Silpa APBN melejit, tanda overfinancing?
Pandemi telah mengguncang perekonomian nasional. Utak-atik pengelolaan anggaran pun terpaksa dilakukan.
Untuk membiayai berbagai program penanganan pandemi, bantuan sosial hingga pemulihan ekonomi, defisit anggaran pun diperlebar. Angkanya menjadi rekor terbesar sepanjang sejarah yakni mencapai Rp956,3 triliun atau 6,09% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Defisit dari APBN mencapai Rp956,3 triliun, angka ini lebih kecil dari yang ditulis di Perpres 72/2020 yakni sebesar Rp82,9 triliun. Lebih kecil dari Perpres 72/2020 yang tadinya defisit Rp1.039,2 triliun," jelas Sri Mulyani ketika memberikan paparan dalam konferensi pers APBN KiTa secara virtual, Rabu (6/1/2021).
Imbasnya, realisasi pembiayaan anggaran sepanjang 2020 pun ikut melonjak. Jumlahnya, sebesar Rp1.190,9 triliun. Angka ini naik 196% dari tahun 2019 yang hanya Rp402,1 triliun.
Nyatanya, tidak semua pembiayaan anggaran habis terserap untuk menutup defisit. Tercatat, ada Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) tahun anggaran 2020 sebesar Rp234,7 triliun.
Realisasi ini, melonjak sampai empat kali lipat dibandingkan realisasi Silpa pada 2019 yang sebesar Rp46,40 triliun. Begitu juga, dibandingkan dengan tahun 2018 yang senilai Rp36 triliun, 2017 sejumlah Rp25,64 triliun, dan 2016 sebesar Rp26,16 triliun.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy mengatakan peningkatan Silpa tersebut perlu dikritisi sebagai efektivitas belanja pemerintah yang belum maksimal.
Belanja pemerintah pada 2020 yang meningkat dibandingkan tahun lalu, menurutnya, perlu ditelisik lebih dalam. Pasalnya, masih ada belanja yang belum optimal realisasinya, misalnya realisasi pada pos untuk belanja Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
"Eksekusinya, hanya berada di kisaran 83% terhadap total dan bahkan realisasi pos untuk kesehatan jauh lebih rendah," ujar Yusuf kepada Alinea.id, Selasa (12/1).
Sebagai informasi, realisasi belanja negara tercatat mencapai Rp2.589,9 triliun atau 94,6% dari target belanja yang telah disesuaikan berdasarkan Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2020 sebesar Rp2.739,2 triliun. Dibandingkan 2019, jumlah itu naik 12,2%.
Adapun, realisasi anggaran khusus untuk Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) sebesar Rp579,8 triliun atau 83,4% dari pagu anggaran yang ditetapkan Rp695,2 triliun. Dengan demikian, ada Silpa sebesar Rp115,42 triliun.
Peneliti CORE ini menyebut belum optimalnya penyerapan anggaran tidak lepas dari proses pemulihan ekonomi yang juga berjalan lambat. Ia melanjutkan, kebijakan pelebaran defisit anggaran utamanya untuk kesehatan pun bisa dibilang tidak sepenuhnya efektif.
"Semestinya belanja untuk kesehatan bisa didorong lebih besar dalam penanganan pandemi, sehingga Silpa bisa ditekan sekecil mungkin," kata dia.
Polemik overfinancing
Sementara itu, Peneliti Ekonomi Senior Institut Kajian Strategis (IKS) Universitas Kebangsaan, Eric Sugandi menyebut Silpa yang meningkat drastis di tahun 2020 sebagai tanda overfinancing atau kelebihan pembiayaan.
"Overfinancing yang tercermin dari pembengkakan Silpa. Overfinancing ini, menambah beban pembayaran utang," ujar Eric kepada Alinea.id, Rabu (13/1).
Eric memahami situasi pandemi memang suatu kejadian luar biasa. Namun, ia menilai, sebaiknya tidak sampai menyebabkan overfinancing dalam jumlah yang terlampau besar. Terlebih, jika anggaran belanja yang digunakan berasal dari utang.
"Financing via penerbitan SBN (Surat Berharga Negara) kan ada kupon yang harus dibayarkan dan jadi beban pengeluaran,"imbuhnya.
Dikutip APBN Kita edisi Desember 2020, utang pemerintah ini masih didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 86,3% dan pinjaman sebesar 13,7%. Jika dirinci, utang dari SBN tercatat Rp5.085,04 triliun yang terdiri dari SBN domestik Rp3.891,92 triliun dan valuta asing Rp1.193,12 triliun. Kemudian, utang dari pinjaman mencapai Rp825,59 triliun yang terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp11,55 triliun dan pinjaman luar negeri Rp814,05 triliun.
Adapun untuk tahun 2021, berdasarkan Kalender Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) tahun anggaran 2021 yang dirilis Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), Kementerian Keuangan akan kembali menarik utang sebesar Rp342 triliun di kuartal-I 2020.
Adapun surat berharga yang diterbitkan, yakni Surat Perbendaharaan Negara (SPN), Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPNS), Obligasi Negara (ON), dan Project-based Sukuk (PBS).
Nantinya, pemerintah dapat menambah atau mengurangi tanggal lelang dan menawarkan tenor tambahan pada setiap lelang. Pemerintah juga bisa menyesuaikan target triwulanan sesuai dengan kondisi pasar, potensi permintaan, dan strategi pembiayaan.
"Untuk keperluan cash management, pemerintah dapat menambah tanggal lelang selain yang dijadwalkan di atas dengan menawarkan T-bills jangka pendek," tulis DJPPR di website resminya pada Kamis (31/12).
