimbangkan antara pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi, maka perlu dipastikan bahwa segala kebijakan yang diambil sudah ditetapkan target dan dampaknya. Pendekatan akademis perlu dilakukan untuk menghitung seberapa besar dampak positif dari stimulus maupun insentif yang diberikan.

“Jadi setiap yang dikeluarkan pemerintah itu terukur dampaknya. Kalau ada program perlindungan sosial itu berapa dampaknya mampu menopang daya beli masyarakat,” kata dia.

Enny juga mengingatkan terjadinya deflasi selama tiga bulan beruntun menunjukkan tanda bahaya. Hal itu menjadi indikasi daya beli masyarakat sudah turun signifikan.

"Artinya apa, kalau konsumsi rumah tangga itu turun terus ya berarti pertumbuhan kuartal tiga kontraksinya cukup besar," ujarnya.

Sementara itu, pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai bahwa pemerintah sama sekali tidak pernah serius menangani pandemi Covid-19. Tidak ada program dan target yang jelas dari pemerintah untuk dapat mengukur kapan pandemi dapat dikendalikan.

Bahkan, sambung dia, pemerintah cenderung menganggap bahwa segala kebijakan pemerintah daerah untuk mengendalikan pandemi justru sebagai upaya menjegal ekonomi. Indikasinya terlihat jelas ketika Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan untuk kembali menerapkan Pengetatan Sosial Berskala Besar (PSBB) beberapa waktu lalu.

Kala itu, sejumlah menteri bahkan sampai konglomerat ramai-ramai menyebut bahwa kebijakan Anies itu bakal membuat ekonomi semakin terpuruk. Sikap itu, kata Pandu, jelas menunjukkan betapa pemerintah lebih mengkhawatirkan kondisi ekonomi dibandingkan kesehatan masyakatnya.

“Ekonomi enggak akan mati. Memang melamban. Di mana-mana seluruh dunia juga melamban. Jadi jangan disalahkan pembatasan sosialnya,” tutur Pandu kepada Alinea.id melalui sambungan telepon.

Menurut Pandu, dengan situasi pandemi yang semakin mengkhawatirkan, pemerintah mesti lebih fokus pada upaya pengendalian Covid-19. Minimal, angka pelacakan dan tes yang dilakukan bisa memenuhi standar yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) yakni 1 tes per 1.000 penduduk per minggu.

Demi bisa memenuhi target itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta turun langsung untuk memimpin penanganan Covid-19. Dengan kepemimpinan dari presiden secara langsung, diharapkan koordinasi antarkementerian dan lembaga terkait untuk penanganan pandemi pun dapat berjalan dengan efektif dan tepat sasaran. 

“Lakukan langsung dipimpin langsung presiden. Enggak usah pakai transpose (perantara),” kata dia.

Strategi baru

Juru Bicara Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengakui bahwa hingga saat ini, jumlah pelacakan (tracing) di Indonesia masih belum sesuai standar yang ditetapkan WHO. Secara keseluruhan Indonesia baru bisa memenuhi target tes sebanyak 189.051 orang atau 70% dari standar WHO. Sementara dengan jumlah penduduk sebanyak 267 juta orang lebih, Indonesia mesti melakukan tes kepada setidaknya 276 ribu penduduk.

Sejauh ini tercatat baru ada lima provinsi di Indonesia yang sudah mampu melebihi target. Di DKI Jakarta misalnya, tesnya sudah mencapai 25.527 orang per 1 juta penduduk. Di Sumatera Barat sudah 9.124 tes per 1 juta penduduk. Lalu Bali dengan 8.870 tes per 1 juta penduduk.

“Sumatera Selatan sudah 6.288 per 1 juta penduduk. Dan papua sudah 5.440 per 1 juta penduduk,” beber Wiku saat berbincang dengan Alinea.id, (1/10).

Namun Wiku mengakui bahwa untuk memenuhi standar tes di seluruh wilayah Indonesia bukanlah pekerjaan mudah. Negara kepulauan diungkapnya sebagai kendala yang dihadapi untuk bisa memenuhi standar ini.

Belum lagi, jika melihat kemampuan finansial Indonesia yang tidak sebesar negara-negara lain. Plus kemampuan setiap wilayah yang juga berbeda-beda untuk dapat memenuhi standar laboratorium yang dibutuhkan untuk mendiagnosa Covid-19 dengan menggunakan alat Polymerase Chain Reaction (PCR).

“Soalnya mengembangkan, membangun atau memasukkan dalam daftar lab-lab dan menjalankan itu ‘kan enggak mudah,” ungkap dia.

Walau begitu, Wiku menyebut bahwa pemerintah tetap menargetkan agar pemenuhan standar ini dapat tercapai pada Desember 2020. Menurutnya, pemerintah juga sudah menyiapkan strategi baru untuk dapat mencapai target itu.

Ada beberapa cara yang bakal dilakukan pemerintah dalam upaya mencapai target tes dan meredam Covid-19. Salah satu caranya adalah dengan memodifikasi tim yang ada di Gugus Tugas Penanganan Covid-19.

Kini, jelas dia, Tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19 sudah dibagi menjadi beberapa bidang. Bidang pertama adalah tim data dan teknologi. Kedua, bidang perubahan perilaku. Ketiga, bidang komunikasi. Terakhir, bidang penanganan.

Dengan dibentuknya keempat bidang ini, diharapkan upaya pengendalian Covid-19 pun dapat semakin efektif. Tim data dan teknologi nantinya bakal bertugas untuk mengoleksi data terkait Covid-19. Lalu, tim perubahan perilaku bakal berupaya mengorganisir perilaku masyarakat agar bisa mematuhi protokol kesehatan.

Adapun tim komunikasi bakal menjadi penyampai informasi untuk segala yang dikerjakan pemerintah. Kemudian, tim penanganan bakal bertugas untuk memberikan pelayanan terbaik bagi pasien Covid-19.

“Yang terakhir adalah bidang kerelawanan untuk menyuplai support kepada pelaksanaan di seluruh Indonesia,” pungkas dia.

img
Fajar Yusuf Rasdianto
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan