close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Freepik
icon caption
Ilustrasi. Freepik
Bisnis
Jumat, 25 Desember 2020 15:36

SiLPA membengkak Rp433,8 triliun, UU Corona bisa picu krisis ekonomi

PEPS berpendapat, penarikan utang untuk menambal defisit anggaran yang dilakukan pemerintah terkesan "ugal-ugalan".
swipe

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dianggap telah menghilangkan hak penganggaran DPR hingga 2021. Padahal, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 dan Perpres Nomor 72 Tahun 2020 menetapkan APBN 2020 dengan defisit anggaran hingga Rp1.039 triliun atau melebihi batas maksimum sebesar 3%.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, mengingatkan, pengelolaan APBN dan keuangan negara tanpa persetujuan DPR dapat memicu krisis fiskal, krisis ekonomi, dan melanggar peraturan perundang-undang. Apalagi, defisit anggaran tersebut rekor terbesar sejak Indonesia berdiri.

"Yang menjadi persoalan bukan kenaikan defisit anggaran yang fantastis ini. Yang menjadi persoalan adalah penarikan utang untuk menambal defisit anggaran tersebut yang terkesan 'ugal-ugalan'. Mohon maaf untuk kata 'ugal-ugalan' karena seyogyanya penarikan utang, yang juga disebut pembiayaan anggaran, hanya sebatas untuk membiayai defisit anggaran. Tidak boleh lebih,” ujarnya dalam surat terbuka kepada DPR, Jumat (25/12).

Defisit anggaran sebanyak Rp1.104,8 triliun tersebut, sambung dia, sudah ditambal dengan menarik utang. Namun, terjadi kelebihan pembiayaan anggaran atau sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) sebesar Rp221,1 triliun (25%) dari defisit anggaran. "Besar sekali."

"Pengelolaan APBN dan keuangan negara seperti ini sangat membahayakan perekonomian nasional," tegasnya.

Anthony pun meminta DPR mengevaluasi saldo akumulasi SiLPA per akhir 2019 yang tercatat Rp212,7 triliun. Dia mempertanyakan mengapa dana tersebut tidak digunakan untuk menambal defisit anggaran, tetapi justru menambah SiLPA Rp221,1 triliun hanya dalam 11 bulan pada tahun ini dan berimbas terhadap membengkaknya SiLPA per akhir November 2020 menjadi Rp433,8 triliun.

"Kelebihan penarikan utang (SiLPA) ini sebenarnya tidak diperlukan dan mubazir," ucapnya.

Baginya, pengelolaan keuangan negara dengan saldo akumulasi SiLPA hingga Rp443,8 triliun tidak wajar, bahkan merugikan keuangan negara karena harus membayar bunga atas utang yang tidak diperlukan. Terlebih, total kelebihan penarikan utang tersebut ternyata juga berasal dari utang luar negeri. 

"Kalau suku bunga utang 6% per tahun, maka kerugian negara mencapai Rp26 triliun per tahun. Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan? Dengan demikian, unsur tindak pidana korupsi seperti dimaksud Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor di atas sudah terpenuhi?" tanyanya.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan