Sinar surya jadi energi terbarukan tersandung kebijakan
Lampu-lampu di Masjid At-Tanwir mulai berpendar ketika matahari tenggelam dan sinarnya mulai memudar. Nyalanya pencahayaan utama bangunan itu menunjukkan pula bahwa magrib akan segera tiba.
Cahaya lampu yang dihasilkan memang sama dengan cahaya lampu lainnya. Namun pembedanya ialah aliran listrik yang digunakan untuk mengaliri lampu-lampu LED (light emitting diode) tersebut. Sumbernya berasal dari photovoltaics panel alias panel surya yang dipasang pada atap masjid.
Arsitek Perencana Masjid At-Tanwir Muhammad Siam Priyono Nugroho mengatakan, biaya pembangunan atap beserta pembangkit listrik tenaga matahari mencapai Rp29,5 miliar. Angka ini sangat sebanding dengan tujuan pembangunan masjid untuk mengatasi krisis energi yang kini tengah terjadi di dunia.
Selain panel surya, Overall Thermal Transfer Value (OTTV) yang berfungsi sebagai selubung bangunan berkapasitas 25,97 watt per meter persegi juga dipasang pada dinding Masjid. “Kita juga pakai kaca yang mampu menyerap panas matahari sehingga sinar untuk pencahayaan alami tetap masuk tapi panasnya ditangkal. Itulah maka nilai OTTV-nya rendah,” jelas Priyono kepada Alinea.id, Selasa (12/7).
Masih di area yang sama, Gedung Pusat Dakwah Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga memenuhi kebutuhan listriknya dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang telah terpasang sejak 2018 lalu. Berkat pemasangan panel surya dan OTTV tersebut, dua bangunan kepunyaan PP Muhammadiyah itu tidak perlu bergantung kepada pasokan listrik PT PLN (Persero).
Terpisah, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengungkapkan, tidak ada kendala berarti yang harus dihadapi kedua Gedung tersebut selama penggunaan panel surya. Perawatan teknologi kelistrikan ini pun terbilang standar, karena hanya pembersihan debu dan pengecekan tiap bulan saja.
Namun demikian, karena masih harus tersambung dengan jaringan PLN dan tidak menggunakan accu kering, ada ukuran minimal yang harus dipenuhi oleh suatu bangunan untuk memasang panel surya di atap mereka. “Sehingga bangunan yang kecil tidak efisien dengan listrik tenaga surya,” ujarnya, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (13/7).
Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah memang mewajibkan pemanfaatan sel surya minimal 25% dari luas atap bangunan kompleks industri dan bangunan komersial, penerangan jalan umum dan fasilitas umum lainnya. Kemudian minimal 30% dari luas atap bangunan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dengan kewajiban tersebut, ditambah kesadaran masyarakat akan urgensi transisi energi praktis membuat kapasitas pemasangan pembangkit listrik tenaga matahari ini mengalami lonjakan signifikan. Dalam refleksi empat tahun Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA), kapasitas terpasang PLTS Atap mengalami peningkatan sebesar 21% sejak 2018 hingga 2021. Angka ini setara 46% Megawatt Peak (MWp) dari total kapasitas terpasang, yang sebesar 48,79 MWp hingga akhir Desember tahun lalu.
“Kenaikan ini terutama disumbang oleh PLTS Atap yang dipasang industri. Kalau rumah tangga masih sedikit karena memang investasi di awal untuk penginstalan panel surya ini masih tergolong mahal,” kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (14/7).
Jauh dari target
Bagi industri, lanjut Fabby, lebih menguntungkan lantaran untuk pemasangan awalnya dapat dibayarkan dengan cicilan atau leasing. Selain itu, biaya tarif listrik yang dibayarkan pun hanya berdasarkan pada listrik yang mereka gunakan saja. Tak heran jika beban biaya listrik setelah menggunakan panel surya menjadi jauh lebih murah ketimbang tarif listrik industri dari PLN.
“Dari sini saja mereka bisa hemat 10% - 20%. Belum lagi, ada banyak insentif yang disiapkan pemerintah,” ujar dia.
Insentif yang dimaksud Fabby diantaranya berupa pembebasan tarif pajak karbon oleh pemerintah, hingga adanya skema pembiayaan PLTS Atap yang berasal dari dana hibah Sustainable Energy Fund (SEF). Sebagai informasi, program dana hibah ini merupakan hasil kerja sama antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan United Nations Development Programme (UNDP) atau Badan Program Pembangunan PBB.
