Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata 12% dan produk sigaret kretek tangan (SKT) maksimal sebesar 4,5% mulai 1 Januari 2022.
Nur Azami, koordinator KNPK (Komite Nasional Pelestarian Kretek) mengatakan kenaikan cukai rokok ini berdampak pada tiga hal.
Pertama, meningkatnya peredaran rokok ilegal. Dia menjelaskan akibat dari kenaikan tarif cukai, maka harga rokok jadi mahal dan tidak terjangkau. Sehingga rokok ilegal yang harganya lebih murah jadi magnet.
"Kenaikan tarif cukai yang tinggi membentuk pasar rokok ilegal," paparnya kepada Alinea.id, dikutip Jumat (14/1).
Kenaikan cukai rokok menurutnya, alih-alih menurunkan konsumsi, fakta di lapangan malah konsumen lebih memilih rokok yang murah. Salah satunya dengan membeli rokok ilegal yang harganya 50% lebih murah daripada rokok legal.
"Dari hasil survei disebutkan sebanyak 65% perokok di Indonesia mengetahui perbedaan rokok ilegal dan legal yang dijual di pasaran. Lebih lanjut, sebanyak 30% responden perokok adalah konsumen rokok tanpa pita cukai (polosan). Artinya, 3 dari 10 orang perokok adalah konsumen rokok ilegal," jelasnya.
Kedua, dampak kenaikan cukai rokok adalah penyerapan bahan baku menurun. Menurutnya komponen produksi yang biasanya dipangkas oleh pabrikan adalah bahan baku baik secara kualitas maupun kuantitas.
Sehingga, kata Nur Azami, petani akan rugi besar. Begitu juga perekonomian di wilayah-wilayah sentra tembakau dan cengkeh.
Dampak yang terakhir adalah ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada 990 tenaga kerja. Ancaman PHK ini muncul akibat penurunan produksi hingga 3% sehingga konsekuensinya adalah mengurangi tenaga kerja.
"Pemerintah sendiri sudah memprediksi mengenai adanya dampak pengurangan tenaga kerja pascakeputusan menaikkan tarif cukai rokok," lanjutnya.