Kenaikan harga batu bara dinilai dapat mengganggu industri manufaktur yang bergantung terhadap sumber energi batu bara. Pasalnya, kenaikan harga batu bara dinilai akan berdampak bagi kinerja emiten semen.
Seperti diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan harga batu bara acuan (HBA) pada September 2021 meroket hingga US$150,03 per ton. Angka ini naik sebesar US$19,04 per ton dibandingkan dengan Agustus, yakni US$130,99 per ton.
Menanggapi itu, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Semen Indonesia Tbk. Doddy Sulasmono Diniawan mengatakan, sudah mempunyai strategi medium term untuk menghadapi kenaikan batu bara.
“Kami akan coba melakukan penjajakan untuk penggunaan batu bara yang berkalori lebih rendah, supaya tidak head to head dengan penggunaan batu bara yang umum,” tutur Doddy dalam acara acara Public Expose Live 2021, Kamis (9/9).
Doddy juga mengatakan, PT Semen Indonesia Tbk. juga menjajaki untuk melakukan kontrak jangka panjang dengan beberapa pemasok batu bara besar, dengan adanya penyesuaian harga setiap tiga bulan sekali.
Doddy juga mengatakan bahwa akan terjadi lagging effect dengan adanya kenaikan harga batu bara.
"Apakah akan terjadi lagging effect dengan kenaikan harga batu bara? Iya," ucap Doddy
Namun Doddy menegaskan, PT Semen Indonesia Tbk. (SMGR) tidak akan terpengaruh oleh kenaikan harga batu bara.
"Sebagaimana di paruh pertama 2021 ini, di mana kami tidak sepenuhnya terdampak karena harga kontrak batu bara sudah ditentukan tiga bulan sebelumnya. Jadi itu akan tetap terjadi di paruh kedua 2021 ini," tutup Doddy.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Marketing & Supply Chain SIG Adi Munandir mengatakan, SIG masih memprioritaskan kegiatan penjualan di dalam negeri atau domestik.
“Di mana itu yang akan memberikan dampak profitabilitas yang lebih baik, kita akan terus mengoptimalkan,” tutur Adi.
Sedangkan untuk ekspor, Adi mengatakan bahwa SIG akan melakukan ekspor dalam upaya untuk meningkatkan dan menjaga utilisasi dari pabrik.