Insentif ini akan diberikan langsung ke pelanggan PLN yang memasang PLTS Atap melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) ke rumah tangga, sosial, bisnis, dan industri yang berfokus pada UMKM.
"Dengan adanya insentif ini, diharapkan dapat mencapai nilai keekonomian PLTS Atap, sehingga investasinya jadi menarik dan pemasangan PLTS Atap secara masif," tutur Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, kepada Alinea.id, Jumat (15/7).
Meski mengalami peningkatan, porsi energi baru dan terbarukan (EBT) utamanya solar panel dalam bauran energi nasional nampaknya masih jauh dari target pemerintah, yang sebesar 24,8% untuk sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030. Dengan kapasitas terpasang PLTS ditargetkan sebesar 3,6 Gigawatt (GW) atau 3.600 MW pada tahun tersebut. Adapun pada sepanjang tahun lalu porsi EBT dalam bauran energi pada sektor ini baru sebesar 12,9% atau setengah dari target.
Untuk mencapai target ini, pemerintah bersama IESR pada 19 April lalu pun mendeklarasikan sebuah komitmen rencana pembangunan (project pipelines) PLTS sebesar 2.300 MW yang akan dibangun hingga tahun 2023 mendatang. Dengan realisasi PLTS saat ini, Pengamat Energi dari Universitas Indonesia Iwa Garniwa menilai bahwa target ini akan sulit dicapai oleh Indonesia. Apalagi, dengan kondisi oversupply atau kelebihan pasokan listrik yang tengah terjadi pada PLN.
Porsi bauran energi nasional 2015-2021 (%)
Energi |
2015 |
2016 |
2017 |
2018 |
2019 |
2020 |
2021 |
EBT |
4,97 |
6,13 |
6,66 |
8,61 |
9,18 |
11,20 |
11,50 |
Batubara |
30,14 |
27,84 |
30,53 |
33,00 |
37,28 |
38,04 |
37,20 |
Minyak Bumi |
42,12 |
44,90 |
41,42 |
38,71 |
35,03 |
31,60 |
32,10 |
Gas Bumi |
22,77 |
21,12 |
21,39 |
19,68 |
18,51 |
19,16 |
19,60 |
Sumber: Ditjen EBTKE Kementerian ESDM
“Di sisi lain, komponen untuk produk PLTS masih sangat tinggi, karena Indonesia belum cukup mampu memproduksi sendiri,” kata dia, kepada Alinea.id belum lama ini.
Dengan potensi energi surya yang sangat besar, yakni mencapai 20 ribu GW menurut IESR dan 207,8 GW dalam dokumen RUEN, seharusnya Indonesia dapat memenuhi target di 2030 tersebut.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai, hambatan target pemasangan PLTS maupun porsi EBT dalam bauran energi nasional tak lain dikarenakan masih banyaknya kebijakan yang kontraproduktif terhadap agenda besar ini. Seperti salah satunya adalah masih sulitnya proses perizinan untuk instalasi panel surya, khususnya untuk industri.
Pada pengembangan PLTS, konsumen komersial, industri, dan pelanggan residensial, khususnya yang berada di Jawa dan Bali, mengeluhkan terkait lamanya proses perizinan, serta adanya persyaratan tambahan yang diajukan oleh PLN yakni kapasitas PLTS juga dibatasi antara 10-15% daya yang tersambung. Hal ini jelas berdampak pada aspek sumber daya dan finansial UMKM dan perusahaan.
“Terhambatnya realisasi komitmen perusahaan kepada pemegang saham mengenai pemanfaatan PLTS atap untuk listrik, serta kurang kondusifnya iklim investasi bagi pengembangan energi surya,” ungkap Fabby.
Bahkan, banyak pula kebijakan pemerintah yang justru menghambat daya tawar dari iklim investasi EBT di dalam negeri. Hal ini terlihat dari agenda pengembangan EBT yang sepenuhnya bertumpu pada PLN. Tak heran jika pengembangan EBT serta investasi yang mengikutinya tumbuh relatif lebih lamban, tergantung pada arah kebijakan perusahaan listrik milik negara itu.
“Akibatnya, banyak sekali proyek EBT yang enggak bankable. Kalau sudah begini, proyek-proyek EBT ini jelas akan sulit untuk mendapatkan investasi dari luar,” imbuh Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) ini.