Menanggapi hal itu, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengatakan Silpa bukan sekadar overfinancing. Sebagian yang tercatat sebagai Silpa, menurutnya, berasal dari dana penanganan kesehatan yang merupakan bagian dari anggaran 2020 dan berlanjut ke tahun selanjutnya.
"Kebutuhan belanja kesehatan di 2020 sudah tercukupi, maka anggarannya dibawa ke 2021 dan dipakai untuk belanja kesehatan juga, seperti pengadaan vaksin dan program vaksinasi," jelas Suahasil saat dihubungi Alinea.id, Selasa (12/1).
Sebagian lagi yang tercatat di Silpa, tambahnya, merupakan penempatan dana pemerintah di perbankan sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi. Jadi, komponen ini meskipun kategorinya Silpa namun memang diperuntukkan memberi dukungan (support) kepada perbankan.
"Sebagian lagi dari Silpa, adalah karena berbagai penghematan dan efisiensi belanja dari apa yang sudah dianggarkan," imbuhnya.
Secara garis besar, Suahasil menegaskan Silpa akan tetap dikelola untuk menjaga kesehatan APBN. Selain itu, Silpa juga digunakan untuk menjaga kesiapan dukungan vaksin, dukungan dunia usaha, dan juga memastikan manajemen kas negara yang baik.
"Silpa dan keseluruhan APBN tetap dikelola sesuai ketentuan perundangan yang berlaku," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan sebagian dana Silpa memang ditempatkan di perbankan, karena tak digunakan pada tahun 2020. Jumlahnya sebesar Rp66,7 triliun.
Menkeu menjelaskan, dana tersebut menjadi status Silpa dikarenakan pada APBN 2020 tidak ditarik. Sehingga, sampai kini masih berada di beberapa bank Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara) dan Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Di sisi lain, dana Silpa sebesar Rp50,9 triliun akan digunakan untuk program vaksinasi danUsaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) tahun ini. Langkah ini diharapkan bisa mengurangi pembiayaan APBN 2021.
"Ini sudah ada di Undang-Undang (UU) APBN untuk kemampuan menggunakan Silpa 2020 agar pembiayaan APBN bisa sebaik mungkin, biaya sekecil mungkin," jelas Ani, dalam Konferensi Pers: Realisasi Pelaksanaan APBN TA 2020 secara daring, Rabu (6/1).
Seberapa efektif utang
Peneliti INDEF Yusuf Rendy mengakui penarikan utang yang diperuntukkan sebagai pembiayaan nasional, terlebih saat krisis memang tidak bisa dihindari.
Kendati demikian, dia mengungkapkan kondisi sebelum pandemi pun tren peningkatan utang telah terjadi. Sebabnya, kebutuhan belanja nasional masih sulit dipenuhi secara mandiri dari penerimaan negara.
"Efektif atau tidak penarikan utang, indikator sederhananya bisa dilihat dari rasio utang terhadap PDB," ujar Yusuf.
Apabila rasio utang terhadap PDB meningkat, berarti nominal jumlah utang kenaikannya lebih besar dibandingkan jumlah PDB Indonesia. Hal itulah yang perlu dipertanyakan dan tentunya diwaspadai.
Pasalnya, hal itu bisa berimplikasi pada penarikan utang yang ternyata belum mampu memberikan efek stimulasi atau efek ganda (multiplier) yang lebih besar terhadap kenaikan PDB.
"Sebelum pandemi, rasio utang ini berada dalam tren kenaikan. Jadi memang perlu dilihat kembali penggunaan utang ini," imbuhnya.
Di kondisi saat ini, ia berpendapat, perencanaan pemerintah dalam realisasi belanja menjadi kunci terutama dalam belanja untuk mendorong UMKM. Salah satunya, memastikan pusat data (data base) yang akurat bagi penyaluran bantuan UMKM agar tepat sasaran.
Perencanaan belanja pemerintah, menurut dia, juga menjadi kunci agar Silpa tidak membengkak di tahun-tahun mendatang.
"Perhatian khusus juga perlu ditujukan kepada pemerintah daerah terkait bagaimana mereka melakukan eksekusi dari belanja transfer dari pemerintah pusat," ujar Yusuf.
Peneliti Senior IKS, Eric Sugandi menambahkan, pemerintah juga perlu menggenjot stimulus fiskal untuk bisa membantu pemulihan ekonomi nasional yang dia proyeksikan akan berpotensi membaik pada kuartal-III 2021.
"Meski demikian, mungkin belum optimal karena lambatnya penyaluran anggaran di awal PEN, meski kemudian bisa dipercepat. Lalu, ada kasus korupsi dan salah rumah tangga sasaran yang berkaitan dengan bansos," terang dia.
Namun, ia mengaku sepakat soal penggunaan Silpa yang menurut wacana pemerintah diperuntukkan bagi vaksinasi dan bantuan UMKM. Penggunaan maksimal dana Silpa, menurutnya bisa menjadikan utang nasional pun tidak akan semakin menumpuk.
"Dengan demikian, penerbitan SBN dan penarikan pinjaman bisa lebih terkendali," tegasnya.
Di sisi lain, ia melihat di tingkat global banyak negara-negara yang secara ekspansif menerapkan kebijakan fiskal dan moneter. Akibatnya, likuiditas global sedang melimpah.
Dana-dana dari global tersebut lantas mengalir ke emerging market atau negara dengan ekonomi rendah menuju ke level menengah pendapatan per kapita, termasuk Indonesia.
"Karenanya pemerintah jangan terlalu agresif juga menerbitkan SBN dengan strategi front loading, karena sebagian dana global itu akan masuk ke Indonesia," kata dia.