Persoalan sawit seolah menjadi suatu hal yang tidak pernah berujung. Padahal komoditas ini menyumbang devisa sangat besar di Indonesia. Berdasarkan data Gapki, industri sawit Indonesia pada 2017 menyumbang devisa sebesar US$ 3 miliar atau setara Rp300 triliun. Namun, dibalik itu ada persoalan lingkungan yang tidak berujung pada perbaikan.
Presiden Joko Widodo belum lama ini menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit, serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Inpres tersebut berlaku hingga tiga tahun mendatang, sejak ditandatangani pada 19 September 2018.
Dari sisi ekonomi, kata Ekonom INDEF Bhima Yudhistira, moratorium sudah baik dilakukan guna meningkatkan produktivitas sawit yang biasanya hanya menghasilkan 2 ton per hektar lahan.
"Padahal di Malaysia 10 ton per hektar. Niat Presiden Jokowi bagus untuk intensifikasi," jelasnya saat ditemui di Jakarta, Rabu (26/9).
Namun yang menjadi catatan bagi Bhima adalah, Indonesia sedang membutuhkan banyak penerimaan devisa dari sawit dengan jumlah yang cukup besar. Sawit dinilai merupakan solusi tercepat dalam meningkatkan devisa.
Sehingga ada baiknya pemerintah tidak memukul rata moratorium semua lahan sawit di Indonesia.
"Tidak bisa dipukul rata di semua daerah. Harus berbasiskan distrik yang spesifik. Misalnya, karena ada kebakaran hutan," ujarnya.
Pemerintah sendiri sedang menggalakkan penggunaan biodiesel 20 (B20) yang bahan baku utamanya berasal dari sawit.
Kendati begitu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Tumanggor berujar, Inpres moratorium sawit tidak berpengaruh terhadap pasokan CPO di masa mendatang.
"Inpres itu kan sebenarnya tidak lagi ada izin pelepasan. Kalau tidak ada pelepasan berarti tidak ada penanaman. Itu aja," jelas dia.
Dari sisi lingkungan, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Wahan Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Khalisah Khalid menyambut baik terbitnya aturan ini. Namun demikian, Walhi khawatir implementasi Inpres ini tidak optimal.
Moratorium ini tidak bisa berjalan maksimal apabila hanya berjalan 3 tahun. Seharusnya dilakukan dalam waktu 25 tahun. Pasalnya pemulihan lingkungan membutuhkan waktu yang panjang. Langkah ini harus dilanjutkan dengan penegasan sikap pemerintah untuk menolak membahas RUU Perkelapasawitan.
Proses evaluasi perizinan tidak boleh lepas dan harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kerangka Reforma Agraria yang menjadi program prioritas Presiden Joko Widodo.
Moratorium harus menyasar pada penerbitan Gak Guna Usaha di Area Penggunaan Lain (APL). Sehingga bukan hanya yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, mengingat konflik di APL juga sangat tinggi.
Walhi juga mendesak adanya keterbukaan proses dan informasi, khususnya terkait dengan evaluasi perizinan, serta membuka partisipasi aktif publik yang bermakna.
"Pada akhirnya kami juga mendorong upaya transisi yang berkeadilan bagi rakyat dan lingkungan hidup, serta pemulihan ekosistem," pungkas Khalisa.