Ihwal pembatasan pemanfaatan PLTS Atap sampai 15% dari kapasitas terpasang oleh PLN, Guru Besar Teknik Elektro Universitas Udayana Ida Ayu Dwi Giriantari menilai bahwa kebijakan ini harus dihapuskan. Alih-alih pada kapasitas terpasang, sebagai gantinya pembatasan dapat diterapkan pada kapasitas trafo.
Hal ini juga dilakukan agar tidak membebani pelanggan rumah tangga dan industri yang ingin beralih ke energi bersih. “Kebijakan membatasi 15% kapasitas PLTS atap kepada pelanggan itu salah. Jadi, seharusnya 15% dari kapasitas trafo itu masih bisa diterima,” tegas dia, saat dihubungi Alinea.id belum lama ini.
Biaya mahal
Dari sisi konsumen rumah tangga, hambatan berasal dari harga pemasangan yang masih relatif tinggi, meskipun sudah mengalami penurunan hingga 30% dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. Berdasar catatan IESR, untuk kapasitas PLTS Atap 2 kWp pada rumah dengan luasan 100 - 200 m2 dengan listrik 2200 VA, yang harga rumahnya berkisar antara Rp800 juta sampai Rp1,5 miliar, biaya PLTS atap biasanya sebesar Rp25 juta sampai Rp30 juta.
Dengan harga tersebut, jelas membuat harga jual rumah juga semakin tinggi. “Ini kemudian menjadi kendala bagi pengembang di dalam negeri untuk mengembangkan PLTS Atap. Padahal, kalau harga jual rumah semakin mahal, akan menjadi kurang diminati oleh konsumen,” keluh Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida, kepada Alinea.id, Kamis (14/7).
Sementara menurut Totok, saat ini harga PLTS Atap per unit ialah sekitar Rp14 juta. Dengan mahalnya harga tersebut, dia pun berharap agar pemerintah dapat turun tangan untuk mengintervensi harga PLTS Atap.
“Saya sudah beri alternatif ke pemerintah bahwa PLTS Atap bisa dibangun dengan menggunakan dana PSU. Jadi dialihkan ke energi terbarukan,” imbuh dia.
Solusi lain agar rumah tangga dapat menggunakan PLTS Atap yakni bisa dengan pendanaan yang disiapkan pemerintah untuk mengantisipasi pembayaran di muka dan dikombinasikan dengan suku bunga rendah dan tenor hingga 7 tahun. Kemudian, pengembang perumahan juga bisa menjalin kerja sama dengan perusahaan penyedia panel surya.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa yakin, jika pengadaan PLTS Atap dilakukan dalam skala besar untuk kebutuhan perumahan akan membuat harga panel surya lebih murah dibandingkan dengan harga ritel. Adapun pengadaan PLTS Atap dalam skala besar untuk perumahan dapat menekan biaya panel surya sebanyak 15 persen dari harga ritel yang mencapai Rp15 juta.
“Untuk rumah-rumah yang dibangun oleh non-developer, pembelian harus dilakukan sendiri oleh pemilik rumah. Harga jadi pertimbangan penting, tapi bukan kendala. Kendalanya adalah pembayaran di muka yang memberatkan karena rumah tangga punya prioritas belanja atau investasi lain,” tuturnya.
Sementara itu, Vice President Director PLN Hikmat Drajat mengatakan perhitungan biaya pada pemasangan PLTS Atap di skala rumah tangga perlu dilakukan oleh pengembang karena pemasangan PLTS merupakan investasi jangka panjang. Selain itu, pengembang yang ingin memasang PLTS atap di perumahan dapat mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan pada Permen ESDM No. 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang IUPTL untuk Kepentingan Umum.
“Jadi mereka akan dapat insentif,” katanya, kepada Alinea.id melalui pesan singkat, Jumat (15/7).
Sebelumnya, Executive Vice President Komunikasi Korporat PLN dan TJSL PLN Diah Ayu Permatasari menegaskan PLN selalu mendukung pengembangan PLTS atap untuk meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT).
“Sebagai bentuk komitmen PLN mendukung pengembangan PLTS atap, hingga April 2022, tercatat ada 5.547 pelanggan PLN dengan total kapasitas PLTS sebesar 60.112 kWp,” kata Diah dalam keterangannya, kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.